PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label Mahasiswa Papua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahasiswa Papua. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Oktober 2016

Diusir dari Asrama, Apa Salah Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa?

12.39.00
Bengkulu - Puluhan mahasiswa asal Provinsi Papua yang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Bengkulu terpaksa meninggalkan asrama mahasiswa karena tidak diizinkan menghuni fasilitas tersebut lebih lama atau diusir oleh pihak kampus.
Para mahasiswa penerima beasiswa Kementerian Ristek dan Dikti melalui program Afirmasi itu terpaksa meninggalkan asrama dan menyewa rumah kontrakan sederhana di depan kampus dan tersebar di beberapa rumah kos. Total mahasiswa asal Papua yang kuliah di Universitas Bengkulu berjumlah 24 orang, delapan di antaranya adalah perempuan.
Venus Belau, mahasiswa Fakultas Pertanian jurusan Agribisnis semester V asal Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua, mengaku sempat menghuni asrama selama satu tahun. Tetapi saat memasuki tahun ajaran 2016, mereka diminta keluar asrama dan tidak boleh tinggal lagi di sana.

Bersama-sama mereka mencoba meminta kepada pimpinan Universitas Bengkulu supaya diizinkan tetap tinggal di asrama. Tetapi, pihak kampus tetap berkeras dengan keputusannya.
"Sudah lebih dari lima kali kami menghadap pihak rektorat tetapi jawaban mereka selalu sama, kami tidak boleh lagi tinggal di sana," kata Venus di Bengkulu, Rabu (26/10/2016).
Josh Nawipa, mahasiswa asal Wamena mengaku kecewa dengan kebijakan tidak boleh tinggal di asrama. Sebab, saat mereka diberikan pembekalan oleh pihak pemberi beasiswa, mereka dijanjikan fasilitas tempat tinggal, sama dengan rekan mereka yang menempuh pendidikan melalui program Afirmasi di provinsi lain.
"Kami tidak dikasih bekal untuk menyewa tempat tinggal, terpaksa uang jatah makan yang kami bagi untuk sewa kamar," kata Josh.
Kepala Pusat Pengelola Informasi dan dan Data (PPID) Universitas Negeri Bengkulu, Alimansyah, dikonfirmasi terpisah mengatakan hanya melaksanakan ketentuan yang berlaku di kampus tersebut.
"Memang tidak ada aturan para mahasiswa itu tinggal di asrama terus. Kebijakan ini berlaku sama di semua mess," kata Alimansyah.

Sumber : www.liputan6.com
Read More ...

Selasa, 23 Agustus 2016

AMPTPI Dan BEM Uncen Gelar Konser ‘Nyayian Merdu Negeri Papua’

05.06.00
Poster Konser Nyanyian Merdu Negeri Papua,
yang tidak dihadiri oleh Manico Group dan Kaonak Group – IST
Jayapura, Jubi – Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI)  dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih (BEM Uncen) menyelenggarakan konser musik etnik Papua bertajuk “Nyanyian Merdu Negeri Papua”, di Auditorium Universitas Cenderawasih, Senin malam (22/8/2016).
Ketua DPW AMPTPI, Natan Naftali Tebay, mengatakan konser ini dihadirI oleh wakil masyarakat dan pemuda dari tujuh suku wilayah adat, Mamta, Lapago, Meepago, Ha-Anim, Domberai, Bomberai, dan Saireri. Juga hadir beberapa Antropolog, DPRP dan Akademisi.
Kelompok musik yang tampak hadir memeriahkan konser tersebut adalah  Gaidap Star Voice, Group Musik Eyuser yang meneruskan semangat dan lagui-lagu Mambesak, dan Musik Spesialis DJ Papua.
Menurut Nathan, kegiatan ini digelar untuk membangkitkan generasi muda yang tidur, dan mengembalikan semangat orang muda Papua yang menganggap musik khas Papua tidak perlu lagi.
“Konser ini digelar untuk kembalikan spirit Mambesak, dengan moto ‘Menyanyi Dulu, Kini dan Nanti,” ujarnya.
Sementara itu Ketua BEM Uncen, Dony Gobay, mengatakan musik etnik Papua dipilih karena kemerduannya dapat  membangkitakan diri setiap orang sekaligus menyapa hati dan timbulkan cinta terhadap musik Papua itu sendiri.
Kata dia, tim yang dihadirkan ini memiliki suara yang khas Papua dan sangat asyik dihayati oleh orang Papua pada umumnya.
Terpisah, vokalis Manico Group dan Kaonak Group, Nimbrot Wakerkwa, melalui akun facebook resminya menyatakan bahwa pihak  Manico Group dan Kaonak Group belum memiliki kesepakatan dengan AMPTPI dan BEM Uncen untuk melakukan konser pada tanggal 22 Agustus 2016 tersebut.
Dirinya bahkan mengajak kepada seluruh penggemar dan simpatisan untuk tidak ikut- ikutan dalam acara tersebut. “Sudah dua kali saudara-saudari  ditipu oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan kedua Group ini. Kami tidak akan turun konser dan merasa dirugikan,” ujarnya.
Merespon hal tersebut, Naftali mengatakan bahwa konser ini awalnya memang akan diisi oleh Manico Group, Kaonak Group, dan E-Yuser. “Tetapi Manico Group dan Kaonak Group tidak dapat tampil karena terjadi miss-komunikasi dengan Panitia,” katanya.
Pihaknya sekaligus memohon maaf kepada personel dan penggemar Manico Group atas persoalan komunikasi itu.(*)
Read More ...

Minggu, 31 Juli 2016

Sultan Yogya Tolak Cabut Tudingan Separatisme Papua

06.25.00
Ratusan massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi dalam "Memperingati HUT West Papua ke 51" di Kawasan Nol Kilometer, Yogyakarta, (1/12/2012). Mereka menuntut segera diakuinya kedaulatan Negara Papua Barat oleh Indonesia dan PBB. TEMPO/Suryo Wibowo
Yogyakarta - Pertemuan mahasiswa asal Papua yang berdomisili di Yogyakarta dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X akhirnya digelar di Kepatihan, Yogyakarta, Jumat, 29 Juli2016. Tapi mahasiswa Papua kecewa lantaran keinginan mereka meminta klarifikasi atas pernyataan Sultan tentang tak ada tempat bagi separatis di Yogyakarta menemui jalan buntu.

