PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Desember 2016

Papua Beri Contoh Indahnya Kebersamaan, Remaja Masjid Bantu Pengamanan Misa Natal

04.28.00
ilustrasi
TIMIKA - Puluhan pemuda dan remaja masjid akan membantu pengamanan misa dan kebaktian Natal 2016, di gereja-gereja di Kota TimikaPapua.
Ketua Panitia Hari-hari Besar Islam (PHBI) Kabupaten Mimika, Laitam Gredenggo, di Timika, Sabtu, mengatakan mengutus 84 orang pemuda, remaja dan para ustadz untuk bersama-sama elemen lainnya mengamankan perayaan Natal 2016 di gereja-gereja di Timika.
Kehadiran relawan dari berbagai agama untuk membantu pengamanan ibadah Natal di Timika itu dikoordinir oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Mimika.
"Kami mengutus 84 orang pemuda, remaja masjid beserta tokoh-tokoh umat Islam untuk membantu pengamanan perayaan Natal dan Tahun Baru. Penempatan mereka di titik-titik mana saja semua akan diatur oleh FKUB," kata Laitam.
Laitam mengatakan sudah merupakan kebiasaan di Timika dimana setiap perayaan hari-hari besar keagamaan semua umat beragama mengambil bagian terutama dalam hal pengamanan.
"Dari dulu di Timika sudah seperti ini. Kalau hari raya Natal dan Paskah, yang bertugas mengamankan di gereja-gereja yaitu kami dari Islam, Hindu dan Budha. Demikianpun sebaliknya kalau hari raya Lebaran maka teman-teman Katolik dan Protestan serta Hindu dan Budha yang membantu pengamanan," ujar Laitam.
Dengan adanya sikap saling hormat-menghormati dan saling menghargai seperti itu, Laitam berharap semangat toleransi antarumat beragama di Mimika terus terjalin dengan baik.
"Kami seluruh umat Islam di Kabupaten Mimika siap mendukung penuh pengamanan perayaan Natal dan Tahun Baru. Kami juga mengucapkan selamat Natal kepada saudara-saudara kami kaum Nasarani," kata Laitam yang merupakan tokoh Muslim Kabupaten Mimika kelahiran Fakfak itu.
Sekretaris Daerah Mimika Ausilius You meminta semua komponen di wilayah itu bersama-sama menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban selama perayaan Natal hingga Tahun Baru 2017.
"Kami harapkan suasana Natal dan Tahun Baru di Mimika kali ini aman dan damai," ujarnya.
You mengingatkan agar tempat-tempat hiburan malam tutup total mulai Sabtu ini hingga Senin (26/12/2016).
Sementara itu gereja-gereja di Kota Timika sudah mempersiapkan diri melaksanakan ibadah perayaan Natal sejak beberapa hari sebelumnya.
Di Gereja Katedral Tiga Raja Timika dan Gereja St Stefanus SempanTimika, panitia menambah tenda di halaman gereja untuk menampung umat yang akan mengikuti Misa Malam Natal pada Sabtu malam dan Misa Hari Raya Natal, Minggu (25/12/2016).
Di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, misa Malam Natal berlangsung dua kali yaitu pada pukul 17.00 WIT dan pada pukul 20.00 WIT. (ANTARA)

Sumber : http://www.tribunnews.com/
Read More ...

Rabu, 02 November 2016

Orang Non Papua Terus Kuasai Kota Wamena

15.20.00
Ruko di Jl. Trans Irian Pikhe, Kampung Likino Distrik Hubukiak,
Kabupaten Jayawijaya. (Foto: Ronny - SP)
Wamena — Orang non Papua terus menguasai kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan membangun toko dan kios yang dulunya hanya terpusat di kota Wamena, kini terus kuasai hingga ke pinggiran kota Wamena.
Fenomena ini terlihat dari perkembangan dan penyebaran kios dan toko yang sangat cepat di beberapa sudut di Kota Wamena terutama wilayah yang menghubungkan dengan wilayah luar kota, bahwa kios atau ruko milik para pedagang non Papua semakin banyak mengikuti perkembangan kota ke arah pinggiran kota Wamena.
Daerah Barat Wamena, jalan Homhom Moai distrik Hubikiak merupakan salah satu areal yang perkembangannya begitu pesat. Pada tahun 2005 silam wilayah ini masih tertutup hutan lebat, kios-kios hanya terlihat di sekitar pertigaan Jalan Homhom Moai dan Jalan Trans Irian. Tetapi kini ruko dan kios terus dibangun hingga jarak sekitar 3 Km ke arah luar kota.
Sedikitnya 350-an lebih kios dan ruko berjejeran di pinggiran jalan distrik Hubikiak, hampir semuanya milik para pedagang migran. Hal serupa juga tampak di sudut kota Wamena lainnya, di sebelah utara, sekitaran pasar Sinakma, kampung Honelama maupun arah distrik Napua, Kabuaten Jayawijaya.
Rosin, salah seorang pemilik kios di Sinakma mengakui, ia sudah menempati ruko tersebut sejak tahun 2012 dengan cara kontrak tahunan dari pihak TNI sebagai pemiliknya.
“Saya masih nona sudah tempati ruko itu. Tentara semua yang punya tanah ke atas itu dan kita kontrak. Sekarang sudah pindah ke rumah sendiri dan ada ruko lagi. Ruko lama juga tetap (pakai),” kata Rosin, salah seorang pemilik dan pengontrak Ruko dari oknum TNI di Wamena kepada suarapapua.com pada Rabu (2/11/2016).
Pendudukan migran disertai ruko dan kios juga terjadi di sebelah timur kota Wamena yaitu distrik Wouma dan selatan kota Wamena yaitu di wilayah Distrik Wesaput dan sekitarnya.
“Wesaput itu dari kali Baliem sampai dekat bandara sini kios-kios itu orang pendatang punya semua. Itu mulai banyak baru-baru ini tahun 2014 ke sini. Kali Baliem sudah ada jembatan itu nanti mereka bangun di sebelah lagi itu,” kata Logo, warga distrik Wesaput yang ditemui media ini.
Melihat kondisi tersebut, ia khawatir, kedepan tidak ada peluang bagi orang asli Papua (OAP) untuk berdagang sebagai mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan hidu.p
“Ini bahaya orang pendatang dorang kuasai terus ini, kita mau buka usaha, tapi mereka kuasai terus makin banyak. Jadi susah sekali,” kata Logo.
Senada juga dikemukakan warga asli Papua lainnya, Adam Wenente. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat asli Papua hanyalah proyek yang datang dan pergi, numpang lewat, selalu dinyanyikan oleh oknum-oknum di Pemerintahan tanpa ada hasil yang nyata.
“Buktinya, semua perdagangan dikuasai pendatang, pinang pun mereka (pendatang) jual, minyak, tanah, bensin, kayu bakar, lalu pemberdayaan itu mana? Pemerintah Distrik di luar kota ini juga tidak tegas, harusnya bikin aturan supaya jangan terus menyebar keluar,” kata Adam.
Terpisah, seorang tokoh wilayah adat Wio yang menjadi pusat pembangunan kota Wamena, Elgius Lagoan mengatakan, masyarakat asli wilayah adat suku Wio sejak lama tergeser ke pinggiran karena pembangunan pemerintahan di Jayawijaya bermula di wilayah adat tersebut.
“Padahal kami yang punya ulayat di sini belum memiliki hak ulayat sepenuhnya di kota ini. Kami semua ada di pinggiran kota, itu yang sering terjadi sedikit kecemburuan diantara masyarakat, khusus untuk suku Wio,” tutur Elgius.
Terkait penyebaran pedagang migran di Kabupaten Jayawijaya, Elgius Lagoan mengatakan, sudah seharusnya para pihak pemangku kepentingan di daerah ini memikirkan keseimbangan dalam hal berdagang maupun aktivitas pembangunan lainnya antara orang Papua dan para migran.
“Jadi, tidak harus monopoli oleh warga pendatang, bikin ruko dan sebagainya. Kita harap itu ada keseimbangan. Yang jelas sangat kita khawatir karena dengan adanya pergeseran, maka kami rakyat disini akan terancam,” katanya.
Elgius Lagoan yang juga anggota komisi A DPRD Jayawijaya ini menegaskan, pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk melindungi masyarakat maupun hak ulayatnya yang tersisah ini sebelum habis total.
“Saran kepada pemerintah, tempat-tempat yang tersisa ini kita buat semacam Perda begitu untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan aktivitas ekonomi OAP supaya jelas,” ujar Elgius. (Ronny)
Read More ...

