PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label Seni dan Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni dan Budaya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Oktober 2016

ISBI Papua Harus Angkat Ikon Budaya Papua

12.41.00
Perahu Wairon tampil dalam karnaval World Culture Forum
di Bali dua pekan lalu - Dok. Jubi
Sentani – Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Papua mendapatkan kesempatan ikut karnaval dalam rangkaian World Culture Forum  yang berlangsung di Bali pada tanggal 10 sampai 14 Oktober lalu. Kesempatan ini sangat disyukuri oleh dosen dan mahasiswa ISBI.
“Kami bersyukur karena kampus ISBI Tanah Papua mendapat sambutan meriah dari turis manca negara dan kontingen lainnya. Kami juga diminta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk tampil di salah satu museum dan menteri mengatakan akan datang ke kampus kami ISBI Tanah Papua,” kata Erik Rumbrawer, satu dari sekian dosen yang terlibat dalam karnaval tersebut.
Erik Rumbrawer juga salah satu pendesain kapal “Wairon” yang diikutkan dalam karnaval.
“Masih banyak nilai-nilai budaya orang asli Papua yang belum diangkat. Nenek moyang atau orang tua kita, mereka tinggalkan nilai-nilai budaya, agar generasi sekarang ini dapat mengenal budaya sendiri,” kata dosen jurusan Seni Rupa ini saat ditemui Jubi di Kampus ISBI, Waena, Selasa (25/10/2016).
Ia mencontohkan, banyak anak muda sekarang yang tidak tahu lagi rumah adat atau alat musik tradisional dari daerahnya masing-masing.
Erik mengatakan, ISBI Tanah Papua harus mengangkat ikon nilai-nilai budaya Papua
“Misalnya, saya diminta oleh rektor ISBI untuk mendesain satu perahu yaitu perahu “Wairon“. Dengan demikian, saya memperkenalkan perahu Wairon kepada banyak orang. Perahu itu adalah perahu dagang yang dulu di pakai oleh nenek moyang kita sampe ke Ternate, Raja Empat dan kepulauan yang ada di Indonesia. Mereka menjual rempah -rempah dan pala,” ujar Erik.
Rektor ISBI Papua, Prof. Dr. I Wayan Rai, S.MA saat di hubungi melalui telepon seluler mengatakan kontingen ISBI Papua sangat mencuri perhatian dalam karnaval yang diselenggarakan di daerah asalnya itu.
“Dalam kegiatan karnaval yang diikuti 16 negara itu ISBI Tanah Papua mendapat kesan yang sangat baik dari khalayak di sana dan dari peserta lainnya. Papua sangat mencuri perhatian ,” ungkapnya. (*)
Read More ...

Selasa, 11 Oktober 2016

Mabuk Bukan Budaya Asli Papua

08.48.00
Merauke — Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Laut Merauke, Provinsi Papua, Yohanes Puer, mengajak pemuda setempat menjauhkan diri dari minuman beralkohol. Minuman tersebut disebutnya menimbulkan banyak hal negatif.


"Sebagai orang asli Papua, saya mengajak tinggalkan minuman beralkohol karena kita sendiri yang menjadi korban jika terus-menerus mengonsumsinya," kata Yohanes di Merauke, Senin (10/10).



Mengonsumsi minuman beralkohol dan mabuk di tempat-tempat umum, seperti yang terjadi sekarang, tidak mencirikan budaya orang asli Papua. Dia mengatakan, harga diri sebagai orang Papua diinjak bukan oleh orang lain. Dia menasihati, bagaimana akan maju kalau hanya mabuk - mabukan.



Persoalan lain yang muncul jika menjadi orang yang sering sekali mengonsumi minuman beralkohol adalah suka menunda pekerjaan, termasuk menghabiskan uang hanya untuk membeli minuman tersebut. Kalau terus mabuk-mabukan, untuk makan keluarga atau membangun rumah tangga saja tidak bisa dilakukan karena uang sudah habis.    antara, ed: Erdy Nasrul

Read More ...