“Tidak ada klarifikasi Sultan soal separatisme itu. Sultan tidak memberikan jaminan perlindungan kepada kami secara tertulis,” kata Pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Roy Karoba saat dihubungi Tempo, Jumat 29 Juli 2016.

Tudingan separatis oleh Sultan itu merupakan reaksi terhadap rencana mahasiswa asal Papua menggelar unjuk rasa mendukung referendum penentuan nasib Papua pada 15 Juli 2016. Rencana itu digagalkan polisi dan ormas yang mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Roy menceritakan, pertemuan berlangsung di ruang kerja Sultan di Kepatihan bersama sejumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta yang didampingi anggota Komisi I DPR Papua Laurenzus Kadepa. Awalnya, menurut Roy, Sultan mau mencabut pernyataan yang telah dikutip  media massa yang dilontarkan pada 20 Juli 2016. Dengan catatan, mahasiswa Papua di Yogyakarta tidak boleh ikut demonstrasi isu referendum Papua. “Itu sama saja membungkam kebebasan kami dalam berekspresi dan berpendapat di muka umum yang dilindungi undang-undang,” kata Roy.
Keinginan Sultan agar mahasiswa Papua hanya belajar dan melanjutkan studi di Yogyakarta, lanjut Roy, juga tak ditindaklanjutkan dengan memberi jaminan keamanan di Yogyakarta. Alasannya, Sultan khawatir jaminan secara tertulis menjadi dalih mahasiswa Papua untuk menggelar demonstrasi. Sikap Sultan membingungkan Roy. “Kalau ada dari kami yang melanggar hukum, silakan diproses secara hukum. Tapi beri pula kami perlindungan untuk berdemokrasi,” kata Roy.

Dia khawatir, jika tak ada klarifikasi dan pencabutan pernyataan dari Sultan, serta tak ada jaminan perlindungan mahasiswa Papua di Yogyakarta, sikap sejumlah ormas yang memblokir Asrama Papua “Kamasan” pada 15 Juli lalu akan berlanjut. “Ormas tidak memilah, tapi menganggap semua mahasiswa Papua itu sama,” kata Roy. Menurut Roy, akibat respon Sultan itu, mahasiswa Papua akhirnya kembali pada sikap awal untuk meninggalkan Yogyakarta.

Kepala Badan Kesatuan Kebangsaan dan Politik (Kesbangpol) DIY Agung Supriyono pun menegaskan, pernyataan Sultan soal separatisme itu bukan berarti pengusiran terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. “Itu sikap seorang negarawan yang memposisikan diri sebagai bagian dari NKRI,” kata Agung.

Dia menegaskan, mahasiswa Papua di Yogyakarta tetap mendapat jaminan perlindungan keamanan dan kenyamanan. “Tapi untuk melanjutkan sekolah, bukan untuk berpolitik,” kata Agung. (PITO AGUSTIN RUDIANA)


Sumber : www.tempo.co
Read More ...

Senin, 27 Juni 2016

Sambut 1 Juli: AMP Serukan Aksi Nasional 45 Tahun Proklamasi

04.57.00
Brosur demo nasional AMP sambut peringatan
45 tahun proklamasi kemerdekaan Papua (Foto: Dok. AMP)
Yogyakarta — Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite pusat telah mengeluarkan seruan umum kepada seluruh pelajar, mahasiswa dan rakyat Papua di setiap kota di Jawa-Bali untuk memperingati 45 tahun hari pembacaan proklamasi kemerdekaan Papua.
Dulu, 1 Juli 1971, proklamasi tersebut dibacakan di Desa Waris, dekat perbatasan Papua-Papua New Guinea (PNG). Aksi nasional tersebut akan dilakukan dalam bentuk demonstrasi damai pada Jumat, 1 Juli 2016, dikoordinir oleh AMP tiap komite-komite kota.
Proklamasi 1 Juli 1971 tersebut sebelumnya telah disiapkan untuk dibacakan pada 1 Desember 1961, tetapi dengan pertimbangan bahwa sebaiknya proklamasi dibacakan pada hari dimana Bangsa Papua merdeka penuh, maka teks proklamasi ditunda dibacakan. Lalu pada 19 Desember 1961, Presiden Indonesia, Soekarno, membacakan Trikora (Tri Komando Rakyat), dan mulailah upaya-upaya Indonesia untuk menggagalkan pembentukan negara Papua intensif dilakukan. Komando Mandala pembebasan Papua dibentuk.
Melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, Papua menjadi bagian dari Indonesia. Orang-orang Papua yang memprotes pelaksanaan Pepera 1969 yang tidak menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kebebasan dan hak asasi manusia itu dihadapkan dengan senjata, operasi militer, kematian.
“Dibawah bayang-bayang teror dan operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia di Papua, pada tanggal 1 Juli 1971, bertempat di Desa Waris, Numbay-Papua, dekat perbatasan PNG, dikumandangkan ‘Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat’ oleh Brigjend Zeth Jafet Rumkorem, selaku Presiden Papua Barat,” tulis AMP dalam seruannya.
Berbagai operasi militer terus dilancarkan oleh Indonesia untuk menumpas gerakan pro-kemerdekaan rakyat Papua tersebut, jelas AMP, terus berlanjut hingga hari ini.
“Pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi rakyat Papua di depan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis pro kemerdekaan Papua,” lanjut AMP.
Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol. Paulus Waterpauw sudah mengeluarkan pernyataan bahwa 1 Juli 2016, rakyat Papua tidak boleh memperingatinya dengan pengibaran bendera Bintang Kejora.
“Kami sudah tegaskan akan menindak siapapun yang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Namun kami beri toleransi bila 1 Juli diperingati dengan ibadah syukur,” tegas Waterpauw.(Bastian Tebai)
Read More ...