Selasa, 11 Oktober 2016

Mabuk Bukan Budaya Asli Papua

08.48.00
Merauke — Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Laut Merauke, Provinsi Papua, Yohanes Puer, mengajak pemuda setempat menjauhkan diri dari minuman beralkohol. Minuman tersebut disebutnya menimbulkan banyak hal negatif.


"Sebagai orang asli Papua, saya mengajak tinggalkan minuman beralkohol karena kita sendiri yang menjadi korban jika terus-menerus mengonsumsinya," kata Yohanes di Merauke, Senin (10/10).



Mengonsumsi minuman beralkohol dan mabuk di tempat-tempat umum, seperti yang terjadi sekarang, tidak mencirikan budaya orang asli Papua. Dia mengatakan, harga diri sebagai orang Papua diinjak bukan oleh orang lain. Dia menasihati, bagaimana akan maju kalau hanya mabuk - mabukan.



Persoalan lain yang muncul jika menjadi orang yang sering sekali mengonsumi minuman beralkohol adalah suka menunda pekerjaan, termasuk menghabiskan uang hanya untuk membeli minuman tersebut. Kalau terus mabuk-mabukan, untuk makan keluarga atau membangun rumah tangga saja tidak bisa dilakukan karena uang sudah habis.    antara, ed: Erdy Nasrul

Read More ...

Senin, 27 Juni 2016

Germanus Goo: Jangan Jual Tanah Adat di Dogiyai!

05.03.00
Germanus Goo, ketua Dewan Adat Mee KAMAPI (Foto: Agustinus Dogomo/SP)
Dogiyai — Germanus Goo, ketua Dewan Adat Mee Kamuu, Mapia, Piyaiye (DAM KAMAPI) menegaskan, kepada semua masyarakat setempat untuk tidak suka jual tanah adat yang ada di wilayah Kabupaten Dogiyai.
“Himbauan kami bahwa jangan jual tanah adat. Kalau jual tanah adat itu sama saja kamu jual diri kamu. Harus diingat bahwa tanah dan kekayaan ini Tuhan berikan untuk kita kelola dan hidup di atas tanah ini,” tegasnya di Ekemanida, Moanemani, Kamis (24/6/2016).
Diakui, jual beli tanah adat di Dogiyai marak terjadi sejak tiga tahun terakhir. Ironisnya, tanah dijual murah kepada orang pendatang. Motor bekas pun bahkan bisa diterima oknum pemilik tanah.
“Yang mempunyai tanah dan kekayaan adalah kami dan diakui sebagai pemilik ahli waris negeri ini,” ujar Germanus.
“Kami ingin menyelamatkan diri kami dari pemusnahan secara sistematis yang dilakukan orang tak bertanggungjawab melalui berbagai cara dengan tujuan merebut tanah dan kekayaan kami di tempat surga ini,” tuturnya.
Germanus juga berkomitmen, organisasi yang dipimpinnya akan berjuang untuk mempertahankan tanah adat sebagai modal hidup, karena tanah adalah mama, Tuhan ciptakan dan sudah lengkapi dengan barang-barang yang dapat dilihat dan tak dilihat.
“Kami ingin mengembalikan tanah surga kecil yang sudah mulai hilang di Dogiyai, dari Dogiyai dengan cara menggali, melestarikan dan menjaga semua yang Tuhan sudah kasih dan titip melalui leluhur kami.”
Ia menyarankan agar ada kesadaran dari warga sebagai pemilik dusun, pemilik tanah, pemilik kekayaan alam, kekayaan adat dan budaya luhur pemberian Tuhan. “Ini perlu, dan kami ingin atur, kelola oleh kami sendiri dalam rangka menata hidup dan kehidupan kami yang lebih baik,” kata Germanus.
Kepada masyarakat Kamuu, Mapia dan Piyaiye, dihimbau agar tidak jual tanah sembarang. Cukup yang sudah terlanjur dijual, selanjutnya jangan terulang lagi. “Nanti dari lembaga ini akan mengontrol di wilayah adat ini agar tidak ada lagi aktivitas jual beli tanah,” tegasnya.(Agustinus Dogomo)
Read More ...