Jumat, 09 September 2016

Batik Papua Memukau Publik Belanda

12.38.00
Batik Papua dalam "Fashion DiplomacyĆ¢€ di Grote Kerk,
Den Haag, 7 September 2016. (Foto: KBRI Den Haag)
Den Haag - Peragaan busana batik Papua berhasil memukau warga Belanda. Berbagai desain busana bermotif batik Papua dipamerkan dalam “Fashion Diplomacy”, di Grote Kerk, Den Haag Rabu, 7 September 2016.
Acara yang digelar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)  Den Haag bersama Dharma Wanita Persatuan itu bertujuan mempromosikan seni budaya Indonesia, khususnya batik Papua.  
“Fashion adalah tentang ekspresi diri. Selain itu, fashion juga ditujukan untuk pemahaman budaya. Lewat event ini, kita bisa mengerti budaya lain,” kata Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti A. Wesaka Puja  dalam sambutannya.
Puja menuturkan bahwa bahwa Papua merupakan satu dari 17.000 pulau di Indonesia.  “Jika Anda bisa mengeksplorasi kecantikannya, maka Papua akan membawa keajaiban bagi Anda semua,”  kata dia.
Puja mengakhiri sambutannya dengan mengutip kata-kata perancang ternama, Gianni Versace “Don’t make fashion own you, but you decide what you are, what you want to express by the way you dress and the way you live."
Berlangsung sejak pukul 18.00 hingga 20.00  batik yang ditampilkan adalah koleksi dari Batik Mamayoo Private Collection dari Papua.  Sebuah rumah mode di Jayapura milik Yolanda Tinal, yang juga perancang motif-motif batik Papua ini.
Menurut Yolanda, motif batik Mamayoo merupakan wujud kecintaannya terhadap Tanah Papua. Segala keunikan Papua dia abadikan lewat gambar desain yang dibuatnya.   Misalnya burung cenderawasih, anggrek, ikan dan ukiran kayu.
Selain keindahan alam, Yolanda juga mengabadikan kehidupan masyarakat serta hasil bumi Papua. Lewat karyanya dia  ingin mengangkat keunikan budaya kawasan Timur Indonesia tersebut.
Busana-busana itu diperagakan oleh para peragawan dan peragawati dari Belanda. Mereka berlenggak lenggok memeragakan busana rancangan Ian Adrian, dengan perhiasan koleksi BaroqCo Jewelry, yang kerap merancang mahkota untuk kontes-kontes kecantikan, seperti Miss Universe dan Miss World.
Ian Adrian menampilkan 35 koleksi terbaru yang untuk pertama kali ditampilkan di depan publik Belanda. Dia merasa bangga karena bisa menampilkan keindahan Papua melalui rancangannya yang berhasil menarik perhatian kalangan internasional.
Fashion Diplomacy ini dihadiri lebih dari 200 orang. Terdiri atas tamu-tamu undangan dari industri fashion, perancang busana Belanda, diplomat asing, mitra kerja KBRI Den Haag lainnya dan para wartawan.
Grote Kerk adalah  gereja Protestan yang dibangun antara abad ke-15 dan ke-16, serta merupakan tempat dibaptisnya anggota keluarga Kerajaan Belanda.  Malam itu, gereja disulap menjadi oase Indonesia dengan penampilan live music, tari-tarian, serta busana-busana cantik dan elegan khas Papua. 
Pergelaran Fashion Diplomacy diawali dengan suguhan cocktail dengan aneka makanan khas Indonesia untuk para tamu, disusul dengan penampilan tari Mambri dan Yospan dari Papua.
Tampil untuk memeriahkan acara Lucky Octavian dan Shamilla Cahya yang khusus didatangkan dari Indonesia.
Menurut Azis Nurwahyudi, Minister Counsellor Penerangan Sosial dan Budaya
KBRI Den Haag, sejumlah hadirin mengaku mendapat pencerahan dari acara pagelaran busana tersebut.  Sejumlah tokoh busana Belanda mengungkapkan kekaguman mereka.
“Saya sangat menyukai pergelaran ini, sangat memberi pencerahan," kata perancang busana terkenal Belanda, Allan Vos. “Beberapa busana yang ditampilkan sangat mengejutkan,” kata dia..
Komentar serupa juga disampaikan pengamat mode dari Belanda, Marianne van Stekelenburg.  “Desainnya sangat bagus. Busana-busana yang ditampilkan sangat kaya warna dan seksi, “ katanya.
Sementara itu Lyana Odinokaja, Account Manajer Dillewijn Zwapak untuk Eropa Tengah dan Timur begitu bersemangat mengungkapkan kekagumannya.
“Fashion show ini sangat bagus. Atmosfer yang terbangun sangat hangat, sangat patriotik, dan tampak sekali ada nuansa penuh cinta di antara orang Indonesia,” ujar Lyana. “Kreasi desainer yang diperagakan sangat tidak biasa. Saya belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Saya benar-benar menyukainya. Compliment!”
Menurut Lyana, fashion show ini harus dibuat lebih besar lagi. “Orang harus tahu tentang kreasi indah yang ditampilkan malam ini,” kata dia. NATALIA SANTI
Read More ...

Selasa, 23 Agustus 2016

AMPTPI Dan BEM Uncen Gelar Konser ‘Nyayian Merdu Negeri Papua’

05.06.00
Poster Konser Nyanyian Merdu Negeri Papua,
yang tidak dihadiri oleh Manico Group dan Kaonak Group – IST
Jayapura, Jubi – Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI)  dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih (BEM Uncen) menyelenggarakan konser musik etnik Papua bertajuk “Nyanyian Merdu Negeri Papua”, di Auditorium Universitas Cenderawasih, Senin malam (22/8/2016).
Ketua DPW AMPTPI, Natan Naftali Tebay, mengatakan konser ini dihadirI oleh wakil masyarakat dan pemuda dari tujuh suku wilayah adat, Mamta, Lapago, Meepago, Ha-Anim, Domberai, Bomberai, dan Saireri. Juga hadir beberapa Antropolog, DPRP dan Akademisi.
Kelompok musik yang tampak hadir memeriahkan konser tersebut adalah  Gaidap Star Voice, Group Musik Eyuser yang meneruskan semangat dan lagui-lagu Mambesak, dan Musik Spesialis DJ Papua.
Menurut Nathan, kegiatan ini digelar untuk membangkitkan generasi muda yang tidur, dan mengembalikan semangat orang muda Papua yang menganggap musik khas Papua tidak perlu lagi.
“Konser ini digelar untuk kembalikan spirit Mambesak, dengan moto ‘Menyanyi Dulu, Kini dan Nanti,” ujarnya.
Sementara itu Ketua BEM Uncen, Dony Gobay, mengatakan musik etnik Papua dipilih karena kemerduannya dapat  membangkitakan diri setiap orang sekaligus menyapa hati dan timbulkan cinta terhadap musik Papua itu sendiri.
Kata dia, tim yang dihadirkan ini memiliki suara yang khas Papua dan sangat asyik dihayati oleh orang Papua pada umumnya.
Terpisah, vokalis Manico Group dan Kaonak Group, Nimbrot Wakerkwa, melalui akun facebook resminya menyatakan bahwa pihak  Manico Group dan Kaonak Group belum memiliki kesepakatan dengan AMPTPI dan BEM Uncen untuk melakukan konser pada tanggal 22 Agustus 2016 tersebut.
Dirinya bahkan mengajak kepada seluruh penggemar dan simpatisan untuk tidak ikut- ikutan dalam acara tersebut. “Sudah dua kali saudara-saudari  ditipu oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan kedua Group ini. Kami tidak akan turun konser dan merasa dirugikan,” ujarnya.
Merespon hal tersebut, Naftali mengatakan bahwa konser ini awalnya memang akan diisi oleh Manico Group, Kaonak Group, dan E-Yuser. “Tetapi Manico Group dan Kaonak Group tidak dapat tampil karena terjadi miss-komunikasi dengan Panitia,” katanya.
Pihaknya sekaligus memohon maaf kepada personel dan penggemar Manico Group atas persoalan komunikasi itu.(*)
Read More ...

