PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label PBB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PBB. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Oktober 2016

Negara-negara Pasifik Mengecam Provokasi Korut

12.43.00
Korea Utara dikecam negara-negara Pasifik. --tempo.co
Busan – Negara-negara Kepulauan Pasifik mengecam Korea Utara karena aksinya yang terus menerus memprovokasi penggunaan misil nuklir di kawasan Pasifik. Kecaman tersebut disepakati dalam pertemuan Korea-Pacific Islands Senior Official Meetings (SOM) yang berlangsung di Busan, Selasa (25/10/2016).
Para perwakilan negara dalam pertemuan itu mengadopsi pernyataan ketua sidang yang mengecam tindakan Korea Utara untuk pertama kalinya. Pernyataan itu juga menekankan pembangunan senjata nuklir Korea Utara dan misil balistik di kawasan Pasifik itu mengancam keselamatan nyawa manusia di negara-negara Kepulauan Pasifik.
Mereka juga sepakat mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2270 yang dikeluarkan pada Maret lalu yang mengecam Korea Utara atas uji coba pengayaan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara pada Januari awal tahun ini.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan 14 negara kepulauan Pasifik, termasuk Papua Nugini, Fiji dan Kepulauan Solomon.
Dalam sidang Majelis Umum PBB bulan lalu, hanya Palau yang mengutuk aksi Korea Utara ini. Perwakilan Palau di PBB, Caleb Otto mengatakan bahwa perdamaian dan stabilitas keamanan jangka panjang adalah hal paling penting untuk dijaga di Pasifik. “Kami mengajak kepada seluruh negara yang belum meratifikasi traktat non-proliferasi untuk segera meratifikasi, agar kita bisa lebih cepat melucuti senjata nuklir di muka bumi,” ujarnya. (*)
Read More ...

Selasa, 18 Oktober 2016

Terkait Kekerasan Rasial di Papua, Indonesia Diberi Waktu Hingga 14 November

16.09.00
Professor Anastasia Crickley, Ketua CERD - IST
Jayapura – Pemerintah Indonesia diberi waktu hingga 14 November 2016 untuk menjawab surat pernyataan Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) PBB terkait represi, penggunaan kekuatan aparat berlebihan, pembunuhan, penangkapan massal dan sewenang-wenang, impunitas, migrasi massal dan rendahnya standar pendidikan terhadap orang-orang asli Papua.
Pernyataan yang ditandatangani oleh Professor Anastasia Crickley, Ketua CERD, tertanggal 3 Oktober 2016 itu ditujukan kepada Wakil Permanen Pemerintah Indonesia di PBB, Triyono Wibowo, sebagai pernyataan protes menyusul Sesi ke-90 komite tersebut pada Agustus 2016 dalam lalu.
Di dalam suratnya, Crickley meminta pemerintah Indonesia ‘menyerahkan informasi terkait seluruh isu dan persoalan yang disebutkan di atas termasuk langkah pemerintah mengatasinya, selambat-lambatnya 14 November 2016’.
“Kami mendapat laporan antara April 2013 dan Desember 2014, pasukan keamanan sudah menewaskan 22 orang selama demonstrasi dan sejumlah orang dibunuh atau dilukai sejak Januari 2016. Diduga, pada Mei 2014, lebih dari 470 orang Papua ditahan di berbagai kota di Papua saat melakukan demonstrasi,” demikian menurut Crickley di dalam pernyataan tersebut.
Dia menambahkan penangkapan di Papua juga meningkat sejak awal 2016, berkisar hingga 4000 orang dari bulan April hingga Juni 2016, termasuk aktivis HAM dan jurnalis. “Semua itu, dikatakan dalam laporan yang kami terima, tidak pernah diinvestigasi dan pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak pernah dihukum,” lanjut Crickley.
Laporan 18 halaman kepada CERD terkait kekerasan dan diskriminasi berbasis ras terhadap Orang Asli Papua tersebut  diajukan oleh Geneva for Human Rights (GHR) yang berbasis di Swiss.
Di dalam pernyataan yang diterima redaksi Jubi tertanggal 13 Oktober 2016, GHR meminta agar seluruh fungsi-fungsi PBB memberi perhatian pada masalah mendesak di West Papua.
“GHR mengajak seluruh ahli dalam sistem PBB, baik pemegang mandat prosedur Khusus maupun badan-badan keanggotaan traktat, organisasi-organisasi HAM, dan pemerintah untuk secara aktif terlibat dalam Dewan HAM PBB serta Universal Periodic Review (UPR) untuk memberi perhatian lebih pada situasi dramatis yang dihadapi orang Papua, serta menyerukan agar Indonesia menghormati kewajiban HAM internasionalnya,” demikian ujar GHR dalam pernyataannya.
CERD terdiri dari 18 ahli independen yang dipilih oleh negara-negara untuk memonitor implementasi Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi berbasis Ras di negara-negara anggota. Indonesia adalah negara yang meratifikasi konvensi tersebut.
Respon PIANGO
 Asosiasi Organisasi Masyarakat Sipil Kepulauan Pasifik (PIANGO) menyambut baik permintaan CERD kepada pemerintah Indonesia. “Ini adalah pertanda sikap PBB terhadap kasus West Papua mulai berubah,” ujar Direktur Eksekutif PIANGO, Emele Duituturaga kepada Jubi, Senin (17/10/2016).