Rabu, 22 Juni 2016

Kekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 1)

12.48.00
Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat. (Dok SP)
Oleh: I Ngurah Suryawan
Kekalahan Kajian Budaya Papua?Esai sederhana ini mendalami tema-tema kebudayaan yang menjadi isu strategis dalam pengelolaan kebudayaan Papua. Bagian awal dari esai ini akan menguraikan tentang peta sosiokultural studi-studi kebudayaan Papua dan produksi kuasanya. Di dalamnya berlangsung reproduksi pengetahuan tentang Papua yang “menyingkirkan” perspektif emansipatif dan transformatif terhadap orang-orang Papua itu sendiri. Yang justru terjadi adalah “kekalahan” dari orang-orang Papua sendiri sekaligus matinya denyut nadi ilmu humaniora (baca: kemanusiaan) di Tanah Papua itu sendiri. Bagian berikutnya mencoba untuk menganalisis “matinya” ruh ilmu-ilmu humaniora yang terlibat dalam transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Yang justru terjadi adalah ilmu yang mengkolonisasi (baca: menjajah) orang-orang Papua itu sendiri dengan menstigmatisasi komunitas-komunitas yang ada di Papua. Kesalahan penamaan inilah yang berimplikasi serius dalam produksi kebudayaan, kebijakan, dan kekuasaan yang berlangsung berlarut-larut hingga kini di tanah Papua.
Melalui perspektif yang kritis, Laksono (2010) menyatakan, kekalahan ilmu antropologi justru terjadi di daerah yang sumber daya alamnya sangat kaya. Antropologi hanya menjadi alat kekuasaan modal, negara, dan menggunakan nalar-nalar berpikir kapitalisme global yang pragmatis dan positivistik dalam mempraktikkan ilmu-ilmu humaniora. Sangat jelas ini bertentangan dengan nilai-nilai dan perspektif pengembangan ilmu humaniora yang berusaha meletakkan fondasinya kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran menciptakan manusia yang humanis, empati, dan apresiatif terhadap nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejujurnya, pendidikan antropologi sangat penting artinya dalam menciptakan transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Kekayaan budaya dan pengetahuan-pengetahuan lokal adalah modal dalam membimbing rakyat Papua untuk secara kreatif memperbaharui identitasnya. Realitas juga membuktikan sangat banyak generasi muda Papua yang menaruh minat yang tinggi terhadap ilmu-ilmu humaniora, dalam hal ini khususnya antropologi. Ilmu-ilmu humaniora khususnya antropologi yang berkembang di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terbukti memiliki peminat yang tinggi dan lapangan kerja yang menjanjikan bagi lulusannya. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) telah banyak melahirkan lulusan antropologi yang kini terserap di berbagai lapangan kerja dari mulai aparat birokrasi, lembaga swadaya masyarakat hingga jajaran bagian community development (pemberdayaan masyarakat) perusahaan investasi multinasional. Sementara belum genap lima tahun kelahirannya, Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat sudah menerima hampir 450-an mahasiswa hingga 2015, meski kemudian bisa dipastikan akan menyusut hingga kelulusannya. Meski kuantitas bukan menjadi ukuran kemajuan, potensi yang dimiliki oleh peminat ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu antropologi pantas untuk dikedepankan.
Jumlah mahasiswa yang mendaftar di Jurusan Antropologi di Tanah Papua ini pun menunjukkan antusiasme generasi muda Papua mempelajari tentang kebudayaannya. Seorang lulusan ilmu Antropologi UNCEN berkisah kepada saya bahwa motivasinya yang paling besar dalam mempelajari ilmu antropologi jauh-jauh dari Nabire ke Jayapura adalah ingin mempelajari ilmu tentang kebudayaan yang akan dipergunakan untuk “mencatat” kebudayaan di kampungnya masing-masing. Di Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa), puluhan mahasiswa dari salah satu fakultas eksata pindah ke Jurusan Antropologi dengan berbagai alasan. Salah satu mahasiswa yang mengikuti kelas kuliah organisasi sosial yang saya ampu menuturkan, “Bapa, sa pu tempat di sini sudah. Di jurusan sebelumnya sa pu otak ini seperti mati,” ujarnya.
Dimana Posisi Kajian Budaya?
Kajian-kajian kebudayaan dalam lingkup ilmu-ilmu humaniora memiliki perkembangan yang menjanjikan dan dinamis di Papua. Konteks sosial budaya dan perubahan sosial menjadi laboratorium yang penting dalam pengembangan ilmu antropologi khususnya. Namun, situasi ironis yang terjadi adalah terkesan mandegnya perkembangan ilmu-ilmu humaniora karena penetrasi birokratisasi pendidikan dan kuasa investasi global. Jejaring interkoneksi kuasa kapital global inilah yang mengeksploitasi sumber daya alam yang dahsyat dan mengalahkan masyarakat dan budaya tempatan (Laksono, 2010:10). Lalu, dimana peranan ilmu-ilmu humaniora dalam memediasi transformasi sosial budaya di Tanah Papua? Dan, mengapa rakyat Papua tidak tercerdaskan melalui ilmu-ilmu humaniora?
Dalam ranah praksis, kerja ilmu-ilmu humaniora, khususnya antropologi, mesti dikerjakan secara berkelanjutan dengan mengapresiasi pengalaman-pengalaman dan narasi reflektif identitas yang berbeda-beda. Penting juga diajukan kerja partisipatoris bersama-sama masyarakat tempatan untuk melakukan studi etnografi bersama yang memberikan ruang dan sekaligus mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat tempatan untuk bersiasat di tengah terjangan kekuatan kapital global. Oleh karena itulah menjadi penting untuk menghargai “ruang antar budaya” untuk menumbuhkan kesadaran keberbedaan, melihat identitas diri kita pada masyarakat tempatan lain yang sebelumnya “asing” atau kita anggap “terkebelakang” dibanding identitas budaya kita.
Dalam sebuah esainya, Giay (2000:93-102) mengungkapkan bahwa perlu refleksi di kalangan lembaga pendidikan di Papua untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang emansipatif dan transformatif menuju Papua Baru. Lembaga pendidikan di Papua bukan hanya menempatkan dirinya semata-mata sebagai lembaga pewaris nilai-nilai sosial budaya generasi masa lampau. Yang terjadi justru lembaga pendidikan ini tidak akomodatif kepada perubahan jaman. Diperlukan terobosan dari lembaga pendidikan di Papua untuk menangkap kegelisahan dan pergolakan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Kegelisahan dan pergolakan tersebut terekspresikan melalui berbagai fenomena sosial budaya yang terpentaskan di publik maupun tersimpan rapat dibalik kebungkaman rakyat untuk bersuara.
Ilmu-ilmu humaniora adalah pengetahuan yang bersumber dan terus hidup melalui pengalaman manusia dalam berkomunitas dan mengkonstruksi (membentuk) kebudayaannya. Konstruksi manusia dalam relasinya berkomunitas itulah yang membentuk ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, arkeologi, sejarah, antropologi. Semuanya masuk ke dalam rumpun-rumpun ilmu budaya yang membedakan dirinya dengan ilmu sosial dan politik (sosiologi, komunikasi, kriminologi, administrasi, dll). Karena fokusnya pada pembentukan kebudayaan manusia, ilmu-ilmu humaniora menyasar secara langsung refleksi identitas-identitas manusia dalam rentang sejarah yang terus berubah sesuai dengan konteks, ruang, waktu, dan kepentingan manusia tersebut.
Ilmu humaniora tentu berbeda dengan ilmu pasti dan sangat jauh dari pemikiran tentang pragmatisme pendidikan untuk melayani dunia kerja, pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital (investasi) yang menggerogoti negeri ini dan juga manusia-manusia di dalamnya. Subyek yang dipelajari dalam ilmu-ilmu humaniora terus bergerak dan dinamis, sementara yang mempelajarinya juga mempunyai pengalaman pribadi yang terus berubah sesuai dengan konteks historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.
Pendidikan pada prinsipnya berkaitan dengan revolusi kesadaran historis (sekalgus kritis) manusia akan hakekat hidupnya. Eksistensi manusia terbentang antara masa lampau dan masa depan. Dengan demikian, pendidikan itu arahnya tidak hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga pada usaha pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya. Ada tiga poin penting yang patut direnungkan. Pertama, pengetahuan manusia itu bersifat historis, maka sifat dogmatis bertentangan dengan sikap historis manusia itu. Kedua, perlu tekanan dalam pendidikan pada “proses” bukan hanya dalam “produk”. Ketiga, perlunya menghidupkan kesadaran historis dengan membiasakan peserta didik melihat “akar-akar” sejarah dan masalah-masalah masa kini yang kita hadapi. Pendidikan seperti inilah yang berwawasan kemanusiaan, jadi juga berwawasan antropologi.
Dengan demikian, ketajaman antropologi dalam membahasakan dinamika sosial budaya yang melaju kencang di Tanah Papua menjadi sangat-sangat terbatas. Antropologi menjadi kekurangan bahasa dalam menyuarakan “kaum tak bersuara” yang tersimpan dalam kebungkaman rakyat Papua dalam ingatan memoria passionis-nya. Yang justru terjadi adalah “kolonisasi antropologi” dengan melakukan kesalahan-kesalahan penamaan hanya dengan penyederhanaan kepada “antropologi laci” dan menguncinya pada tujuh unsur kebudayaan. Ini tentu saja salah kaprah. Kebudayaan Papua kini telah terinterkoneksi dengan dunia luar dan memikirkannya kembali ke titik asali atau meromantisisasinya menjadi praktik penjajahan kebudayaan yang terselubung.
Penulis adalah staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Referensi
[1] Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.
Read More ...

