PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label Perempuan Papua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perempuan Papua. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Juni 2016

Tim HAM Versi Jakarta Sarat Kepentingan Politik

10.42.00
Caption: Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM,
dari kiri ke kanan: Frederika Korain, Pdt. Anike Mirino,
Bernadetha Mahuse, Mientje Uduas, Zandra Mambrasar,
Iche Murib, Fransiska Pinimet – Jubi/Yuliana Lantipo
Jayapura –  Tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua yang dibentuk pemerintah pusat belum lama ini dan melibatkan tiga orang asli Papua di dalamnya dinilai tidak mewakili suara dan harapan masyarakat Papua. Terbentuknya tim itu pun dipandang telah melenceng dari mekanisme yang semestinya dan sarat kepentingan politik.
Pandangan tersebut dikemukakan oleh Zandra Mambrasar dari Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham) Papua pada konferensi pers dikantornya bersama anggota solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM, Jumat (10/6/2016).
Zandra mengatakan negara ini sudah memiliki Komisi Nasional HAM yang bertugas untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, sehingga penyelesaian semua masalah HAM harus melalui lembaga tersebut.
“Kalau memang mau selesaikan masalah itu sesuai mekanisme maka itu adalah tugas komnas HAM, bukan bentukan baru yang dibuat oleh Menkopolhukam. Ini sangat politis sekali. Seharusnya, prosesnya melalui Komnas HAM, penyidikan di kejaksaan, kemudian pengadilan HAM. Itulah mekanisme yang seharusnya,” kata Zandra.
Pada April lalu, pemerintah pusat melalui Menkopolhukam dan jajarannya berjanji untuk menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua. Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus itu melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM. Menurut Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw, seperti dikutip dari BBC Indonesia, mengatakan, keempat kasus yang akan dipercayakan kepadanya untuk diselesaikan adalah kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), tewasnya aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni (3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober 2011).
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), Kasus Paniai (Desember 2014), dan satu yang masih bersifat usulan yakni kasus Biak berdarah (Juli 1998).
Tim penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM Papua itu diberi waktu bekerja oleh pemerintah sampai Oktober 2016.
Pro-kontra Tiga Orang Papua
Tim kerja yang masih memiliki empat bulan untuk menuntaskan masalah dugaan pelanggaran HAM di Papua itu menuai protes dari pegiat HAM lainnya di tanah Papua. Selain mekanisme penyelesaian yang dipersoalkan, kehadiran tiga orang Papua di dalam tim tersebut cukup mendapat sorotan.
“Matius Murib, Marinus Yaung, dan Lien Maloali adalah bukan representasi rakyat Papua,” bunyi salah satu kutipan pernyataan pers Solidaritas perempuan pembela HAM itu.
Frederika Korain, salah satu aktivis HAM Perempuan Papua yang juga seorang pengacara, dalam pertemuan itu menyatakan tim yang dipimpin Menkopolhukam dengan melibatkan tiga orang Papua itu hanya untuk rekayasa belaka dan tidak mencerminkan niat baik untuk menyelesaikan semua persoalan di tanah Papua.
“Seolah-olah, pesan yang dikirim adalah ini ada orang Papua yang mendapat tempat yang terhormat di negara ini, tetapi sebetulnya ini hanya rekayasa yang dibangun oleh pemerintah dalam rangka menutupi persoalan yang sebenarnya terjadi di tanah Papua. Apalagi beberapa orang itu mengaku diri sebagai aktifis. Kita harus tegas untuk itu, orang-orang yang dibawa ini sama sekali tidak punya kapasitas, tidak kompeten tetapi tidak juga dalam rangka menyelesaikan masalah,” tegas Frederika.
Frederika juga menyatakan pesimis masalah-masalah diselesaika oleh tim tersebut. “Bagaimana mungkin negara ini yang melakukan pelanggaran yang mau selesaikan pelanggaran yang dibuatnya sendiri? Negara saja tidak mungkin.”
Bernadetha Mahuse, aktivis HAM Perempuan yang juga berprofesi sebagai guru, menuturkan sudah tidak ada lagi rasa percaya pada pemerintah untuk menegakkan keadilan atas kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM Papua. Termasuk pada tim baru tersebut.
Ia mengatakan, demi menyelamatkan generasi penerus orang asli Papua, ia bersama aktivis HAM perempuan Papua tersebut mendesak tim pencari fakta dari Pasifik Island Forum (PIF) dengan rekomendasi pemerintah Indonesia untuk segera ke tanah Papua.
“Kami mendesak tim pencari fakta dari PIF segera datang melakukan tugasnya di Papua untuk penegakkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.
“Kami ini perempuan yang melahirkan kehidupan dan tugas kami merawat kehidupan. Menjaga dengan baik supaya sustain, kehidupan anak-anak kami itu terus menerus di atas tanah ini,” lagi ucapnya.
Menurut Bernadetha yang sudah lebih 15 tahun menjadi pegiat HAM itu menuturkan, “rahim kami bumi Papua ini sudah rusak, sudah terkoyak akibat kepentingan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak dan juga investasi yang terjadi di atas tanah ini. Banyak investor masuk untuk kepentingan perusahaan, tetapi tidak berpihak pada rakyat. Dan, itu berlansung sudah bertahun-tahun, tanpa ada penyelesaian.
“Tingkat ketidakpercayaan kami tiap hari kian menajam,” tutupnya. (*)
Read More ...