Menurut Duituturaga permintaan komite tersebut terhadap informasi yang spesifik dari Indonesia menunjukkan bahwa mereka serius menanggapi dugaan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua yang diajukan oleh masyarakat sipil kepada PBB.
“CERD memberi batas waktu hingga 14 November kepada Indonesia untuk menyerahkan laporan terkait dugaan pelanggaran HAM tersebut, status penerapan otonomi khusus, langkah-langkah yang diambil dalam melindungi masyarakat asli Papua dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, termasuk perampasan hak hidupnya,” ujar Duituturaga mengutip permintaan CERD kepada pemerintah Indonesia.   
Oleh CERD, Indonesia juga diminta untuk melaporkan langkah-langkah yang diambil dalam melindungi masyarakat asli West Papua untuk hak kebebasan berkumpul dan berorganisasi termasuk orang-orang yang memiliki pendapat berbeda; langkah yang diambil dalam menginvestigasi dugaan penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan, termasuk pembunuhan; serta langkah yang diambil untuk memperbaiki akses terhadap pendidikan anak-anak Papua, khususnya yang hidup di pedalaman.
“Indonesia bukan saja negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, ia juga negeri dengan ekonomi besar berkembang , tetapi ketidakmampuannya menerapkan prinsip-prinsip demokratis di West Papua mengancam kredibilitasnya dihadapan komunitas internasional,” tegas Duituturaga.
“Sekarang bola ada di pengadilan mereka. Masyarakat sipil Pasifik, bersama-sama CERD, sangat menantikan tanggal 14 November itu,” lanjutnya lagi.
Di dalam suratnya, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB juga mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan keseluruhan laporan periodiknya yang, ternyata, belum diserahkan sejak 25 Juli 2010. (*)
Read More ...

Sabtu, 18 Juni 2016

Hak OAP Untuk Berserikat Dan Berkumpul Dibatasi, Kata Pelapor Khusus PBB

10.37.00
Maina Kiai, pelapor khusus PBB untuk hak kebebasan
 berkumpul secara damai dan berserikat – UN
Jayapura – Maina Kiai, pelapor khusus PBB untuk hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat menempatkan issu Papua dalam laporannya pada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Genewa, Swiss, Jumat (17/6/2016).
Dalam sesi 32 Sidang Dewan HAM PBB, Kiai menyebutkan apa yang terjadi di Papua saat ini adalah sat
u fenomean yang terkait dengan fundmentalisme budaya dan nasionalisme. Ini menunjukkan adanya dominasi dari budaya tertentu, bahasa tertentu, bahkan tradisi tertentu yang merasa yakin lebih unggul daripada yang lain.
“Laporan saya mendokumentasikan fenomena ini di Cina yang membatasi hak berkumpul dan berserikat orang-orang Tibet dan Uighur; di Indonesia terhadap etnis Papua Barat; dan di tempat-tempat seperti India dan Mauritania terhadap individu yang dianggap kasta yang lebih rendah,” kata Kiai dalam laporannya di hadapan sidang tersebut.
Ia juga menyebutkan ada kenaikan yang signifikan dalam bentuk fundamentalisme beberapa tahun terakhir, seperti yang terlihat dalam meningkatnya popularitas banyak partai politik sayap kanan, terutama di Austria, Denmark, Hongaria dan Swiss.
“Contoh fundamentalisme awalnya mungkin tampak berbeda, tetapi mereka berbagi kesamaan penting. Dalam setiap kasus, sikap superioritas telah memicu proses dehumanisasi atau delegitimasi kelompok tertentu. Secara bertahap, kelompok-kelompok ini dilucuti kemanusiaannya dan hak-hak mereka. Proses ini dapat menyebabkan konsekuensi yang menghancurkan, karena sejarah telah membuktikannya berkali-kali,” ungkap Kiai dalam laporannya.
Selain laporan pelapor khusus PBB, kelompok masyarakat sipil yang peduli pada persoalan Papua juga menyampaikan laporan situasi kebebasan berekspresi di Papua. Franciscans International, VIVAT International, International Coalition for West Papua, West Papua Nezwerk, Tapol, Minority Rights Groups International, Geneva for Human Rights dan The World Council of Churches mendesak Dewan HAM PBB untuk meminta pemerintah Indonesia melakukan penyidikan atas kasus penangkapan sewenang-wenang di Papua serta tempat-tempat lainnya. Pemerintah Indonesia dimunta menjamin hak kebebasan berekspresi,dan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi semua orang Papua.
“Kami juga mendesak Dewan HAM PBB agar mendesak Indonesia membuka Papua untuk diakses oleh masyarakat internasional dan segera menetapkan tanggal untuk kunjungan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi dan memungkinkan pemegang mandat lain untuk mengunjungi Papua,” ujar Budi Cahyono, Program Kordinator Asia Pasifik Franciscans International di Genewa kepada Jubi melalui surat elektronik, Sabtu (18/6/2016). (*)
Read More ...