Sabtu, 18 Juni 2016

Nason Utty: Miras Budaya Kolonial

10.24.00
Nasson Utty, sekertaris Komis V DPR Papua. (Foto: IST)
Jayapura — Sekertaris Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  Papua, Nason Utty mengatakan minum-minuman keras bukan budaya orang papua. Tetapi budaya yang diadopsi dari orang (budaya) Barat. 
“Miras sambil bersenang-senang itu bukan budaya orang papua, bukan juga dari suku-suku lain di indonesia . Tapi itu budayanya orang Eropa sana ,” kata Nason, dalam acara dialog bebas di TVRI Papua, belum lama ini.
Kata dia, sebagai warga negara yang baik, tidak boleh ada diskriminasi antara sesama. Kebiasaan tidak baik ini dipakai oleh Kolonial Belanda untuk  membodohi pribumi di setiap daerah jajahannya saat itu.
“Itu trik yang pada jaman dulu dipake oleh Belanda untuk membodohi pribumi.  Sekarang cara ini tertular sampe ke orang papua,” jelas Nason
Sehingga, dirinya berharap, instruksi gubernur Papua berdasarkan UU No 15 Tahun 2015 tentang larangan miras yang sudah dikeluarkan gubernur Enembe, Bupati dan Walikota di seluruh tanah Papua dapat mencaput izin usaha penjualan miras.
“Saat itu, kami (DPRP) bersama pemprov lakukan pembahasan, lalu kami terbitkan Intruksi Gubernur yang isinya mencabut segala penjualan miras dalam bentuk apapun. Tapi saya heran, kenapa bupati dan walikota tidak jalankan. Saya harap dalam waktu dekat perintah gubernur bisa dijalankan,” beber dia.
Dikatakan, Bupati dan Walikota dapat memanfaatkan waktu yang sudah Tuhan kasih dengan baik.
“Kesempatan itu datang sekali, gunakan waktu itu sebaik mungkin untuk berbuat sesuatu yang baik. Kenapa bupati dan walikota tidak turut perintah gubernur. Cabut ijin usaha penjualan miras itu kan baik, kenapa bupati dan walikota tidak buat itu,” tutur Nason.
Sebelumnya, seperti disiarkan media ini, asisten I Sekertaris Daerah Propinsi Papua, Doren Wakerkwa, menyatakan Pakta Integritas tentang pelarangan miras yang dikeluarkan Gubernur Papua akan terus dikawal diseluruh wilayah, baik di Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Kata dia, tidak boleh siapapun intervensi pada perda pelarangan miras, karena apa yang diberlakukan Pemda Propinsi Papua adalah sesuai dengan amanat UU Otsus No 21 Tahun 2001.
“Hukum atau Undang-Undang yang tertinggi di Papua adalah UU Otsus, untuk itu siapapun dia entah Pemerintah Pusat atau oknum lainnya tidak boleh menghalai dan menghambat pelarangan miras,” kata Doren, dalam Acara Dialog Bebas yang bertemakan “Pelarangan Miras, Narkoba dan HIV/AIDS di Papua” yang dibuat oleh TVRI Papua, malam ini (14/6/2016). (Baca: Pemprov Papua Minta Bupati dan Walikota Cabut Izin Usaha Miras di Seluruh Papua). (Stevanus Yogi)
Read More ...