Jumat, 17 Juni 2016

Masyarakat Papua Tolak Tim Bentukan Menko Polhukam

14.58.00
Mahasiswa Papua menggelar demo
di Yogyakarta menolak tim bentukan
 Menko Polhukam1 (Foto: VOA/Nurhadi)
Lebih dari 300 mahasiswa Papua dan aktivis pro demokrasi, menggelar demonstrasi di Yogyakarta, Kamis siang (16/6). Mereka menuntut hak bagi bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Pada Maret lalu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) agar menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Pertengahan Mei lalu, terbentuklah Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun ternyata tim ini ditolak oleh sebagian warga Papua sendiri.
Lebih dari 300 mahasiswa Papua menggelar demonstrasi di Yogyakarta, Kamis siang (16/6). Mereka menuntut hak bagi bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri. Salah satu isu yang mereka kemukakan adalah penolakan atas pembentukan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat, oleh Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan.
Demonstrasi ini memang dilakukan bersamaan dengan kunjungan Luhut ke Papua, hari Kamis (16/6). Luhut datang untuk mendorong penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Menurut Roy Karoba, penanggung jawab aksi demonstrasi di Yogyakarta, Luhut dan tim bentukannya tidak akan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu. Meskipun ada delapan nama aktivis dan tokoh masyarakat asli Papua tergabung dalam tim terpadu, ruang gerak mereka tetap akan terbatas. Roy bahkan menuntut pembentukan tim dalam skala lebih luas, yang melibatkan organisasi internasional.
“Pada intinya rakyat Papua tidak bersepakat, jika kemudian negara membentuk tim pencari fakta sendiri, karena jelas negara adalah aktor pelanggaran HAM di Papua. Indonesia mestinya menerima usulan pembentukan tim pencari fakta yang telah diusulkan oleh beberapa negara seperti Pacific Island Forum dan Melanesian Spearhead Group,” kata Roy Karoba.
Demonstran juga mengecam tindakan sewenang-wenang aparat keamanan. Awal Mei lalu, hampir 2.000 orang diamankan polisi karena melakukan aksi demonstrasi di sejumlah kota di Papua. Mahasiswa Papua di Yogya menuntut dibukanya ruang demokrasi secara lebih luas di tanah kelahiran mereka.
Luhut sendiri akan berada di Papua hingga Sabtu nanti. Terdapat tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua yang akan diselesaikan, yaitu peristiwa Wasior, Wamena, dan Paniai. "Semua yang masuk tim adalah independen. Saya tidak ikut di dalam, tetapi Komnas HAM lah dan orang-orang yang sangat independen yang ada dalam tim. Selain orang-orang yang independen, tim juga diawasi duta besar dari PNG, Fiji dan Vanuatu. Tidak ada yang tidak transparan," kata Luhut di Papua seperti dikutip media.
Meski Luhut menjanjikan independensi, keraguan atas kinerja tim tetap muncul. Salah satunya, dari Fadal al Hamid dari Dewan Adat Papua. Secara pribadi, kata Fadal, dia tidak meragukan kapabilitas aktivis Papua yang tergabung dalam tim terpadu itu, seperti Matius Munib atau Marinus Yaung. Namun, bekerja di bawah koordinasi kementerian tentu akan membatasi ruang gerak. Fadal menilai, sebaiknya tim tidak dikoordinasikan oleh pemerintah, tetapi oleh komisi independen.
“Kasus-kasus pelanggaran HAM itu selalu terkait dengan pelaku yang adalah aparatur negara. Dalam hal ini TNI, Polri ataupun aparat yang lain. Dan karena itu, kita tidak bisa berharap banyak kalau kemudian, tim pencari fakta itu adalah tim yang dibentuk oleh presiden, dan di bawah Menko Polhukam. Itu sangat diragukan independensinya," kata Fadal al Hamid.
Fadal menambahkan, kalau masyarakat sudah ragu dengan independensi tim ini, maka laporan sebagai hasil kerja mereka nanti, juga akan dianggap tidak valid. Tim ini semestinya berada di bawah koordinasi Komnas HAM, dengan peran serta LSM yang memiliki kredibilitas terkait kasus-kasus di Papua, seperti Kontras, LBH dan Imparsial. Fadal juga mendesak pemerintah memberi peran lebih bagi LSM lokal Papua dan pihak gereja.
Salah satu anggota tim terpadu bentukan Menko Polhukam, Matius Murib mengaku, masyarakat Papua berhak ragu terhadap kinerja tim ini. Namun dia mengingatkan, pada sisi yang lain, masyarakat Papua juga harus melihat terobosan yang dilakukan Luhut, sebagai langkah yang patut disyukuri.
Kepada VOA, Matius mengatakan bahwa dia tidak berani memberikan jaminan bahwa hasil kerja tim akan memuaskan bagi masyarakat Papua. Tetapi sebagai aktivis pembela HAM, Matius berjanji akan bekerja semaksimal mungkin untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, yang menjadi beban sejarah bagi tanah Papua itu.
“Saya sebagai aktivis pembela HAM, sangat berkepentingan dalam pengungkapan kasus-kasus yang selama ini kita kampanyekan. Dan itu sudah memperoleh respon yang cukup serius dari pemerintah, terutama dari Pak Luhut. Dan menurut saya niat baik itu harus didukung, harus dihormati dan harus kita gunakan untuk kepentingan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua ini,” kata Matius Murib.
Matius menggarisbawahi bahwa posisi Menko Polhukam hanyalah melakukan koordinasi dalam tim ini. Komnas HAM tetap memperoleh peran yang berarti, demikian pula dengan para aktivis dari Papua. Dia yakin, bahwa pemerintah kali ini memiliki niat baik dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Hari Rabu lalu, lebih dari 1.500 warga melakukan unjuk rasa di berbagai kota di Papua. Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, lebih dari seribu orang ditangkap untuk diinterogasi di markas kepolisian, meski kemudian dibebaskan kembali. Nurhadi Sucahyo melaporkan untuk VOA, Washington. [ns/lt]

Read More ...