Rabu, 06 Juli 2016

Kekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 2)

23.54.00
Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat . (Dok SP)
Oleh: I Ngurah Suryawan
Pada bagian sebelumnya saya telah mencoba untuk meletakkan fondasi dimana sebenarnya letak dari kajian budaya Papua hingga hari ini serta problematikanya. Saya juga mencoba menegaskan bahwa sangat penting untuk menentukan perspektif seperti apa dan landasan kritisisme apa yang dibangun untuk mengembangkan kajian-kajian budaya Papua yang lebih emansipatoris dan sekaligus juga kritis.
Salah satu hal penting yang perlu dimaknai dalam perspektif kajian budaya Papua adalah isu tentang transformasi sosial budaya dan refleksi tentang identitas orang Papua yang terus-menerus bergerak, bernegasi dengan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Isu transformasi dan identitas ini melekat dalam totalitas dinamika keterhubungan orang-orang Papua dengan dunia global.
Pada bagian ini saya mencoba untuk menjelajahi kembali kembali salah satu isu penting dalam kebudayaan Papua hingga hari ini yaitu kolonisasi kebudayaan yang terus-menerus diperbaharui. Kolonisasi kebudayaan yang dimaksudkan adalah jejaring kekuasaan berupa cara berpikir dan praktik-praktik pembangunan yang terus saja menyingkirkan secara halus, namun meyakinkan orang-orang Papua. Seperti dikatakan Tania Li (2012) bahwa the will to improve (kehendak untuk memperbaiki) yang dilakukan dengan berbagai program-program yang disebut dengan “pembangunan” dengan penuh niat (memperbaiki) telah turut membentuk wajah lingkungan, tata penghidupan, bahkan identitas masyarakat, dan sekaligus juga bertanggungjawab memunculkan masalah-masalah baru.
Kolonisasi Baru?
Saya menjadi ingat apa yang dituliskan Frantz Fanon (2000; Aditjondro, 2006):
“Praktik kolonialisme (baru) biasanya didukung oleh teori-teori kebudayaan yang bersifat rasialis. Pada tahap awal penjajah menganggap bangsa jajahannya tidak memiliki kebudayaan, kemudian mengakui bahwa bangsa jajahannya memiliki kebudayaan, namun tetap tidak dihargai karena dianggap statis dan tidak berkembang. Kebudayaan bangsa jajahan kemudian ditempatkan dalam strata “rendah”, sementara kebudayaan penjajah ditempatkan dalam strata “tinggi” dalam suatu hierarki kebudayaan yang sengaja diciptakan untuk melegitimasi dominasi penjajah atas bangsa jajahannya.”
Saya menduga, dalam kesunyian dan ketumpulan ilmu-ilmu humaniora di Tanah Papua dalam memediasi transformasi sosial budaya, telah terjadi reproduksi kolonisasi baru menggunakan ilmu pengetahuan yang mungkin disadari atau malah mungkin tidak disadari oleh para pelaku di dalamnya. Oleh sebab itulah diperlukan terobosan-terobosan perspektif (cara pandang/berpikir) dan kajian-kajian reflektif dan kritis dalam ilmu-ilmu humaniora yang bukan mendehumanisasi, namun mengembalikan hakekat orang-orang Papua yang bersemangat untuk berubah dan terlibat aktif dalam perubahan sosial budaya yang terjadi di tanah kelahirannya.
Akumulasi pengetahuan tentang Papua hingga hari ini melimpah ruah jumlahnya. Hasil-hasil penelitian dan reproduksi pengetahuan yang terlahir dengan menggunakan Papua sebagai “objek” sudah tak terhitung lagi. Tumpukan laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan pemetaan kondisi sosial budaya menjadi harta yang tak ternilai harganya dalam memahami dan menafsirkan Papua. Namun persoalannya adalah bagaimana tumpukan akumulasi pengetahuan tersebut berguna bagi rakyat Papua “mengerti dirinya sendiri” dan terlibat sebagai subyek dalam perubahan sosial yang terjadi di tanahnya sendiri?
Persoalan relasi ilmu pengetahuan dan masyarakat memang menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Ujung dari perdebatan itu adalah terletak dari paradigma ilmu pengetahuan tersebut melihat masyarakat sebagai “sumber pengetahuan”. Menempatkan manusia sebagai subyek dalam proses transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan.
Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.
Menempatkan manusia sebagai subyek dalam proses transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan. Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora —dalam hal ini antropologi—menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.
Sudah puluhan tahun program pembangunan hadir di tengah masyarakat Papua. Perubahan perlahan mulai dirasakan menyangkut lingkungan fisik berupa bangunan-bangunan fasilitas publik, seperti jalan, sekolah, Pustu (Puskesmas Pembantu) di kampung-kampung. Pembangunan fisik yang mencolok terlihat adalah gedung-gedung pusat pemerintahan di tingkat kabupaten maupun distrik yang mulai menerabas hutan dan tanah-tanah ulayat milik masyarakat. Namun, semua itu terjadi karena adanya bantuan triliunan rupiah jumlahnya, baik itu dari pemerintah pusat Indonesia di Jakarta, melalui Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua dan Papua Barat serta program-program bantuan dari lembaga luar negeri.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya berbagai macam bantuan tersebut membuat masyarakat Papua berinisiatif untuk merubah diri dan kehidupannya ke depan? Di sinilah kemudian terletak persoalannya.
Sudah menjadi kelumrahan jika dalam memandang, “mambaca”, mencitrakan, dan menganalisis Papua dengan masyarakat dengan “terkebelakang”, “kurang beradab” dan sejumlah kesan minor lainnya karena sederetan kisah tentang gizi buruk, “perang suku”, dan kekurangmajuan mereka dibandingkan dengan daerah Indonesia di bagian barat. Pembacaan ini dari perspektif yang mempengaruhinya sudah mengalami permasalahan yang sangat akut dan serius.