MIFEE dan Ancaman Eksistensial Masyakarat Papua

10.14.00
Everd Scor Rider Daniel (Foto: Dok pribadi)
Oleh: Everd Scor Rider Daniel
Belakangan ini, permasalahan hak atas tanah menjadi diskursus sosial yang cukup kompleks. Persoalan lahan kerap menimpa komunitas masyarakat di tingkat akar rumput (grassroots).
Ketika berbicara soal hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat, paradigma yang digunakan perlu didasarkan pada cara pandang moral. Sebab, selama ini konteks kepemilikan lahan masyarakat dipandang sebelah mata. Sehingga kemudian menimbulkan kealpaan negara membela hak sosial masyarakat.
Titik sentral pembahasan tidak hanya berkutat soal bagaimana fungsi dan kegunaannya, namun lebih dari itu, bagaimana cara mempertahankan hak lahan sebagai warisan identitas masyarakat.
Menurut Van Vollenhoven, dalam bukunya De Indonesier en zijn Grond (orang Indonessia dan tanahnya), hak milik adalah suatu hak eigendom timur (Ooster eigendomsrecht), suatu hak kebendaan (zakelijk rech) yang mempunyai wewenang untuk; (a) Mempergunakan atau menikmati benda itu dengan batas dan sepenuh-penuhnya, (b) Menguasai benda itu seluas-luasnya. (Van Vollenhoven, 1926: 92).
Apabila dikaitkan dengan tesis Van Vollenhoven, kenyataan yang terjadi saat ini justru bertolak belakang dengan penghormatan terhadap kebendaan (tanah) masyarakat.
Kembali pada pokok permasalahan, dinamika kekerasan dan perampasan lahan lazim terjadi. Gambaran konkretnya dapat dilihat ketika hak masyarakat secara serampangan dilanggar. Tanah yang sebelumnya memiliki fungsi sosial telah berubah menjadi benda ekslusif (objek kepentingan). Siapa punya modal akan menguasainya.
Pada dasarnya, Konstitusi menjamin hak tanah dan hutan sebagai media kolektif. Namun pada realitanya, terjadi pengkaplingan dan dikotomi dalam konteks penguasaan oleh kelompok berlabel kapitalis. Secara singkat, hegemoni kelas menjadi alat (tools) dan media sistematis menjarah tanah masyarakat.
MIFEE: Ancaman bagi Pola Konsumsi Orang Papua
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu program pangan dan energi yang diusung pada era kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008. Namun, sempat mengalami penundaan dan baru resmi bergulir pada tahun 2010. MIFEE merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional.
Program ini sejalan dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, dimana Papua dipandang sebagai kawasan strategis dan memiliki sumberdaya alam potensial dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Namun demikian, proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1,2 juta hektar ini, dipandang sebagai salah satu terobosan keliru. Alasan pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan justru bertolak belakang dengan kebiasan hidup masyarakat Papua.
Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa pada dasarnya, konsumsi masyarakat Papua di Merauke adalah sagu (makanan pokok masyarakat Papua). Kehadiran MIFEE, dengan format transformasi lahan, berpotensi mengancam keberadaan hutan yang selama ini berfungsi sebagai habitat tanaman sagu. Singkatnya, degradasi kawasan hutan akan mengubah pola konsumsi masyarakat Papua.
Studi konkret yang terjadi di Papua adalah pengaruh ancaman MIFEE terhadap eksistensi Suku Malind (masyarakat asli Merauke, Papua) yang kini tengah mengalami dilema akibat kehilangan habitat meramu sagu. Bagi suku Malind, sagu bukan sekedar bahan konsumsi, namun sebagai warisan budaya lintas generasi.
Ekspansi MIFEE yang secara drastis mengubah lahan hutan dapat membentuk siklus kelangkaan pangan dan krisis identitas masyarakat Papua. Pola transformasi, dari wilayah hutan menjadi lahan pangan, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pergeseran nilai dan pola konsumsi masyarakat Papua.
Pola eksploitatif yang ditimbulkan MIFEE, membawa ancaman dan konsekuensi perubahan struktur komoditas pangan. Konsekuensi dari kejadian ini secara perlahan mengikis relasi “ke-intim-an” masyarakat Papua dengan budayanya.
Dari beberapa uraian konkret, kehadiran MIFEE merupakan sebuah potret kekerasan budaya karena secara eksplisit mendegradasi “lahan hidup” masyarakat Papua. Disebut “lahan hidup”, karena lahan sagu dimodifikasi secara paksa oleh pemerintah. Sementara, pada kenyataannya, komoditas sagu tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan hidup masyarakat Papua. Ada ikatan historis yang begitu kuat sehingga sagu sebagai warisan dan ciri khas konsumsi Orang Asli Papua. Ketika, keberadaannya tidak dapat dinikmati atau diakses oleh masyarakat, maka berpotensi melahirkan gejala pergeseran budaya. Kondisi ini sekaligus menjadi media sistematis merusak kolektivitas budaya Papua.
MIFEE: Kekerasan Gaya Baru
Selain ancaman sosial dan budaya, proyek MIFEE yang diproyeksikan sebagai lumbung pangan di kawasan Papua juga dikhawatirkan dapat menciptakan pola kekerasan baru bagi masyarakat Papua serta berkembangnya bahaya kapitalisme melalui jaring korporasi.
Poin kritis dari bentuk kekerasan adalah lahirnya implikasi transformasi lahan secara paksa. Artinya, masyarakat tidak bersedia ketika hutan mereka diubah. Fenomena ini kemudian melahirkan gangguan (disparitas) dalam struktur sosial.
Masyarakat tidak dapat bertindak ketika melihat hutan mereka digusur. Kerena, ketika ada perlawanan, maka perjalalanan MIFEE semakin diwarnai kekerasan dan intimidasi. MIFEE akan memperlebar konflik dan menebar teror bagi lahirnya kekerasan dalam habitus sosial masyarakat.
Selama ini, masyarakat sebagai kelas minoritas hanya menerima resiko ancaman dan hak-haknya dikerdilkan secara tidak manusiawi. Pembiaran oleh negara semakin telah membuka ruang kekerasan baru dalam lapisan sosial (social layers).
Pada dasarnya, pendekatan kebijakan dan prinsip humanis mesti sejalan agar menghindari tindakan kekerasan. Sebab, pada semua tingkat pemahaman, kekerasan merupakan musuh bersama (common enemy). Kehadirannya tidak dibenarkan karena sebagai stigma pelanggaran HAM.
Penulis adalah alumni Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh Studi Magister Social Welfare di Universitas Padjadjaran, Bandung
Read More ...