Senin, 13 Juni 2016

Tuntut Hak Menentukan Nasi Sendiri Bagi Bangsa Papua, GRPB Akan Gelar Aksi Tanggal 16 Juni 2016

12.40.00
GRPB Saat Menggelar Mimbar Bebas di Nol KM Yogya. (Doc.GRPB)
Yogyakarta,13/06/2016 -  Gerakan Rakyat Papua Bersatu [GRPB], berencana menggelar rentetan kegiatan, sebagai bentuk dukungan terhadap aksi serentak yang dilakukan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB), bersama rakya Papua di seluruh tanah Papua, pada tanggal 15 Juni mendatang. Y Kossay selaku koordinator GRPB, saat ditemui di Asrama Mahasiswa Papua, Kamasan I Yogyakarta menyatakan bahwa, GRPB telah merencanakan rentetetan kegiatan diantaranya; Konfrensi Pers, Mimbar Bebas, dan Panggung Budaya pada tanggal 15 Juni mendatang, dan kemudian akan menggelar aksi damai pada tanggal 16 Juni 2016.
"Kawan-kawan telah merencanakan beberapa rangkaian kegiatan, sebagai bentuk dukungan terhadap aksi yang digelar oleh KNPB bersama rakyat Papua, pada tanggal 15 Juni di tanah Papua, kami akan menggelar konfrensi pers terkait situasi terkini yang terjadi di Papua dalam aksi damai yang digelar rakyat Papua pada hari Rabu,15 Juni 2016, pukul 09.00 waktu Jogja, dan kemudian akan menggelar mimbar bebas dan panggung budaya pada malam hari, mulai pukul 18.30 waktu jogja sampai selesai, di asrama Kamasan. Sedangkan tanggal 16 Juni, kami akan menggelar aksi damai pada pukul 08.30 waktu jogja - selesai, dimulai dari asrama Kamasan, hingga di titik nol km Yogyakarta dan kemudian kembali lagi ke asrama kamasan". Tegas Y Kossay.
Menurut Y Kossay, meski rangkaian kegiatan ini merupakan bentuk dukungan terhadap aksi serentak yang digelar oleh KNPB dan rakyat Papua di tanah Papua, namun puncak dari rangkaian kegiatan berupa aksi damai sengaja diundur satu hari, yaitu tanggal 16 Juni, guna memantau situasi terakhir di tahan Papua. "Kawan-kawan sudah bersepakat untuk mengundurkan waktu untuk turun ke jalan menggelar aksi damai, dengan pertimbangan memantau situasi terakhir yang terjadi dalam aksi damai yang digelar rakyat Papua di seluruh tanah Papua, guna mengawal dan mengampanyekan situasi yang terjadi, saat aksi damai berlangsung di Papua". kata Y Kossay mengakhiri.
Teddy Wakum selaku Juru Bicara GRPB ditempat yang sama mengatakan bahwa, aksi yang rangkaian kegiatan yang digelar GRPB lebih kepada mengawal dan mengadvokasi setiap tindakan brutal dan represif yang dilakukan aparat TNI dan Polri kepada aktivis dan rakyat Papua dalam aksi damai 15 Juni 2016, serta menyambungkan apa yang menjadi aspirasi rakyat Papua dalam aksi damai tersebut, "kawan-kawan memutuskan menggelar aksi damai pada tanggal 16 Juni, karena GRPB lebih berfikir untuk mengawal dan menyambungkan aspirasi rakyat Papua, serta mengadvokasi setiap tindakan-tindakan brutal dan represif yang dilakukan TNI dan Polri, saat aksi damai yang digelar rakyat Papua pada tanggal 15 juni mendatang. Berulang kali KNPB bersama rakyat Papua menggelar aksi damai, selalu saja direpresif oleh aparat, namun tidak pernah ada aksi dukungan dan bahkan tindakan advokasi yang dilakukan oleh mahasiswa Papua diluar Papua, sehingga hari ini GRPB seluru kawan-kawan pelajar dan mahasiswa Papua di Yogyakarta, yang juga adalah bagian dari rakyat Papua untuk ikut mengawal dan menyambungkan aspirasi rakyat Papua, serta mengadvokasi setiap tindakan brutal aparat dalam aksi damai rakyat Papua 15 juni besok". Tegas Teddy.
Dalam rangkaian kegiatan yang akan digelar, GRPB menuntut "Hak Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa PAPUA", dan menyatakan sikap :
  1. Menolak Tim Pencari Fakta Buatan Jakarta  Untuk Turun Ke Tanah Papua
  2. Mengecam Seluruh Tindakan Represif Aparat TNI-Polri Terhadap Aktivis KNPB, Mahasiswa dan Rakyat Papua.
  3. Tarik Militer Organik dan Non Organik di Seluru Tanah Papua.
  4. Tutup Seluru Perusahaan Asing Yang Ada di Atas Tanah Papua. 
Tidak hanya di Yogyakarta, GRPB juga akan menggelar aksi yang sama di kota Malang, Semarang-Sala Tiga, dan Solo, dengan isu dan tuntutan yang sama, untuk itu, dihimbau kepada seluru pelajar dan mahasiswa Papua di beberapa kota yang disebutkan, khususnya Yogyakarta agar dapat ikut terlibat mengambil bagian dalam berbagai rangkaian kegiatan yang telah ditetapkan, hingga menggelar aksi damai bersama pada tanggal 16 Juni 2016 mendatang, kata Y Kossay dan Teddy mengakhiri.[KRBNews]

Sumber : http://www.karobanews.com/



Read More ...

