PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label AMP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AMP. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Desember 2016

'Papua Saudara Kami', Dukungan Untuk Pendemo Papua di Jakarta

10.53.00
Para pendemo Papua di Jakarta, sebagian menggunakan atribut
bintang kejora, yang sering digunakan organisasi Papua merdeka.
Polisi menyemprotkan meriam air dan sejumlah aktivis sempat ditahan menyusul aksi sekitar 100 orang di Jakarta dan berbagai kota lain di Indonesia pada tanggal 1 Desember, hari yang diperingati setiap tahun untuk mengangkat tuntutan kemerdekaan Papua.
Aksi polisi ini segera mengundang banyak reaksi dari media sosial berisi dukungan terhadap para aktivis yang turun ke jalan di Jakarta ini dan untuk pertama kalinya melibatkan warga non-Papua.
Tagar Papua, #KamiIndonesia dan #WestPapua populer melalui Twitter dengan kicauan antara lain dari akun Jakarta tolak reklamasi @saveJKTbay yang menulis, "Papua saudara kami, mereka layak menentukan hidup mereka dan seperti kami menetukan pengelolaan Teluk."



"Demokrasimu cuma buat segelintir orang dan NKRImu itu jargon kejam!," cuitan DhyCat @purplerebel sementara Dandhy Laksono -videografer Ekspedisi Indonesia Biru- menulis, "Pemuda-pemuda Papua sedang ditangkapi di Jakarta karena menyalurkan aspirasi politik. Mestinya ini saat yang tepat membuat parade Bhinneka."
"Secara statistik, jumlah retweet yang saya peroleh untuk isu Papua langsung terjun bebas dibanding posting soal Jakarta," lanjut Dandhy mengacu pada isu Gubernur nonaktif Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok dengan rencana demonstrasi lanjutan pada Jumat, 2 Desember.

Papua hanya ingin haknya

Dalam aksi di Jakarta, sejumlah aktivis menggunakan atribut bintang kejora, bendera yang selalu dikibarkan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka setiap tanggal 1 Desember.





Pengamat Papua, Amiruddin al-Rahab mengatakan turunnya para aktivis di Jakarta menunjukkan upaya anak-anak muda yang ingin menggunakan ruang demokrasi yang terbuka saat ini.
"Teman-teman muda Papua itu mau menggunakan ruangan itu dengan berdemonstrasi di Jakarta... ternyata belum memberi ruang yang cukup untuk teman-teman Papua," kata Amiruddin -yang pernah menjadi anggota tim penelitian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI.
"Dalam situasi seperti ini ya teman-teman Papua berusaha terus dan pihak pemerintah bisa belajar dari situ sehingga mereka tak reaktif," tambahnya mengacu pada langkah penahanan sejumlah aktivis yang sempat diciduk sebelum dibebaskan.
Penahanan sejumlah aktivis juga dilaporkan terjadi di Yogyakarta.
Langkah aparat ini juga menjadi perhatian sejumlah pengguna media sosial, termasuk Jeffar Lumban Gaol yang menulis, "Kenapa suara orang Papua tak didengar, baru bicara hak asasi langsung dibungkam.," dan Bongabonga Rhapsody, "Ketika perbedaan jadi momok, persatuan jadi jargon omong-kosong. Yang dianggap berbeda dengan kita langsung ditindas. Papua hanya ingin haknya!"
Amiruddin al-Rahab menyatakan pemerintah perlu membentuk tim komunikasi agar aspirasi anak-anak muda Papua didengar.
"Ada tiga langkah yang bisa diambil. Pertama Presiden perlu membuat tim komunikasi sehingga aspirasi anak muda bisa didengar...juga ada persoalan pembangunan harus dideklarasi dengan baik sehingga dan menimbulkan kecemasan dan yang ketiga masalah HAM di masa lalu ini harus ditangani. Bila ini diambil mungkin ada suasana baru sehingga ada komuinikasi. Kalau tak dibuka (komunikasi) akan jadi persoalan di jalanan," kata Amin.
Read More ...

Minggu, 31 Juli 2016

Sultan Yogya Tolak Cabut Tudingan Separatisme Papua

06.25.00
Ratusan massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi dalam "Memperingati HUT West Papua ke 51" di Kawasan Nol Kilometer, Yogyakarta, (1/12/2012). Mereka menuntut segera diakuinya kedaulatan Negara Papua Barat oleh Indonesia dan PBB. TEMPO/Suryo Wibowo
Yogyakarta - Pertemuan mahasiswa asal Papua yang berdomisili di Yogyakarta dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X akhirnya digelar di Kepatihan, Yogyakarta, Jumat, 29 Juli2016. Tapi mahasiswa Papua kecewa lantaran keinginan mereka meminta klarifikasi atas pernyataan Sultan tentang tak ada tempat bagi separatis di Yogyakarta menemui jalan buntu.

“Tidak ada klarifikasi Sultan soal separatisme itu. Sultan tidak memberikan jaminan perlindungan kepada kami secara tertulis,” kata Pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Roy Karoba saat dihubungi Tempo, Jumat 29 Juli 2016.