Selasa, 14 Juni 2016

Dubes Uni Eropa Cek Program ParciMon di Papua

04.30.00
Dubes Uni Eropa Vincent Guérend Saat Melakukan Pertemuan Dengan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal Yang Didampingi stafnya – Jubi/Alex
Jayapura – Duta besar (Dubes) Uni Eropa Vincent Guérend didampingi Kepala Kerjasama Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Franck Viault dan Program Manager Uni-Eropa, Giovanni Serritella, Senin (13/6/2016) menyambangi Pemerintah Provinsi Papua.
Kedatangan Vincent Guérend bersama rombongan di Papua, untuk mengecek jalannya program Participatory Monitoring by civil society of Land-use Planning for Low Emission Development strategies (ParciMon) yang selama ini berjalan di tiga kabupaten yaitu Jayapura, Merauke dan Jayawijaya dalam mencapai tujuan pembangunan rendah emisi dan upaya berkontribusi terhadap pembangunan rendah emisi di Indonesia.
“Kunjungan kerja ini sebagai tindak lanjut upaya lembaga Uni Eropa dalam mendukung pembangunan hijau yang berkelanjutan di Papua,” kata Vincent Guérend kepada wartawan, di Jayapura.
Melalui program ParciMon, jelas Vincent, pemerintah provinsi Papua, khususnya di tiga kabupaten dampingan dan lembaga Uni Eropa telah melakukan upaya kerjasama dalam penguatan kapasitas daerah agar para pihak di daerah dapat merencanakan, melaksanakan dan melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan-kegiatan pembangunan hijau yang berkelanjutan.
“Selama empat tahun masa pelaksanaannya, Program parCiMon dilaksanakan oleh mitra yang terdiri dari World Agroforestry Centre (ICRAF) Papua (PLCD-TF), Universitas Brawijaya dan Yayasan Satuan Tugas Pembangunan Rendah Lingkungan Hidup Papua (YALI),” ujarnya.
Melalui kunjungan ini, Vincent berkeinginan untuk melihat langsung keberhasilan program ParCiMon dengan berdiskusi dengan para pihak yang terlibat sekaligus mengidentifikasi strategi keberlanjutan pasca program ini berakhir.
“Dukungan kebijakan dari pemerintah Papua sangatlah penting dalam upaya sinkronisasi dan integrasi strategi pembangunan rendah emisi di tingkat kabupaten dengan Rencana Aksi Daerah penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) di tingkat provinsi,” katanya.
Dia menambahkan, Uni Eropa melalui Program ParciMon sangat mendukung Papua untuk mencapai pembangunan rendah emisi yang berkelanjutan dengan membantu proses menjembatani informasi dan pengetahuan dari tingkat global, nasional dan lokal.
Diketahui, usai mengunjungi pemerintah provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura, Duta besar (Dubes) Uni Eropa Vincent Guérend bersama rombongan akan mendatangi Pemerintah Kabupaten Merauke pada 15 Juni 2016, untuk melakukan hal yang sama.
Sementara itu, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal menilai hubungan kerjasama dengan pihak Uni Eropa sangat baik untuk pemerintah dan pembangunan kedepan terutama dalam hal mengurangi emisi gas.
“Kami menyambut baik program ini,” kata Klemen.
Menurut ia, selama ini hubungan kerjasama antara pemerintah provinsi Papua dengan Uni Eropa telah dilakukan di berbagai sektor seperti bidang pendidikan, bidang penguatan dalam lingkungan hidup terutam pengurangan emisi gas dan keadilan.
“Untuk itu masyarakat di Papua harus terbuka dan dapat menerima siapapun yang datang bekerjasama dengan pemerintah provinsi Papua dalam segala aspek terutama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Papua,” ujarnya
Menanggapi itu, Klemen meminta kepada Dubes Uni Eropa utuk tidak hanya melakukan program ParCiMon pada tiga kabupaten saja, namun dilakukan di semua kabupaten/koat se Papua. “Saya harap kedepan program ini bisa dilakukan diseluruh wilayah Papua,” kata Wagub Klemen Tinal. (*)


Read More ...

Senin, 13 Juni 2016

Sagu, Kunci Kesejahteraan Masyarakat Papua

08.28.00
Sagu, salah satu bahan pangan lokal.
Jakarta - Dengan luas hutan sagu hampir 85% dari total luasan area sagu di Indonesia yang juga merupakan hutan sagu terluas di dunia, para pakar berharap sagu dapat menjadi kunci kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia bagian timur, khususnya Papua dan Papua Barat.
“Indonesia memiliki 90% lebih luasan sagu di dunia, dengan 85%-nya terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan fakta tersebut, pemerintah seharusnya dapat melihat ini sebagai kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen sagu terbesar di dunia dan juga komponen utama untuk menyejahterakan rakyat di Indonesia bagian timur,” ujar peneliti utama di Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bambang Hariyanto di Jakarta, Senin (13/6).
Pohon sagu atau sago palm (metroxylon sagu) adalah tanaman asli Indonesia yang menjadi sumber karbohidrat utama. Bahkan, sagu juga dapat digunakan sebagai makanan sehat (rendah kadar glikemik), selain dapat dipakai untuk bioetanol, gula untuk industri makanan dan minuman, pakan ternak, industri kertas, farmasi dan lainnya.
Di Indonesia, selain dikenal hidup dan berkembang di Papua, pohon sagu terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai. Namun demikian, mayoritas pohon sagu terdapat di Papua dengan luasan lahan 1,2 juta hektare (ha).
Dalam peta sebaran sagu menurut situs resmi Kementerian Pertanian disebutkan, pohon sagu yang hidup di hutan alam mencapai 1,25 juta ha, dengan rincian 1,2 juta di Papua dan Papua Barat dan 50 ribu ha di Maluku. Sedangkan pohon sagu yang merupakan hasil semi budidaya (sengaja ditanam/semi cultivation) mencapai 158 ribu ha, dengan rincian 34 ribu ha di Papua dan Papua Barat, di Maluku 10 ribu ha, di Sulawesi 30 ribu ha, di Kalimantan 20 ribu ha, di Sumatera 30 ribu ha, di Kepulauan Riau 20 ribu ha, dan di Kepulauan Mentawai 10 ribu ha.
Berdasarkan data Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), luas lahan sagu dunia mencapai 6,5 juta ha pada 2014. Dari luas lahan tersebut, Indonesia memililiki pohon sagu seluas 5,5 juta ha, di mana sebanyak 5,2 juta ha berada di Papua dan Papua Barat
Namun, dia menuturkan, potensi sagu di Indonesia wilayah timur belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan, lahan sagu secara perlahan mulai terkikis oleh pembangunan jalan, rumah toko, dan pembangunan lainnya. Padahal tanaman sagu banyak manfaatnya bagi kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia bagian Timur.
"Tidak hanya dapat menjadi bahan pangan utama, daun sagu juga bisa dijadikan sebagai atap rumah tradisional," kata dia.
Menurut Bambang, salah satu masalah utama sulitnya pengembangan sagu di Indonesia adalah infrastruktur. Di Papua, warga kesulitan memasok sagu rakyat ke pabrik sagu besar dan pabrik sagu besar sulit untuk menyalurkan hasil produksinya keluar. Sebagai akibatnya, biaya logistik bisa mencapai 30% dari biaya produksi. Selain itu, masalah ketersediaan listrik di Indonesia bagian Timur menjadi kendala bagi pengembangan sagu di Bumi Nusantara.
“Ada juga pemasalahan sosial ekonomi, di mana pengolahan sagu di Papua terkena hak hutan ulayat. Artinya, masyarakat perlu mendapat kompensasi dalam setiap pengelolaannya. Untuk hal ini, para pakar berharap pemerintah dapat turut campur tangan melalui kebijakan agar dapat mempermudah pengembangan sagu di Papua,” ucap Bambang.
Read More ...