Jumat, 10 Juni 2016

Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM Tolak Tim HAM Papua, Bentukkan Menkopolhukam

11.45.00
Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM di Papua
saat jumpa pers di Jayapura, 10/6/2016. (Harun Rumbarar - SP)
Jayapura — Solidaritas Perempuan Papua Pembela Hak Asasi Manusia, yang bekerja untuk mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, menolak tim penyelesaian kasus HAM Papua bentukan menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan.
Penolakan ini disampaikan oleh Solidaritas Perempuan Papua Pembela Hak Asasi Manusia, dalam jumpa pers yang di selenggarakan, di abepura, padang bulan,  jayapura, Papua. Jumat (10/06/2016).
Pdt. Anike Mirino mengatakan,  sejumlah laporan-laporan hak asasi manusia yang dihimpun oleh lembaga-lembaga gereja, lembaga swadaya msayarakat dan masyarakat sipil di Papua telah melaporkan sejumlah tindak kekersan yag terjadi di Papua yang dilakukan oleh militer indonesia.
“Dan kami perempuan Papua sangat merasakan penindasan. Ini terjadi sejak Papua dianeksasi ke dalam negara indonesia, dan kekerasan itu tak kunjung habis. Negara jangan bersembunyi di balik kesalahan mereka dengan menggunakan orang Papua lain, menjadi tameng dalam kasus ham di Papua. Kami menolak tim HAM buatan Jakarta di bawah komando Luhut,” kata Mirino.
Sementara itu, Zandra Mambrasar juga mengatakan, para pekerja HAM, LSM dan lembaga-lembaga gerejabekerja untuk kerja-kerja kemanusian di Papua dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah Papua sejak tahun 1963.
“Kami semua berlatar belakang aktivis HAM. Kami bekerja menangani pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak tahun 1963 kami tolak tim bentukan yang tidak mewakili siapa pun itu”, kata Zandra Mambrasar.
“Negara tak perlu bersusah payah, membuang  tenaga, biaya dalam penyelesaian kasus HAM, yang sekedar menutupi kesalahan mereka, dan kami sangat yakin negara tidak akan perna bisa selesaikan kasus HAM di Papua kalau hanya untuk di politisir  saja,” ujar Zandra.
Ia juga mengatakan, perempuan Papua  sangat menolak tim penyelesaian kasus HAM Papua yang dibentuk oleh Luhut Binsar Panjaitan, selaku Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM yang  melibatkan Orang Papua  dan mereka ini tidak sama sekali  memiliki tanda jejak dalam proses penyelesasian kasus ham di tanah Papua.
“Yang kami pertanyakan adalah orang-orang yang ada di dalam tim HAM buatan Luhut itu mewakili siapa? Orang Papua sudah dengan tegas menyatakan bahwa, orang Papua ingin adanya intervensi dari PBB dan akan percaya pada tim pencari fakta dari PIF. Bukan buatan Indonesia,” tegasnya.
ULMWP juga menyatakan menolak adanya tim HAM buatan Menkopolhukam tersebut. United Liberation Movement for West Papua mengatakan dengan tegas menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Tim ini hanyalah upaya menggagalkan diplomasi ULMWP dan menghambat tim pencari fakta dari Pacific Islands Forum (PIF).
ULMWP mengatakan pembentukan tim ini sangat dipaksakan dan dipolitisir karena tidak sesuai dengan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM. Penyelesaiaan pelanggaran HAM hanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia walaupun KOMNAS HAM gagal menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Papua.
“Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia melanggar aturan Undang-Undangnya sendiri,” tulis ULMWP dalam releasenya yang dibacakan anggota tim kerja ULMWP dalam negeri, Sem Awom dalam siaran persnya di kantor ESHAM Jayapura, Papua, Kamis (9/6/2016) seperti dilansir Jubi.
Kata dia, rakyat Papua tidak akan pernah percaya kerja tim bentukan Jakarta ini. Karena, proses pendataan kasus HAM tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tim bentukan Luhut hanya menyimpulkan 14 kasus dari sejumlah kasus yang tertumpuk di Papua. Investigasi mestinya menyeluruh di bidang sipil, politik, ekonomi, social dan budaya sejak aneksasi Papua pada 1963, bukan parsial.
Kata dia, pembentukan tim ini juga terkesan tertutup. Pemerintah tidak melibatkan sejumlah komponen di Papua, yang punya kapasitas mengkawal semua kasus pelanggaran HAM.Karena itu, tim ini hanyalah upaya pemerintah Indonesia mengalihkan perhatian masyarakat Internasional terhadap kasus HAM di Papua.
“Tim ini hanya tipu muslihat Jakarta untuk menghindari pertanyaan masyarakat Internasional dalam pelaksaan Universal Periodik Review (UPR) di dewan HAM PBB dan juga mengalihkan opini dan menghindari pertanyaan negara-negara yang tergabung dalam Pasific Island Forum,”tegasnya.
Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat dibentuk oleh Keputusan Menkopolhukam, Luhut Pandjaitan, pada 15 Mei 2016. Tugasnya menghimpun data, informasi, analisa, dan melaporkannya pada Menkopolkam untuk diteruskan pada Presiden.
Dari edaran yang diterima redaksi, terdapat 15 anggota tim, yang terdiri dari Jajaran Menkopolhukam dan Dirjen HAM, Ketua Komnas HAM, JAM Pidsus, Ahli Hukum Pidana, Staf Ahli KABIN, Kapolda Papua, Pangdam XVII Cendrawasih, dan Kapolda Papua Barat. Dan di dalamnya tidak ada nama MArinus Yaung, Matius Murib dan Lien Maloali. (Harun Rumbarar)

Read More ...