Permasalahannya adalah menempatkan bahwa yang memandang Papua merasa dirinya lebih “berkuasa” dan beradab dibandingkan masyarakat Papua secara umum. Ini adalah cikal bakal dari pandangan kolonialistik dan penaklukan (baca: penjajahan). Pembacaan ini lebih mengundang permasalahan daripada menemukan soluasi dalam menghadapi kompleksitas persoalan Papua.
Realitas berbagai persoalan yang terdapat di Papua harus dilihat secara holistik, komphresentif dan berperspektifkan empati yang emansipatoris. Ide dari pendekatan ini adalah melihat kompleksitas persoalan Papua dengan menggali latar belakang permasalahan, tidak menyalahkan tapi membangun solusi bersama. Setelah itu menempatkan masyarakat Papua sebagai subyek dan menggerakkan mereka untuk berperan secara aktif dan merubah dirinya sendiri. Caranya adalah menggugah kesadaran mereka tentang kondisi Papua dan tanah kelahirannya kini dan menggantungkan harapan-harapan pembaruan kepadanya.
Dengan menggunakan perspektif emansipatoris dan transformatif, masyarakat Papua akan merasa dirinya menjadi bagian dari perubahan besar yang terjadi di Papua, bukan malah sebagai penonton seperti kecenderungan yang terjadi selama ini. Argumentasi ekonomi politik sebagai basis dari pandangan modernisme (kemajuan) mendasarkan kemajuan diukur dari pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
Dasar pemikiran inilah yang dominan selama ini mempengaruhi cara pandang dan pembacaan terhadap Papua, sehingga fenomena pemekaran digalakkan sedemikian rupa dengan alasan untuk memajukan Papua dari kemiskinan, ketertinggalan, dan sebagai aspirasi politik budaya masyarakat Papua. Kemiskinan dan ketertinggalan adalah basis dari argumentasi ekonomi, sedangkan aspirasi politik etnik/suku di Papua adalah basis untuk menjaga stabilitas politik.
Namun, ada satu hal yang dilupakan, padahal memiliki peran vital menyangkut identitas dan martabat sebuah masyarakat. Memang bukan hal yang kongkrit seperti ekonomi, tetapi ini menyangkut soal kebudayaan. Fenomena pemekaran daerah yang saya amati terutama di wilayah Provinsi Papua Barat belum secara maksimal memperhatikan perkembangan sosial budaya yang kompleks di Tanah Papua. Yang terjadi justru dominannya argumentasi ekonomi politik tanpa memikirkan perspektif kebudayaan dalam rencana pemekaran. Alih-alih yang terjadi justru semakin menguatkan sentiment etnik dalam rencana pemekaran daerah di Papua. Oleh karena itulah masyarakat Papua akan semakin hanya memikirkan diri dan kebudayaannya saja tanpa mempunyai kesempatan untuk interaksi dan akulturasi dengan dunia luar. Hal inilah yang menyebabkan orang Papua kehilangan kesempatan untuk memperbarui identitas-identitasnya.
Pemekaran daerah dan interkoneksi Papua dengan dunia luar sebenarnya adalah peluang yang besar bagi orang Papua untuk membayangkan pembaruan-pembaruan identitasnya. Hal ini bisa dilihat dari akulturasi yang terjadi di dalam masyarakat Papua karena pengaruh pendatang dan kebudayaan-kebudayaannya. Disamping itu hadirnya pemerintahan, pembangunan, dan investasi juga berdampak penting bagi orientasi nilai dan kebudayaan dalam masyarakat Papua. Pembaruan-pembaruan identitas itu bisa terjadi melalui reproduksi kebudayaan dalam relasi-relasi dalam keseharian masyarakatnya. Semua proses kebudayaan berlangsung dalam fragmen-fragmen kehidupan masyarakat yang mereproduksi identitas dan norma-norma yang hidup di tengah masyarakat.
Kondisi keterpecahan (fragmentasi) yang terjadi di tengah masyarakat Papua berimplikasi serius terhadap rapuhnya solidaritas dan integrasi sosial dalam masyarakat. Hasilnya adalah masyarakat yang sangat rapuh karena solidaritas sosial hanyalah di permukaan tanpa menyentuh akar relasi-relasi sosial budaya dalam keseharian masyarakatnya. Praktik-praktik introduksi pembangunan dan berbagai terjangan investasi menghasilkan fragmentasi yang serius di tengah masyarakat. Integrasi dan solidaritas sosial yang terkandung dalam nilai-dan norma berserta pengetahuan masyarakat mendapat gugatan di internal masyarakat sendiri.
Masuknya nilai-nilai baru merubah reproduksi pengetahuan dan kebudayaan yang berlangsung di tengah masyarakat. Integrasi sosial budaya dan masyarakat yang terorganisir yang tercipta dari proses reproduksi kebudayaan sebelumnya kehilangan konteksnya. Nilai-nilai pembangunan, modernitas, dan kapitalisme dalam wajah-wajah investasi global yang menerjang Papua menciptakan budaya masyarakat yang kehilangan kemandirian dan martabatnya.
Membaca Papua melalui pemekaran daerah secara emanispatoris melibatkan rakyat Papua dalam perubahan sosial setidaknya memperhatikan dua hal penting. Hal pertama sebagai basis adalah memberikan perhatian untuk pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan). Hal yang kedua adalah melayani (baca: memfasilitasi) ekspresi-ekspresi budaya yang begitu heterogen di Tanah Papua.
Kondisi yang terjadi hingga kini adalah pemekaran daerah hanya melayani kebutuhan para elit bukannya martabat kebudayaan masyarakatnya. Kehidupan kultural hanya dipolitisasi untuk kepentingan para elit agar pemekaran terjadi dan dengan demikian uang dan kekuasaan pun ada di tangan. Dengan demikian, orang Papua merasa bahwa kebutuhan kulturalnya tra (tidak) terjamin dan diperalat hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Perspektif yang emansipatif dalam melihat Papua paling tidak memperhatikan kedua hal di atas sembari memperbaiki pengetahuan dan cara pandang kita yang menusiawi dan empati dalam melihat kompleksitas persoalan yang terjadi di bumi Cenderawasih ini.
*) Penulis adalah Staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