Press Realis GRPB "Mengecam Tindakan Kepolisian Terhadap Aktivis KNPB, Mahasiswa dan Rakyat Papua

11.02.00
GERAKAN RAKYAT PAPUA BERSATU [GRPB]

Mengecam Tindakan Represif dan Aksi Main Tangkap Secara Sewenang-wenang Yang Dilakukan Aparat Kepolisian Aktivis, Mahasiswa dan Rakyat Papua di Seluruh Tanah Papua !

Semakin maraknya tindakan represif aparat Kepolisian Republik Indonesia yang dibackup langsung oleh TNI di tanah Papua, dalam menyikapi aksi damai yang digelar oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bersama rakyat Papua, yang semakin menunjukan sikap aparat yang anti terhadap demokrasi di tanah Papua. Dimana dalam kurun waktu kurang dari dua bulan terakhir ini saja (April – Mei 2016), tercatat sudah ribuan aktivis KNPB dan masyarakat Papua diamankan secara paksa, saat menggelar aksi damai di beberapa kota dan kabupaten di tanah Papua. Tidak hanya saat menggelar aksi damai, saat hendak membagi-bagikan selebaran seruan aksi saja, sudah ratusan aktivis dan rakyat Papua diamankan secara paksa oleh aparat kepolisian dan digiring ke Polres setempat. Pada tanggal 02 Mei 2016, setidaknya ada 1795 orang aktivis dam massa rakyat Papua diamankan saat menggelar aksi damai di beberapa kota dan kabupaten di tanah Papua, berlanjut lagi, aksi penangkapan oleh aparat kembali terjadi pada tanggal 28-30 Mei 2016, setidaknya ada 75 orang yang diamankan kepolisian saat membagikan selebaran aksi damai yang akan digelar olek KNPB bersama rakyat Papua pada tanggal 31.

Tindakan represif dan pembungkaman terhadap ruang demokrasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dan TNI di tanah Papua kembali terjadi pada tanggal 31 Mei 2016, dimana aparat gabungan kembali menggunakan tindakan-tindakan represif dengan memblokade massa rakyat Papua terkumpul dibeberapa titik agar tidak dapat berkumpul di satu titik yang telah ditentukan sebelumnya, dan kemudian melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap massa rakyat Papua dan aktivis KNPB. Setidaknya ada 597 orang rakyat Papua bersama aktivis KNPB diamankan di Papua, dan 7 aktivis orang mahasiswa Papua di Manado, Sulawesi Utara. Tidak hanya di Papua dan Menado, di Jogja, Malang dan beberapa kota lain di Jawa, meski mahasiswa Papua tidak menggelar aksi yang sama seperti dilakukan di tanah Papua, ratusan aparat kepolisian bersenjata lengkap disiagakan di asrama-asrama mahasiswa Papua tanpa alasan yang jelas.

Menjelang aksi damai yang akan digelar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bersama rakyat Papua pada tanggal 15 Juni 2016, lagi-lagi penangkapan terhadap aktivis KNPB dilakukan oleh Kepolisian Resort Kota Jayapura pada tanggal 10 – 13 Juni 2016, saat para aktivis KNPB membagi-bagikan selebaran seruan aksi di beberapa titik di Kota Jayapura, dilaporkan sebanyak 31 orang aktivis ditangkap pada tanggal 10 dan kemudian 65 orang aktivis dan mahasiswa ditangkap di Jayapura dan Sentani, beserta 4 orang aktivis KNPB lainya di Nabire, pada tanggal 13 Juni 2015.

Melihat semakin represif dan semakin brutalnya aparat dalam menyikapi aksi -aksi damai yang digelar oleh rakyat Papua, yang berujung pada pembungkaman ruang-ruang demokrasi dan pembunuhan terhadap kebebasan berekspresi di muka umum, seperti yang telah diatur dalam UU No.9 Tahun 1998, yang juga tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan guna mangantisipasi tindakan represif aparat dalam menyikapi aksi damai yang digelar oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bersama rakyat Papua pada tanggal 15 Juni 2016 mendatang, maka Gerakan Rakyat Papua Bersatu [GRPB] menuntut Kapolda Papua, Irjen. Pol. Drs. Paulus Waterpauw dan Kapolda Papua Barat Brigjen. Pol. Drs. Royke Lumowa, M.M, agar menginstruksikan kepada seluru jajaran kepolisian di wilayah Polda Papua, dan Papua Barat,
Untuk Lebih Mengedepankan Tindakan Persuasif dan Bertindak Secara Profesional Dalam Menyikapi Aksi Damai Yang Digelar oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Bersama Rakyat Papua Pada Tanggal 15 Juni 2016 Mendatang, Serta Mengecam Aksi Main Tangkap Secara Sewenang-wenang dan Tindakan Represif Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Republik Indonesi, Terhadap Aktivis, Mahasiswa dan Rakyat Papua di Seluru Tanah Papua”.

Yogyakarta, 13 Juni 2016

GERAKAN RAKYAT PAPUA BERSATU [GRPB]



Y Kossay
Koordinator







Read More ...