Jumat, 10 Juni 2016

Forum Parlemen Tanah Papua Akan Dibentuk

14.08.00
Ilustrasi Kantor DPR Papua – Jubi/Doc
Jayapura – Parlemen yang ada di Tanah Papua, DPR Papua dan Papua Barat berencana membentuk forum parlemen. Rencananya, forum itu akan dibentuk dalam waktu dekat atau paling lambat tahun depan.

Ketua DPR Papua, Yunus Wonda menyatakan, kesepakatan itu diambil pasca pertemuan DPR Papua dan DPR Papua Barat, Mei lalu yang membicarakan berbagai hal terkait Raperdasi/Raperdasus yang kini dibahas kedua pihak di lembaga masing-masing.

“Kami sepakat membentuk forum parlemen itu. Kami menilai, forum itu sangat penting, terutama ketika ada regulasi-regulasi di Papua dan Papua Barat yang diusulkan ke Pemerintah Pusat. Kami bisa berjuang bersama-sama,” kata Yunus Wonda, Jumat (10/6/2016).
Menurutnya, Papua dan Papua Barat tak ada bedanya. Kini bukan lagi bicara hanya Papua atau Papua Barat saja, namun secara keseluruhan Tanah Papua. Papua dan Papua Barat tak bisa dipisahkan. Pembentukan forum itu nantinya direncanakan akan dihadiri juga oleh gubernur kedua provinsi.

“Kapan pembentukan forum parlemen itu, pihak DPR Papua Barat yang menentukan waktu. Ketika itu, DPR Papua Barat studi banding ke DPR Papua. Mereka ingin melihat beberapa regulasi khususnya Perdasi dan Perdasus yang telah disahkan,” ucapnya.

Katanya, bicara kekhususan, Papua dan Papua Barat tak bicara sendiri. Namun satu suara. Aturan yang diberlakukan atau keputusan yang diambil juga sama. Apalagi Pemerintah Pusat terkadang membandingkan Papua dan Papua Barat dalam hal regulasi yang diberlakukan.

“Pemerintah Pusat terkadang membanding-bandingkan Papua dan Papua Barat. Sering mempertanyakan ketika ada regulasi, kenapa itu bisa dilaksanakan di Papua Barat dan tidak di Papua, atau sebaliknya. Makanya kami sepakat agar kedepan tak ada lagi perbandingan-perbandingan seperti itu,” katanya. (*)


Read More ...

Kamis, 09 Juni 2016

Investasi Harus Berikan Kontribusi Bagi Masyarakat

14.30.00
Bupati Merauke, Frederikus Gebze. Jubi/Frans L Kobun
Merauke – Bupati Merauke, Frederikus Gebze mengingatkan kepada para investor agar memberikan kontribusi kepada masyarakat di saat kegiatan investasi telah dijalankan atau dilaksanakan, sehingga kegiatan investasi berjalan baik.
Hal itu diungkapkan Bupati Freddy kepada sejumlah wartawan Rabu (8/6/2016). “Saya juga minta kepada investor agar melakukan penyesuaian terhadap tanah milik masyarakat yang adalah pemilik hak ulayat,” pintanya.
Setiap perusahaan, demikian Bupati Freddy, melalui Program CSR, wajib memberdayakan masyarakat untuk pertumbuhan ekonomi. Sehingga ada kontribusi timbal balik yang diberikan. Itu adalah komitmen yang harus dijalankan setiap investor. Karena telah memanfaatkan lahan masyarakat  guna kegiatan investasi.
Kepala Badan Penanaman Modal Kabupaten Merauke, Tjahyo Purnomo beberapa hari lalu mengatakan, kurang lebih 10 investor yang izin usahanya telah berakhir. Dan, selama ini tak ada kegiatan investasi dilakukan. Sehingga sedang diusulkan kepada Bupati Merauke, Frederikus Gebze agar izinnya dicabut.
“Saya sudah usulkan kepada Pak Bupati Merauke dan tinggal  menunggu keputusan terakhir. Apakah, izinnya tetap diperpanjang terus atau dicabut dan diberikan kepada investor lain untuk masuk,” tuturnya. (*)
Read More ...

Rabu, 08 Juni 2016

Legislator Ajak Petinggi di Papua Betindak Sikapi Situasi Papua Terkini

22.30.00
Laurenzus Kadepa, Legislator Papua. (Foto: Dok SP)
Jayapura — Laurenzus Kadepa, legislator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua mengajak para petinggi militer, gubernur, MRP dan DPR Papua agar tidak tidak tinggal diam meratapi berbagai peristiwa yang terjadi di Papua tetapi harus bertindak sikapi berbagai kasus pembunuhan dan penemuan mayat di Papa.
“Kematian orang Asli Papua terjadi hampir setiap hari dan malam. Saya mengajak semua pihak dan semua petinggi yang ada di Papua untuk berbicara dan bertindak mengatasi situasi ini,” ajak Kadepa, kepada saurapapua.com dari Jayapura, Kamis (9/6/2016).
Menurut Kadepa, banyak kematian tidak wajar terjadi di Papua tetapi para petinggi di Papa diam dan terlena dalam kesibukan mereka. Padahal, kata dia, situasi keamanan orang Papua makin hari makin suram. Banyak kematian tak wajar, para petinggi di Papua hanya diam saja.
“Kapolda Papua adalah orang yang paling bertanggungjawab untuk menjaga keamanan di Papua karena Kapolda adalah penanggungjawab keamanan di Papua. Tapi ketika terjadi banyak kematian akhir-akhir ini tidak ada upaya pencegahan yang dilakukan. Agar kehidupan orang di Papua lebih nyaman. Saya minta agar segera ada tindakan untuk meminta penjelasan pada Kapolda Papua tentang situasi ini. Siatuasi saat ini semakin tidak aman,” tegas Kadepa.
Lanjut dia, “Saya melihat dimana-mana ada penemuan korban mayat. Motif kematiannya pun bermacam-macam. Ini harus segera diambil tindakan nyata. Karena negara sudah berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggan HAM di Papua,” ujarnya.
Menurut dia, kalau dengan penemuan mayat dengan motif yang berbeda-beda ini akan menambah daftar panjang pelanggaran HAM dan ini akan semakin sulit untuk diselesaikan.
“Kematian orang Asli Papua akhir-akhir ini mengarah ke pelanggaran HAM dan itu masih saja ada, bahkan tambah meningkat. Ini sangat lucu. Juga sangat disayangkan,” pungkasnya.
Beberapa waktu ini banyak terjadi pembunuhan di Papua. kasus terbaru adalah Jefri Nawipa (20) warga Lembah Sunyi, Angkasapura, Distrik Jayapura Utara ditemukan meninggal dunia di depan Gedung Negara Dok V Kota Jayapura, Papua, Selasa (7/6/2016). (Arnold Belau)
Read More ...