Referensi

[1] Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.

 Sumber : www.suarapapua.com
Read More ...

Siap-siap, Pameran Pariwisata Papua Terbesar Akan Digelar di Jakarta

23.38.00
Ilustrasi (Afif/detikTravel)
Jakarta - Papua Expo 2016, inilah pameran pertama dan terbesar tentang Papua di Jakarta. Ada pariwisata, budaya serta kehidupan sosial dari Bumi Cendrawasih yang akan ditampilkan pada Oktober nanti.

"Ini merupakan pameran pertama tentang Papua sekaligus terbesar. Lewat pameran ini, akan kita tampilkan seluruh potensi Papua yang ada," ujar Ketua Panitia Papua Expo 2016, Maximus Tipagau kepada detikTravel di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/7/2016) malam.

Papua Expo 2016 rencananya akan berlangsung dari tanggal 26 sampai 28 Oktober. Lokasinya bertempat di Jiexpo Kemayoran, Jakarta dengan total peserta mencapai ratusan lebih.

Dalam pameran ini, Maximus menjelaskan akan menampilkan segala hal tentang Papua. Baik dari segi pariwisata, budaya, ekonomi dan kehidupan sosial Papua sebab selama ini belum diketahui banyak orang.

"Orang-orang kalau bicara Papua pasti bilangnya perang dan lain-lain yang negatif-negatif. Lewat pameran ini kita mau memperkenalkan bagaimana Papua yang sebenarnya. Kita mau tunjukan, bahwa masyarakat Papua juga anak bangsa yang tak boleh terlupakan," papar putra asli Papua tersebut.

Selama 3 hari penyelenggaraan, bakal ditampilkan berbagai atraksi adat dan perhelatan budaya khas Papua. Ada tari-tarian sampai upacara adat seperti bakar batu. Tak ketinggalan, para operator tur siap menjual berbagai paket wisata ke berbagai destinasi di Papua, dari bawah laut Raja Ampat yang indah hingga Puncak Carstensz yang bersalju.

"Acara ini didukung oleh Lenis Kogoya, salah satu staf khusus presiden serta beberapa kementerian terkait. Seluruh Pemda di Papua pun akan ambil bagian," pungkas Maximus.

(aff/shf)

Read More ...

Rabu, 22 Juni 2016

Kekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 1)