GRPB Kecam Tindakan Represif dan Main Tangkap Yang Dilakukan Kepolisian di Papua

10.39.00
GRPB Saat Menggelar Aksi Mimbar Bebas di Yogyakarta (doc.GRPB)
Yogyakarta, 13/06/2016 - Menyikapi tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian daerah Papua dan Papua Barat, dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini, serta dengan adanya tindakan main tangkap secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap puluhan aktivis Komite Nasional Papua Barat  (KNPB) dan Mahasiswa menjelang aksi damai rakyat Papua yang akan digelar pada tanggal 15 Juni 2016 mendatang, Gerakan Rakyat Papua Bersatu [GRPB] menyatakan sikap, "Mengecam Tindakan Represif dan Aksi Main Tangkap Secara Sewenang-wenang Yang Dilakukan Aparat Kepolisian Aktivis, Mahasiswa dan Rakyat Papua di Seluruh Tanah Papua !".
Hal ini disampaikan oleh Y Kossay, selaku koordinator GRPB, saat ditemui di Asrama Mahasiswa Papua, Kamasan I Yogyakarta. Y Kossay menjelaskan bahwa tindakan represif dan penangkapan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian Republik Indonesia terhadap aktivis dan Mahasiswa di tanah Papua, merupakan tindakan yang telah mencederai hukum dan demokrasi yang selama ini dijunjung oleh mereka (Indonesia). "Tindakan yang dilakukan Polisi di tanah Papua, dengan merepresif dan menangkap aktivis dan mahasiswa, ini adalah tindakan yang anti terhadap demokrasi, Indonesia selalu menyanjung dirinya sebagai negara hukum dan demokrasi, tapi kenapa hal itu tidak diwujudkan di Papua ?, dengan tindakan Polisi yang seperti ini, maka Indonesia sangat tidak layak dinyatakan sebagai negara hukum dan demokrasi", tegas Y Kossay.
Hal senada juga diutarakan oleh Teddy Wakum, yang juga sebagai aktivis mahasiswa di Yogyakarta dan selaku Juru Bicara di GRPB, Teddy menyatakan bahwa semestinya kepolisian lebih mengedepankan tindakan-tindakan persuasif dan lebih profesional dalam menjalankan tugas, bukan dengan cara-cara represif dan main tangkap seperti yang dilakukan aparat di Papua, "Negara inikan negara Hukum, didalam UU No. 9 Tahun 1998 kan sudah jelas mengatur dan menjamin tentang kebebasan bagi setiap warga negara, individu maupun kelompok dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat secara bebas di muka umum, lalu mengapa aparat kepolisian di Papua justru bertindak melawan hukum yang telah ditetapkan oleh negara ini sendiri ?, yang harus diamankan dan ditangkap itu adalah aparat kepolisian, karena secara jelas mereka telah melanggar hukum", tegas Tedi menambahkan.
Melihat semakin maraknya tindakan brutal dan represif aparat dalam menyikapi aksi-aksi damai yang digelar oleh rakya Papua dalam kurun waktu dua bulan terakhir, GRPB menuntut kepada Kapolda Papua Irjen. Pol. Drs. Paulus Waterpauw dan Kapolda Papua Barat Brigjen. Pol. Drs. Royke Lumowa, M.M, untuk mengintruksikan kepada seluruh jajaran kepolisian yang ada di wilayah Papua dan Papua Barat, agar bertindak secara profesional dan menghargai hukum serta menjujung nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam menyikapi aksi damai yang digelar oleh KNPB bersama rakyat Papua pada tanggal 15 Juni 2016 mendatang. [PAPUAtimes]
Read More ...

Kamis, 09 Juni 2016

Dana Habis Untuk Pilkada, Mahasiswa Dogiyai Gagal Kuliah

13.45.00
Beberapa calon mahasiswa berdiri dan
demo di depan kediaman Plt. Bupati Dpgiyai – Jubi/Agus Tebai
Dogiyai – Belasan calon mahasiswa-mahasiswi kesehatan,berdemonstrasi  di depan kediaman Plt.Bupati Dogiyai, Herman Auwe, Rabu (8/6/2016. Mereka menuntut kepastian pengiriman mereka dan kejelasan beasiswa bagi mereka yang sudah dinyatakan lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Dogiyai.
Pantauan media ini, sekitar pukul 08.00 hingga 03.00 WIT calon mahasiswa berdiri di jalan Poros Nabire – Ilaga , tepatnya di depan Kediaman Plt. Bupati sambil menunggu kedatangan Plt. Bupati Dogiyai, Herman Auwe.
Beberapa pamflet yang mereka bawa bertuliskan “Bupati dan DPRD segera tanggungjawabkan nama – nama sudah daftar di Dinas Kesehatan Mengangkut Pendidikan”  Ada juga dtuliskan “Kapan lagi Dogiyai Cetak SDM Di bidang Pendidikan”
Herman Auwe selanjutnya menemui pendemo dan meminta seorang perwakilan untuk masuk ke rumahnya.
Koordinator aksi demo,Yance Yobee mengatakan mereka datang untuk menanyakan kepastian keberangkatan dan kejelasan biaya studi pendidikan bagi peserta yang sebelumnya dinyatakan lulus seleksi.
“Kami datang untuk mau menanyakan biaya pendidikan, karena dari Dinkes sudah pernah sampaikan bahwa sudah ada nama – nama yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi karena Dinkes sudah melakukan Mou dengan salah satu perguruan itu,” kata Yobe.
Pada  kesempatan itu, Plt Bupati Herman Auwe mengatakan tahun ini dana terkuras untuk Pilkada Dogiyai.
”Memang awalnya sudah direncanakan tetapi dana semua habis di Pilkada. Dari pemerintah pusat, dilimpahkan dana pilkada serentak 2017 ditanggung pemerintah daerah sehingga tidak ada danauntuk beasiwa,” katanya.
Herman berjanji pada tahun 2017 akan tersedia dana untuk biaya pendidikan khususnya tenaga Kesehatan.
“Anak – anak datang masih ada waktu untuk tahun 2017. Biaya pendidikan untuk kesehatan pasti ada, yang penting anak – anak jaga kesehatan,” tuturnya.
Usai pertemuan, Yance Yobee mengaku dirinya sangat kecewa dengan jawaban Plt.Bupati.
“Saya secara pribadi dan teman –teman sangat kecewa dengan pernyataan yang dikeluarkan Plt.Bupati. Padahal peningkatan SDM di bidang pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi prioritas pemerintah,”  jelasnya.
Yobee meminta penerimaan pada tahun 2017 diutamakan bagi putra –putri sudah lolos seleksi pada tahun ini.
Sementara itu, Sekertaris Dinas Kesehatan Dogiyai, Kristianus Tebai, mengatakan sudah melakukan MoU dengan Universitas Pandjajaran (UNPAD) Bandung.
“Namun hasil Rapimda antara Plt.Bupati, anggota DPRD dan KPU Dogiyai memutuskan harus menunda program beasiswa hingga tahun depan. Penundaan ini menyangkut dana Pilkada, ” kata Kris.
Dalam MoU dengan Rektor UNPAD Bandung, beberapa fakultas yang akan diambil adalah Fakultas Kedokteran, keperawatan kebidanan, radiologi, keperawatan gigi, dan analisis kesehatam.
“Kami tetap akan mengirimkan mahasiswa ke             Poltekes Kemenkes Semarang, namun biaya pendidikan pada awal semester ditanggung sendiri. Kami hanya membantu menfasilitasi calon mahasiswa tersebut hingga  diterima di Kampus Poltekes Kemenkes Semarang tersebut,” tuturnya. (Agus Tebai)
Read More ...