Pemprov Papua Subsidi Rp 80 M untuk Penerbangan ke Pedalaman

12.51.00
Foto: Pesawat penerbangan perintis (Wilpret Siagian/Detik)
Sentani -Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua menyiapkan dana Rp 80 miliar untuk penerbangan ke pedalaman Papua. Ada 12 perusahaan penerbangan perintis yang akan melayani penerbangan ke pedalaman Papua, khususnya daerah-daerah yang belum tersambung jalan darat.

Selama ini, harga tiket pesawat ke pedalaman Papua cukup mahal, sehingga tidak terjangkau bagi masyarakat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di daerah pedalaman.

"Kita memberikan subsidi untuk membantu operator penebangan perintis di Papua, sehingga mampu melayani angkutan ke pedalaman Papua dengan harga tiket yang murah," kata Gubernur Papua, Lukas Enembe saat me-launching 12 perusahaan penerbangan perintis yang menerbangi udara Papua, Sentani, Rabu (8/6/2016)

Dana subsidi penerbangan Rp 80 miliar diambil dari APBD tahun 2016.

"Jadi dana Rp 80 miliar itu untuk subsidi sebesar 70% dari harga tiket dan 30% menjadi tanggungan setiap penumpang," ujarnya.

Dijelaskan, masalah pembagian dana Rp 80 miliar ke perusahaan penerbangan akan ditindaklanjuti Dinas Perhubungan Provinsi Papua.

"Besaran dana yang diberikan ke setiap perusahaan perintis, nanti akan diatur Dinas Perhubungan sesuai dengan jadwal dan jauhnya penerbangan," tambah.

Pada kesempatan itu, Gubernur Papua meminta agar perusahaan penerbangan yang melayani angkutan ke pedalaman Papua tidak hanya berfikir bisnis tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua, Djuli Mambaya menjelasakan, penerbangan perintis bersubsidi hanya melayani daerah yang sama sekali belum tersentuh pembangunan, daerah terisolasi dan sama sekali tidak terhubung jalan darat.

Untuk pembagian dana kepada setiap perusahaan penerbangan masih akan dibahas, sebab ada 12 perusahaan penerbangan yang akan memperoleh subsidi.

"Untuk pembagian dana ke perusahaan penerbangan perintis itu masih akan dibicarakan lebih lanjut sesuai dengan jadwal dan tujuan penerbangannya," katanya.

"Ini sifatnya subsidi, sehingga yang disubsidi adalah harga tiket penumpang dengan presentase 70% subsidi dan 30% menjadi tanggungan penumpang," tambahnya.
(feb/feb)
Sumber : www.detik.com
Read More ...

Selasa, 17 November 2015

Presiden Jokowi Diminta Evaluasikan Kapasitas Lenis Kogoya

21.47.00
Ketua DAD Paniai, John NR. Gobai – Jubi/Abeth You
Jayapura, Jubi – Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai meminta Presiden RI, Ir. Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi kinerja staf khusus Presiden RI, Lenis Kogoya.
“Untuk memungkinkan dukungan masyarakat adat Papua demi kepentingan Pemerintah Pusat di Papua saja atau untuk memungkinkan berbagai kepentingan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di Papua untuk kepentingan pembangunan daerah atau untuk membesarkan LMA Papua sehingga masyarakat adat Papua bertuan kepada dua atau beberapa institusi adat (dewan adat dan lembaga adat) di Papua,” ujar Ketua DAD Paniai, John N.R. Gobai kepada Jubi melalui seluler, Senin (9/11/2015).
Menurut dia, institusi adat pertama adalah Dewan Adat Papua (DAP), sehingga LMA hadir hanya memberi warna yang membingungkan kepada masyarakat adat. “Sehingga, saya minta Pak Jokowi harus jelas dan tegas, kalau Lenis Kogoya mau dijadikan sebagai staf khusus berarti tupoksi (tugas pokok dan fungsi) harus jelas dan tegas,” katanya.
“Dan, dia (Lenis) harus diminta lepaskan serta bubarkan LMA Papua dan semua stakeholder di Papua dijadikan mitra. Lenis datang ke Papua itu sebagai staf khusus Presiden RI untuk kepentingan negara atau datang sebagai LMA Papua yang berkedudukan di Jakarta. Ini harus tegakkan,” terangnya.
Ia juga mempertanyakan, LMA Papua sedang melakukan pelantikan sejumlah LMA di beberapa kabupaten dan kota. Apakah, lanjutnya, sesuai dengan aturan umum organisasi memilih dan melantik ataukah hanya sebatas mencari sesuatu.
“Kapan LMA melakukan musyawarah untuk memilih pengurus, lalu sekarang mau melantik LMA di wilayah Meepago. Saya minta Kapolres Paniai agar melarang melakukan acara pelantikan dan tidak keluarkan surat tanda terima (STTP),” ujarnya berharap.
Sebelumnya, Ketua Umum Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua Lenis Kogoya telah melantik perwakilan LMA dari 19 distrik di Kabupaten Biak Numfor dan perwakilan LMA di 5 distrik dari Kabupaten Supiori, Selasa (6/10/2015) di hotel Arumbay, Biak.
“Untuk melaksanakan pelantikan pengurus LMA perwakilan distrik di Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori yang sudah dilaksanakan ini, saya berharap bisa menjalani keamanan dan penanganan setiap masalah dan tidak berpihak kepada golongan, marga dan tetapi menjadi netral. Kepada pengurus yang baru juga harus siap menjadi mitra pemerintah,” ungkap Lenis yang juga sebagai Staf Khusus Presiden itu.
Setelah melakukan pelantikan, Lenis Kogoya melakukan peletakan batu pertama di Kampung Bosnik Bouw, Distrik Biak Timur untuk membangun kantor LMA Biak Numfor yang direncanakan tahun 2016 akan dibangun. (Abeth You)

Sumber : http://tabloidjubi.com

Read More ...