12.48.00
Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat. (Dok SP)
Oleh: I Ngurah Suryawan
Kekalahan Kajian Budaya Papua?Esai sederhana ini mendalami tema-tema kebudayaan yang menjadi isu strategis dalam pengelolaan kebudayaan Papua. Bagian awal dari esai ini akan menguraikan tentang peta sosiokultural studi-studi kebudayaan Papua dan produksi kuasanya. Di dalamnya berlangsung reproduksi pengetahuan tentang Papua yang “menyingkirkan” perspektif emansipatif dan transformatif terhadap orang-orang Papua itu sendiri. Yang justru terjadi adalah “kekalahan” dari orang-orang Papua sendiri sekaligus matinya denyut nadi ilmu humaniora (baca: kemanusiaan) di Tanah Papua itu sendiri. Bagian berikutnya mencoba untuk menganalisis “matinya” ruh ilmu-ilmu humaniora yang terlibat dalam transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Yang justru terjadi adalah ilmu yang mengkolonisasi (baca: menjajah) orang-orang Papua itu sendiri dengan menstigmatisasi komunitas-komunitas yang ada di Papua. Kesalahan penamaan inilah yang berimplikasi serius dalam produksi kebudayaan, kebijakan, dan kekuasaan yang berlangsung berlarut-larut hingga kini di tanah Papua.
Melalui perspektif yang kritis, Laksono (2010) menyatakan, kekalahan ilmu antropologi justru terjadi di daerah yang sumber daya alamnya sangat kaya. Antropologi hanya menjadi alat kekuasaan modal, negara, dan menggunakan nalar-nalar berpikir kapitalisme global yang pragmatis dan positivistik dalam mempraktikkan ilmu-ilmu humaniora. Sangat jelas ini bertentangan dengan nilai-nilai dan perspektif pengembangan ilmu humaniora yang berusaha meletakkan fondasinya kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran menciptakan manusia yang humanis, empati, dan apresiatif terhadap nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejujurnya, pendidikan antropologi sangat penting artinya dalam menciptakan transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Kekayaan budaya dan pengetahuan-pengetahuan lokal adalah modal dalam membimbing rakyat Papua untuk secara kreatif memperbaharui identitasnya. Realitas juga membuktikan sangat banyak generasi muda Papua yang menaruh minat yang tinggi terhadap ilmu-ilmu humaniora, dalam hal ini khususnya antropologi. Ilmu-ilmu humaniora khususnya antropologi yang berkembang di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terbukti memiliki peminat yang tinggi dan lapangan kerja yang menjanjikan bagi lulusannya. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) telah banyak melahirkan lulusan antropologi yang kini terserap di berbagai lapangan kerja dari mulai aparat birokrasi, lembaga swadaya masyarakat hingga jajaran bagian community development (pemberdayaan masyarakat) perusahaan investasi multinasional. Sementara belum genap lima tahun kelahirannya, Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat sudah menerima hampir 450-an mahasiswa hingga 2015, meski kemudian bisa dipastikan akan menyusut hingga kelulusannya. Meski kuantitas bukan menjadi ukuran kemajuan, potensi yang dimiliki oleh peminat ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu antropologi pantas untuk dikedepankan.
Jumlah mahasiswa yang mendaftar di Jurusan Antropologi di Tanah Papua ini pun menunjukkan antusiasme generasi muda Papua mempelajari tentang kebudayaannya. Seorang lulusan ilmu Antropologi UNCEN berkisah kepada saya bahwa motivasinya yang paling besar dalam mempelajari ilmu antropologi jauh-jauh dari Nabire ke Jayapura adalah ingin mempelajari ilmu tentang kebudayaan yang akan dipergunakan untuk “mencatat” kebudayaan di kampungnya masing-masing. Di Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa), puluhan mahasiswa dari salah satu fakultas eksata pindah ke Jurusan Antropologi dengan berbagai alasan. Salah satu mahasiswa yang mengikuti kelas kuliah organisasi sosial yang saya ampu menuturkan, “Bapa, sa pu tempat di sini sudah. Di jurusan sebelumnya sa pu otak ini seperti mati,” ujarnya.
Dimana Posisi Kajian Budaya?
Kajian-kajian kebudayaan dalam lingkup ilmu-ilmu humaniora memiliki perkembangan yang menjanjikan dan dinamis di Papua. Konteks sosial budaya dan perubahan sosial menjadi laboratorium yang penting dalam pengembangan ilmu antropologi khususnya. Namun, situasi ironis yang terjadi adalah terkesan mandegnya perkembangan ilmu-ilmu humaniora karena penetrasi birokratisasi pendidikan dan kuasa investasi global. Jejaring interkoneksi kuasa kapital global inilah yang mengeksploitasi sumber daya alam yang dahsyat dan mengalahkan masyarakat dan budaya tempatan (Laksono, 2010:10). Lalu, dimana peranan ilmu-ilmu humaniora dalam memediasi transformasi sosial budaya di Tanah Papua? Dan, mengapa rakyat Papua tidak tercerdaskan melalui ilmu-ilmu humaniora?
Dalam ranah praksis, kerja ilmu-ilmu humaniora, khususnya antropologi, mesti dikerjakan secara berkelanjutan dengan mengapresiasi pengalaman-pengalaman dan narasi reflektif identitas yang berbeda-beda. Penting juga diajukan kerja partisipatoris bersama-sama masyarakat tempatan untuk melakukan studi etnografi bersama yang memberikan ruang dan sekaligus mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat tempatan untuk bersiasat di tengah terjangan kekuatan kapital global. Oleh karena itulah menjadi penting untuk menghargai “ruang antar budaya” untuk menumbuhkan kesadaran keberbedaan, melihat identitas diri kita pada masyarakat tempatan lain yang sebelumnya “asing” atau kita anggap “terkebelakang” dibanding identitas budaya kita.
Dalam sebuah esainya, Giay (2000:93-102) mengungkapkan bahwa perlu refleksi di kalangan lembaga pendidikan di Papua untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang emansipatif dan transformatif menuju Papua Baru. Lembaga pendidikan di Papua bukan hanya menempatkan dirinya semata-mata sebagai lembaga pewaris nilai-nilai sosial budaya generasi masa lampau. Yang terjadi justru lembaga pendidikan ini tidak akomodatif kepada perubahan jaman. Diperlukan terobosan dari lembaga pendidikan di Papua untuk menangkap kegelisahan dan pergolakan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Kegelisahan dan pergolakan tersebut terekspresikan melalui berbagai fenomena sosial budaya yang terpentaskan di publik maupun tersimpan rapat dibalik kebungkaman rakyat untuk bersuara.
Ilmu-ilmu humaniora adalah pengetahuan yang bersumber dan terus hidup melalui pengalaman manusia dalam berkomunitas dan mengkonstruksi (membentuk) kebudayaannya. Konstruksi manusia dalam relasinya berkomunitas itulah yang membentuk ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, arkeologi, sejarah, antropologi. Semuanya masuk ke dalam rumpun-rumpun ilmu budaya yang membedakan dirinya dengan ilmu sosial dan politik (sosiologi, komunikasi, kriminologi, administrasi, dll). Karena fokusnya pada pembentukan kebudayaan manusia, ilmu-ilmu humaniora menyasar secara langsung refleksi identitas-identitas manusia dalam rentang sejarah yang terus berubah sesuai dengan konteks, ruang, waktu, dan kepentingan manusia tersebut.
Ilmu humaniora tentu berbeda dengan ilmu pasti dan sangat jauh dari pemikiran tentang pragmatisme pendidikan untuk melayani dunia kerja, pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital (investasi) yang menggerogoti negeri ini dan juga manusia-manusia di dalamnya. Subyek yang dipelajari dalam ilmu-ilmu humaniora terus bergerak dan dinamis, sementara yang mempelajarinya juga mempunyai pengalaman pribadi yang terus berubah sesuai dengan konteks historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.
Pendidikan pada prinsipnya berkaitan dengan revolusi kesadaran historis (sekalgus kritis) manusia akan hakekat hidupnya. Eksistensi manusia terbentang antara masa lampau dan masa depan. Dengan demikian, pendidikan itu arahnya tidak hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga pada usaha pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya. Ada tiga poin penting yang patut direnungkan. Pertama, pengetahuan manusia itu bersifat historis, maka sifat dogmatis bertentangan dengan sikap historis manusia itu. Kedua, perlu tekanan dalam pendidikan pada “proses” bukan hanya dalam “produk”. Ketiga, perlunya menghidupkan kesadaran historis dengan membiasakan peserta didik melihat “akar-akar” sejarah dan masalah-masalah masa kini yang kita hadapi. Pendidikan seperti inilah yang berwawasan kemanusiaan, jadi juga berwawasan antropologi.
Dengan demikian, ketajaman antropologi dalam membahasakan dinamika sosial budaya yang melaju kencang di Tanah Papua menjadi sangat-sangat terbatas. Antropologi menjadi kekurangan bahasa dalam menyuarakan “kaum tak bersuara” yang tersimpan dalam kebungkaman rakyat Papua dalam ingatan memoria passionis-nya. Yang justru terjadi adalah “kolonisasi antropologi” dengan melakukan kesalahan-kesalahan penamaan hanya dengan penyederhanaan kepada “antropologi laci” dan menguncinya pada tujuh unsur kebudayaan. Ini tentu saja salah kaprah. Kebudayaan Papua kini telah terinterkoneksi dengan dunia luar dan memikirkannya kembali ke titik asali atau meromantisisasinya menjadi praktik penjajahan kebudayaan yang terselubung.
Penulis adalah staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Referensi
[1] Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.
Read More ...