Rabu, 08 Juni 2016

Kekerasan dan Persoalan Rakyat Papua Menuju Pembebasan

12.57.00
Bernardo Boma, mahasiswa Papua di Semarang. (Dok Pribadi - SP)
Oleh: Bernardo Boma
Kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik adalah akar persoalan Papua menjadi masalah yang meninggkat sejak 1 Mei 1963 ketika  wilayah Papua dianeksasi kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendudukan Indonesia di wilayah Papua membawah malapetaka dalam kehidupan rakyat Papua. Persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah perjalanan hidup orang Papua adalah kekerasan militer terhadap orang asli Papua dengan berbagai macam dalil dan stigam serta marginalisasi yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Papua sehari-hari
Namun, Penderitaan hingga kini masih berlanjut dan ditutupi oleh rezim otoritarian negara yang penuh dengan pendekatan kekerasan, memarginalisasi orang Papua. Penderitaan rakyat Papua adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “OPM”, “Gerakan Pengacau Keamanan” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Dari berbagai segi kehidupan, baik dari aspek ekonomi, politik dan kebudayaan tidak terlepas dari sejarah perkembangan kehidupan Rakyat Papua. Jika kita menyimak bagaimana awal gagasan pembentukan Bangsa Papua oleh kaum intelektual Papua pada dekade 1960-an tentunya mereka memiliki cita-cita agar Rakyat Papua dapat membangun Bangsa dan Tanah Airnya dengan lebih baik, lebih demokratis, lebih adil dan lebih manusiawi serta lebih sejahtera di negerinya.
Keinginan dan tentang rumusan negara yang dikehendaki para pengagas Bangsa Papua, untuk memerdekakan Rakyat dan membentuk suatu negara adalah wujud cita-cita yang mulia karena menghendaki agar Rakyatnya terbebas dari sebuah penjajahan. Salah satu gagasan dari Resolusi Kongres Nederland Nieuw Guinea Raad (Dewan Niuew Guinea) pada tanggal 19 Oktober 1961, yang memiliki arti penting bagi Rakyat Papua saat ini adalah semboyan “One People One Soul” yang artinya Satu Rakyat Satu Jiwa. Semboyan ini mengartikan persatuan dari seluruh rakyat Papua yang beraneka ragam suka, bahasa, tradisi, adat dan kehidupan ekonominya.
Saat itu Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno yang egois dan angkuh telah melancarkan sebuah usaha untuk menggagalkan lahirnya negara Papua Barat. Yang mana setelah deklarasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat 1 Desember 1961, kemudian pada tanggal 19 Desember 1961 Indonesia melalui Soekarno mengumandangkan TRIKORA. Yang diikuti oleh mobilisasi militer dan para militer untuk menguasai Papua dari tangan Belanda. Dengan alasan membebaskan Papua dari penjajahan Belanda, gagasan membentuk sebuah negara Papua Barat adalah murni kehendak Rakyat Papua yang dipelopori oleh kaum intelektual Papua pada waktu itu, diantaranya:  N. Jouwe, M.W. Kaiseppo, P. Torei,  M.B. Ramendey, A.S. Onim, N. Tanggahma, F. Poana dan Andullah Arfan.
Sejak TRIKORA 19 Desember 1961 dan penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Indonesia selalu mengunakan militer (TNI-Polri) sebagai tameng untuk menghadapi perlawanan Rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran  Indonesia.
Realisasi dari isi Trikora itu Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba             dan lain-lain.
Tidak hanya sampai di situ dalam sejarah Indonesia, pada rezim pemerintah Soeharto yang otoriter militeristik, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965–1967), Operasi Bhratayuda (1967–1969), Operasi Wibawa (1967–1969), Operasi Pamungkas (1969–1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983–1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus melakukan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001).
Pada 10 November 2001, tepatnya 13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan tewas dalam mobilnya di Kilo Meter 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. pada 08 Desember 2014. 4 (empat) orang Pelajar mati ditembak oleh aparat keamanan (TNI/Polri) dilapangan Karel Gobay pada pagi hari, Namun hingga kini belum ada kejelasan Pemerintah dalam upaya penyelesaian kasus Paniai Berdarah walaupun Komnas HAM sudah merekomendasikan dan sudah membentuk Panitia Ad Hock dan banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Hingga saat ini, dapat kita saksikan sendiri bagaimana kekerasan dan marginalisasi terhadap Rakyat Papua dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan terjadi di depan mata kita, bagaimana perilaku aparat militer Indonesia terhadap Rakyat Papua, bagaimana tanah-tanah adat dijadikan lahan investasi perusahaan milik negara-negara Imperialis, Ekonomi rakyat seperti Pasar, kios, toko dan ruko dikuasai oleh bukan orang asli Papua sehingga orang asli Papua dimarginalkan dari atas tanahnya sendiri adalah salah satu bentuk diskriminasi rasis di Papua yang dibangun oleh negara melalui pendekatan pembangunan Pos-pos militer, penambahan pasukan militer Organik maupun Non Organik pembukaan lahan bagi perusahan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Papua membawa malapetakan bagi orang Papua dari segi Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dulunya kehidupannya alamiah