Tudingan separatis oleh Sultan itu merupakan reaksi terhadap rencana mahasiswa asal Papua menggelar unjuk rasa mendukung referendum penentuan nasib Papua pada 15 Juli 2016. Rencana itu digagalkan polisi dan ormas yang mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Roy menceritakan, pertemuan berlangsung di ruang kerja Sultan di Kepatihan bersama sejumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta yang didampingi anggota Komisi I DPR Papua Laurenzus Kadepa. Awalnya, menurut Roy, Sultan mau mencabut pernyataan yang telah dikutip  media massa yang dilontarkan pada 20 Juli 2016. Dengan catatan, mahasiswa Papua di Yogyakarta tidak boleh ikut demonstrasi isu referendum Papua. “Itu sama saja membungkam kebebasan kami dalam berekspresi dan berpendapat di muka umum yang dilindungi undang-undang,” kata Roy.
Keinginan Sultan agar mahasiswa Papua hanya belajar dan melanjutkan studi di Yogyakarta, lanjut Roy, juga tak ditindaklanjutkan dengan memberi jaminan keamanan di Yogyakarta. Alasannya, Sultan khawatir jaminan secara tertulis menjadi dalih mahasiswa Papua untuk menggelar demonstrasi. Sikap Sultan membingungkan Roy. “Kalau ada dari kami yang melanggar hukum, silakan diproses secara hukum. Tapi beri pula kami perlindungan untuk berdemokrasi,” kata Roy.

Dia khawatir, jika tak ada klarifikasi dan pencabutan pernyataan dari Sultan, serta tak ada jaminan perlindungan mahasiswa Papua di Yogyakarta, sikap sejumlah ormas yang memblokir Asrama Papua “Kamasan” pada 15 Juli lalu akan berlanjut. “Ormas tidak memilah, tapi menganggap semua mahasiswa Papua itu sama,” kata Roy. Menurut Roy, akibat respon Sultan itu, mahasiswa Papua akhirnya kembali pada sikap awal untuk meninggalkan Yogyakarta.

Kepala Badan Kesatuan Kebangsaan dan Politik (Kesbangpol) DIY Agung Supriyono pun menegaskan, pernyataan Sultan soal separatisme itu bukan berarti pengusiran terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. “Itu sikap seorang negarawan yang memposisikan diri sebagai bagian dari NKRI,” kata Agung.

Dia menegaskan, mahasiswa Papua di Yogyakarta tetap mendapat jaminan perlindungan keamanan dan kenyamanan. “Tapi untuk melanjutkan sekolah, bukan untuk berpolitik,” kata Agung. (PITO AGUSTIN RUDIANA)


Sumber : www.tempo.co
Read More ...

Senin, 27 Juni 2016

Sambut 1 Juli: AMP Serukan Aksi Nasional 45 Tahun Proklamasi

04.57.00
Brosur demo nasional AMP sambut peringatan
45 tahun proklamasi kemerdekaan Papua (Foto: Dok. AMP)
Yogyakarta — Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite pusat telah mengeluarkan seruan umum kepada seluruh pelajar, mahasiswa dan rakyat Papua di setiap kota di Jawa-Bali untuk memperingati 45 tahun hari pembacaan proklamasi kemerdekaan Papua.
Dulu, 1 Juli 1971, proklamasi tersebut dibacakan di Desa Waris, dekat perbatasan Papua-Papua New Guinea (PNG). Aksi nasional tersebut akan dilakukan dalam bentuk demonstrasi damai pada Jumat, 1 Juli 2016, dikoordinir oleh AMP tiap komite-komite kota.
Proklamasi 1 Juli 1971 tersebut sebelumnya telah disiapkan untuk dibacakan pada 1 Desember 1961, tetapi dengan pertimbangan bahwa sebaiknya proklamasi dibacakan pada hari dimana Bangsa Papua merdeka penuh, maka teks proklamasi ditunda dibacakan. Lalu pada 19 Desember 1961, Presiden Indonesia, Soekarno, membacakan Trikora (Tri Komando Rakyat), dan mulailah upaya-upaya Indonesia untuk menggagalkan pembentukan negara Papua intensif dilakukan. Komando Mandala pembebasan Papua dibentuk.
Melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, Papua menjadi bagian dari Indonesia. Orang-orang Papua yang memprotes pelaksanaan Pepera 1969 yang tidak menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kebebasan dan hak asasi manusia itu dihadapkan dengan senjata, operasi militer, kematian.
“Dibawah bayang-bayang teror dan operasi militer yang dilakukan oleh militer Indonesia di Papua, pada tanggal 1 Juli 1971, bertempat di Desa Waris, Numbay-Papua, dekat perbatasan PNG, dikumandangkan ‘Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat’ oleh Brigjend Zeth Jafet Rumkorem, selaku Presiden Papua Barat,” tulis AMP dalam seruannya.
Berbagai operasi militer terus dilancarkan oleh Indonesia untuk menumpas gerakan pro-kemerdekaan rakyat Papua tersebut, jelas AMP, terus berlanjut hingga hari ini.
“Pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi rakyat Papua di depan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis pro kemerdekaan Papua,” lanjut AMP.
Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol. Paulus Waterpauw sudah mengeluarkan pernyataan bahwa 1 Juli 2016, rakyat Papua tidak boleh memperingatinya dengan pengibaran bendera Bintang Kejora.
“Kami sudah tegaskan akan menindak siapapun yang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Namun kami beri toleransi bila 1 Juli diperingati dengan ibadah syukur,” tegas Waterpauw.(Bastian Tebai)
Read More ...