Senin, 13 Juni 2016

Sagu, Kunci Kesejahteraan Masyarakat Papua

08.28.00
Sagu, salah satu bahan pangan lokal.
Jakarta - Dengan luas hutan sagu hampir 85% dari total luasan area sagu di Indonesia yang juga merupakan hutan sagu terluas di dunia, para pakar berharap sagu dapat menjadi kunci kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia bagian timur, khususnya Papua dan Papua Barat.
“Indonesia memiliki 90% lebih luasan sagu di dunia, dengan 85%-nya terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan fakta tersebut, pemerintah seharusnya dapat melihat ini sebagai kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen sagu terbesar di dunia dan juga komponen utama untuk menyejahterakan rakyat di Indonesia bagian timur,” ujar peneliti utama di Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bambang Hariyanto di Jakarta, Senin (13/6).
Pohon sagu atau sago palm (metroxylon sagu) adalah tanaman asli Indonesia yang menjadi sumber karbohidrat utama. Bahkan, sagu juga dapat digunakan sebagai makanan sehat (rendah kadar glikemik), selain dapat dipakai untuk bioetanol, gula untuk industri makanan dan minuman, pakan ternak, industri kertas, farmasi dan lainnya.
Di Indonesia, selain dikenal hidup dan berkembang di Papua, pohon sagu terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai. Namun demikian, mayoritas pohon sagu terdapat di Papua dengan luasan lahan 1,2 juta hektare (ha).
Dalam peta sebaran sagu menurut situs resmi Kementerian Pertanian disebutkan, pohon sagu yang hidup di hutan alam mencapai 1,25 juta ha, dengan rincian 1,2 juta di Papua dan Papua Barat dan 50 ribu ha di Maluku. Sedangkan pohon sagu yang merupakan hasil semi budidaya (sengaja ditanam/semi cultivation) mencapai 158 ribu ha, dengan rincian 34 ribu ha di Papua dan Papua Barat, di Maluku 10 ribu ha, di Sulawesi 30 ribu ha, di Kalimantan 20 ribu ha, di Sumatera 30 ribu ha, di Kepulauan Riau 20 ribu ha, dan di Kepulauan Mentawai 10 ribu ha.
Berdasarkan data Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), luas lahan sagu dunia mencapai 6,5 juta ha pada 2014. Dari luas lahan tersebut, Indonesia memililiki pohon sagu seluas 5,5 juta ha, di mana sebanyak 5,2 juta ha berada di Papua dan Papua Barat
Namun, dia menuturkan, potensi sagu di Indonesia wilayah timur belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan, lahan sagu secara perlahan mulai terkikis oleh pembangunan jalan, rumah toko, dan pembangunan lainnya. Padahal tanaman sagu banyak manfaatnya bagi kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia bagian Timur.
"Tidak hanya dapat menjadi bahan pangan utama, daun sagu juga bisa dijadikan sebagai atap rumah tradisional," kata dia.
Menurut Bambang, salah satu masalah utama sulitnya pengembangan sagu di Indonesia adalah infrastruktur. Di Papua, warga kesulitan memasok sagu rakyat ke pabrik sagu besar dan pabrik sagu besar sulit untuk menyalurkan hasil produksinya keluar. Sebagai akibatnya, biaya logistik bisa mencapai 30% dari biaya produksi. Selain itu, masalah ketersediaan listrik di Indonesia bagian Timur menjadi kendala bagi pengembangan sagu di Bumi Nusantara.
“Ada juga pemasalahan sosial ekonomi, di mana pengolahan sagu di Papua terkena hak hutan ulayat. Artinya, masyarakat perlu mendapat kompensasi dalam setiap pengelolaannya. Untuk hal ini, para pakar berharap pemerintah dapat turut campur tangan melalui kebijakan agar dapat mempermudah pengembangan sagu di Papua,” ucap Bambang.
Read More ...