Tidak cuma itu, tingginya kematian di Papua khususnya kematian Ibu dan Anak ,Tenaga dan prasarana, Tenaga medis sangat minim, bagaimana lapangan pekerjaan yang ada cuma PNS dan buruh perusahaan milik negara-negara imperialis, bagaimana minimnya tenaga guru dan prasarana pendidikan di daerah-daerah pelosok dan masih banyak lagi persoalan lain yang sedang membelenggu Rakyat Papua saat ini.  Hal yang demikian terjadi diseluruh Papua dan tetap akan dipertahankan, guna kepentingan penguasaan terhadap Tanah Papua. Sehingga kesejahteraan menjadi alasan rasional Indonesia terhadap gejolak konflik di Papua yang sebenarnya berkaitan dengan Identitas suatu bangsa yang hendak memerdekakan diri.
Terbelenggunya Rakyat Papua dalam sebuah penjajahan, penindasan dan diskriminasi dikarenakan kita diperhadapkan pada musuh bersama seluruh Rakyat Papua cengkraman maut yang mematikan dari yang namanya Kolonialisme Indonesia, Imperialisme, dan Militerisme.
Kolonialisme Indonesia di Papua Barat dimulai ketika adanya invasi militer ke Papua sejak TRIKORA 1961 dengan pembentukan Komando Mandala untuk melancarkan operasi “Mandala” yang dipimpin oleh Letjend. Soeharto. Ini bertujuan untuk melakukan ekspansi (peluasan wilayah kekuasaan) negara Indonesia.  Ini dilakukan berdasarkan klaim yang tidak logis dan sepihak dari Soekarno, bahwa jauh sebelum Indonesia lahir, papua adalah bagian dari kerajaan  majapahit dan beberapa klaim lainnya.
Hingga kini, untuk menjalankan kolonisasi dan mempertahankan kekuasaannya atas Tanah Papua, mesin birokrasi, sistem politik seperti pemilu  dan militer (TNI-Polri) digunakan untuk melegitimasi keberadaan Indonesia di Papua. Birokrasi merupakan mesin legal Indonesia untuk menjadikan Papua bagian dari NKRI dan militer merupakan alat reaksioner yang digunakan untuk mempertahankan Papua apapun caranya. Dan sistem politik seperti pemilu untuk menunjukkan kalau Rakyat Papua patuh terhadap sistem politik yang berlangsung di Indonesia.
Hal sama seperti yang pernah dilakukan Belanda terhadap Indonesia dan Papua, kembali dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsa Papua.
Kolonial Indonesia dengan Sistem politik dan militer, kebijakan politik seperti UU NO 21 Tahun 2001 tentang Otsus, UU Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB), UP4B dan kebijakan lain hanya merupakan upaya untuk mempertahankan Papua tetap dalam kekuasaan Indonesia.
Imperialisme, dengan penandatanganan Kontrak Karya PT. Freeport milik Imperialis Amerika dengan pemerintahan Soeharto pada tahun 1967 menunjukan bahwa Papua saat ini sedang berada dalam cengkraman negara-negara Imperialis. Hal ini ditunjukan dengan masuknya berbagai perusahaan-perusahaan berskala Multy National Coorporation (MNC) seperti BP di Bintuni dan LNG Tangguh di Sorong Selatan serta pembukaan perkebunan skala luas seperti MIFEE di Marauke dan Corindo dan Medco yang sudah ada jauh sebelumnya. Untuk mengamankan keberlangsungan aktifitas eksploitasi perusahaan-perusahaan milik imperialis ini, militer (TNI-Polri) selalu digunakan untuk menghalau perlawanan Rakyat pemilik hak ulayat.  Nyatanya, keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat mensejahterakan seluruh Rakyat Papua yang berjumlah kurang lebih tiga juta jiwa.
Militerisme, di Papua awal mulai dengan masuknya penjajah Belanda, baru kemudian sifat reaksionernya muncul ketika Indonesia hadir di Papua. Militerisme Indonesia memulai aksinya di Papua paska TRIKORA 19 Desember 1961 dengan adanya seruan untuk memobilisasi umum rakyat Indonesia untuk membebaskan Papua Barat dari Belanda oleh Soekarno. Katanya membebaskan namun faktanya hari ini sedang menjajah.
Penerapan kebijakan operasi militer yang pertama yaitu Operasi Mandala tahun 1961 dan berbagai operasi lain untuk melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu, Daerah Operasi Militer (DOM) melalui Operasi Koteka pada tahun 1970-an, Rakyat Papua dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Penyelesaian persoalan Papua  melawan sistem yang sudah sekian lama menghisap, menindas dan menjajah rakyat Papua, untuk penyelesaian status Politik rakyat Papua adalah Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat Papua merupakan satu-satunya tawaran solusi demokratis, adil dan bermartabat yang lahir dari rakyat Papua dalam penyelesaian persoalan Papua sebagai tahapan rakyat Papua untuk menentukan sikap hidup secara, sadar dan demokratis, apa tetap bersama Indonesia atau merdeka sendiri. Melalui mekanisme internasional yang dikenal dengan nama referendum.
Penulis adalah aktivis Mahasiswa Papua di Semarang.
Referensi :
  1. Rinto R Kogoya, Persoalan pokok rakyat Papua dan Jalan keluarnya (http://komitepusatamp.blogspot.co.id/2013/04/persoalan-pokok-rakyat-papua-dan-jalan.html)
  2. Socratez Sofyan Yoman, Kami Berdiri Di Sini, (Jayapura; ETM Press,).
  3. Yorrys Th. Raweyai, 2002. Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 16.
  4. Rudiyanto,S.Th, M.Th, 2015 Sejarah Papua Akar Persoalan Masalah Papua Materi dalam seminar Demokrasi, Kebebasan, dan Kemanusiaan Era Reformasi Indonesia di Papua, yang diadakan di Kampus UNWAHAS Semarang
  5. Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat (TRIKORA), Markas Basar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta
Sumber : http://suarapapua.com
Read More ...