Sabtu, 11 Juni 2016

Museum Papua di Jerman Siap Diresmikan

13.15.00
Ilustrasi.google
JAYAPURA — Gubernur Papua, Lukas Enembe memberikan apresiasi atas rencana peresmian Museum Papua di Frankfurt, Jerman pada 11 Oktober 2015.
“Saya belum pastikan akan hadir atau tidak, tetapi peresmian Museum Papua ini sungguh merupakan hal yang baik,” kata Enembe di Jayapura, Senin (21/9/2015) seperti dilansir dari Kompas, Jumat (25/9/2015).
Sementara itu, antropolog dari Jerman, Werner F Weiglein mengatakan, pihaknya sengaja mengunjungi Gubernur Papua selain untuk menyampaikan undangan, juga untuk menginformasikan bahwa peresmian museum ini akan dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan.
“Di Jerman nanti ada Frankfurt Book Fair (FBF) yaitu pameran buku terbesar dan tertua di dunia, sehingga Mendikbud selain menghadiri pameran buku, juga berkesempatan meresmikan Museum Papua,” kata Werner.
Ia menjelaskan, museum Papua ini berisi koleksi benda-benda tradisional adat dan budaya Papua yang dikumpulkan oleh pihaknya selama ini.
“Koleksi benda-benda tradisional Papua yang ada di museum Frankfurt, Jerman ini mencapai 800 jenis,” ujarnya.
Werner juga mengatakan, khusus untuk benda-benda dari Asmat, sudah ditulis dalam buku katalog benda dalam bahasa Jerman oleh penerbit lokal negara ini yang berisi nama benda, penjelasan singkat, ukuran dan kegunaan benda, serta informasi penting lainnya terkait benda tersebut.
“Benda-benda ini telah dipetakan berdasarkan asal benda dan akan dipajang dalam museum yang sedang disiapkan,” kata Werner. (Mikael Kudiai)
Read More ...

Jumat, 10 Juni 2016

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Papua Gelar Pra Meeting Pesta Budaya Papua di Biak

11.18.00
Pra Meeting Pesta Budaya Papua di Biak. (Harun Rumbarar - SP)
Jayapura — Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi  Papua gelar pra meeting dalam rangka mempersiapkan dri untuk Pesta Budaya Papua XIV, Festival Seni Kreasi Papua XVII dan Lomba Seni Anak dan Remaja XIII di Biak, Papua.
Yulianus Kuayo, kepada bidang Kebudayaan dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Papua mengatakan, pra meeting ini dilakukan dalam rangka menyatukan pendapat/pemikiran antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua dengan dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota se Provinsi Papua atau pun dengan dinas-dinas terkait lainnya yang menangani kebudayaan di daerah sebagai peserta yang nantinya akan mengikuti kegiatan Pesta Budaya Papua XIV.
“Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pesta budaya Papua, Festival seni kreasi Papua dan lomba seni anak dan remaja Papua tahun 2016 ditentukan melalui pelaksanaan Pra Meeting ini sehingga saya harapkan para  kepala dinas Pendidikan dan kebudayaan tingkat kabupaten/kota dapat berpartisipasi untuk melakukan kesiapan-kesiapan selanjutnya,” kata Kuayo saat membuka pra meeting itu di Biak, Kamis (9/6/2016).
Sementara itu, Septinus Rumasep, sekertaris Dewan Kesenian provinsi Papua, dalam pembahasan pra meeting mengatakan, kegiatan ini juga turut mendukung dan sosialisasi instruksi gubernur Papua No. 3/2014 tentang Gerakan Melestarikan Budaya Papua dan Pangan Lokal.
 “Kami berharap kepada para kepala dinas Pendidikan dan Kebudayaan tingkat kabupaten/kota, kepala bidang kebudayaan tingkat kebupaten/kota, dewan kesenian serta para seniman di seluruh Papua benar-benar menerapkan intruksi ini,” kata Rumasep.
 Karena, menurutnya, kalau intruksi ini benar-benar diterapkan dampaknya terhadap kebudayaan di Papua dan ekonomi di Papua akan sangat berpengaruh dan membawa dampak yang baik.
Peserta pra meering yang hadir di dalam pertemuan di Biak perwakilan dari 13 kabupaten yang ada di Papua. Antara lain, Kabupaten Keerom, Supiori, Mimika, Biak Numfor, Boven Digoel, Merauke, Kepulauan Yapen, Puncak Papua, Paniai, Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura.
Kegiatan ini dibagi dalam dua kategori yaitu kegiatan pra meeting dan Rapat Koordinasi Kebudayaan se Provinsi Papua. Kegiatan pra meeting dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2016 sementara kegiatan Rapat Koordinasi dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2016 di hotel Mapia-Kabupaten Biak. (Harun Rumbarar)
Read More ...