PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label Gelagat Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gelagat Indonesia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 November 2016

Orang Non Papua Terus Kuasai Kota Wamena

15.20.00
Ruko di Jl. Trans Irian Pikhe, Kampung Likino Distrik Hubukiak,
Kabupaten Jayawijaya. (Foto: Ronny - SP)
Wamena — Orang non Papua terus menguasai kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan membangun toko dan kios yang dulunya hanya terpusat di kota Wamena, kini terus kuasai hingga ke pinggiran kota Wamena.
Fenomena ini terlihat dari perkembangan dan penyebaran kios dan toko yang sangat cepat di beberapa sudut di Kota Wamena terutama wilayah yang menghubungkan dengan wilayah luar kota, bahwa kios atau ruko milik para pedagang non Papua semakin banyak mengikuti perkembangan kota ke arah pinggiran kota Wamena.
Daerah Barat Wamena, jalan Homhom Moai distrik Hubikiak merupakan salah satu areal yang perkembangannya begitu pesat. Pada tahun 2005 silam wilayah ini masih tertutup hutan lebat, kios-kios hanya terlihat di sekitar pertigaan Jalan Homhom Moai dan Jalan Trans Irian. Tetapi kini ruko dan kios terus dibangun hingga jarak sekitar 3 Km ke arah luar kota.
Sedikitnya 350-an lebih kios dan ruko berjejeran di pinggiran jalan distrik Hubikiak, hampir semuanya milik para pedagang migran. Hal serupa juga tampak di sudut kota Wamena lainnya, di sebelah utara, sekitaran pasar Sinakma, kampung Honelama maupun arah distrik Napua, Kabuaten Jayawijaya.
Rosin, salah seorang pemilik kios di Sinakma mengakui, ia sudah menempati ruko tersebut sejak tahun 2012 dengan cara kontrak tahunan dari pihak TNI sebagai pemiliknya.
“Saya masih nona sudah tempati ruko itu. Tentara semua yang punya tanah ke atas itu dan kita kontrak. Sekarang sudah pindah ke rumah sendiri dan ada ruko lagi. Ruko lama juga tetap (pakai),” kata Rosin, salah seorang pemilik dan pengontrak Ruko dari oknum TNI di Wamena kepada suarapapua.com pada Rabu (2/11/2016).
Pendudukan migran disertai ruko dan kios juga terjadi di sebelah timur kota Wamena yaitu distrik Wouma dan selatan kota Wamena yaitu di wilayah Distrik Wesaput dan sekitarnya.
“Wesaput itu dari kali Baliem sampai dekat bandara sini kios-kios itu orang pendatang punya semua. Itu mulai banyak baru-baru ini tahun 2014 ke sini. Kali Baliem sudah ada jembatan itu nanti mereka bangun di sebelah lagi itu,” kata Logo, warga distrik Wesaput yang ditemui media ini.
Melihat kondisi tersebut, ia khawatir, kedepan tidak ada peluang bagi orang asli Papua (OAP) untuk berdagang sebagai mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan hidu.p
“Ini bahaya orang pendatang dorang kuasai terus ini, kita mau buka usaha, tapi mereka kuasai terus makin banyak. Jadi susah sekali,” kata Logo.
Senada juga dikemukakan warga asli Papua lainnya, Adam Wenente. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat asli Papua hanyalah proyek yang datang dan pergi, numpang lewat, selalu dinyanyikan oleh oknum-oknum di Pemerintahan tanpa ada hasil yang nyata.
“Buktinya, semua perdagangan dikuasai pendatang, pinang pun mereka (pendatang) jual, minyak, tanah, bensin, kayu bakar, lalu pemberdayaan itu mana? Pemerintah Distrik di luar kota ini juga tidak tegas, harusnya bikin aturan supaya jangan terus menyebar keluar,” kata Adam.
Terpisah, seorang tokoh wilayah adat Wio yang menjadi pusat pembangunan kota Wamena, Elgius Lagoan mengatakan, masyarakat asli wilayah adat suku Wio sejak lama tergeser ke pinggiran karena pembangunan pemerintahan di Jayawijaya bermula di wilayah adat tersebut.
“Padahal kami yang punya ulayat di sini belum memiliki hak ulayat sepenuhnya di kota ini. Kami semua ada di pinggiran kota, itu yang sering terjadi sedikit kecemburuan diantara masyarakat, khusus untuk suku Wio,” tutur Elgius.
Terkait penyebaran pedagang migran di Kabupaten Jayawijaya, Elgius Lagoan mengatakan, sudah seharusnya para pihak pemangku kepentingan di daerah ini memikirkan keseimbangan dalam hal berdagang maupun aktivitas pembangunan lainnya antara orang Papua dan para migran.
“Jadi, tidak harus monopoli oleh warga pendatang, bikin ruko dan sebagainya. Kita harap itu ada keseimbangan. Yang jelas sangat kita khawatir karena dengan adanya pergeseran, maka kami rakyat disini akan terancam,” katanya.
Elgius Lagoan yang juga anggota komisi A DPRD Jayawijaya ini menegaskan, pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk melindungi masyarakat maupun hak ulayatnya yang tersisah ini sebelum habis total.
“Saran kepada pemerintah, tempat-tempat yang tersisa ini kita buat semacam Perda begitu untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan aktivitas ekonomi OAP supaya jelas,” ujar Elgius. (Ronny)
Read More ...

Selasa, 18 Oktober 2016

Komisioner Komnas HAM Sebut Kehadiran Jokowi di Papua Sia-sia, Ini Jawaban Istana

15.59.00
Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Kota Sorong,
Papua Barat, Senin (29/12/2014). Pagi hari, Presiden blusukan
ke perkampungan nelayan di Kelurahan Malawei, Distrik Sorong Manoi.
Tampak Presiden berdialog dengan perwakilan nelayan. Selain itu,
Presiden juga memberi bantuan motor untuk perahu nelayan di tempat tersebut.
Jakarta — Pihak Istana merespons pernyataan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, yang menyebut kehadiran Presiden Joko Widodo di Papua merupakan hal yang sia-sia.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo menegaskan, tidak benar jika kunjungan Presiden ke Papua selama ini tidak bermanfaat bagi rakyat Papua sendiri.
"Ada kemajuan yang signifikan yang sudah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla kepada masyarakat di Papua," ujar Johan melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Selasa (18/10/2016).
Contohnya ialah pembangunan infrastruktur yang sudah dimulai. Ada pula program menekan harga di Papua dengan cara memperlancar arus distribusi barang di Papua.
"Ini mampu menekan harga kebutuhan pokok secara signifikan," ujar Johan.
Johan juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi sangat peduli terhadap rakyat Papua, sama seperti kepedulian Jokowi kepada rakyat miskin di Indonesia pada umumnya.
Meski demikian, Johan memastikan bahwa pernyataan Natalius Pigai itu menjadi masukan dan kritik agar kinerja Presiden Jokowi ke depan terkait pembangunan di Papua lebih baik lagi.
"Komentar itu tentu dianggap sebagai masukan dan kritik untuk lebih mengarahkan arah pembangunan Papua sekaligus lebih meningkatkan kepedulian Presiden kepada Papua," ujar Johan.
Sebelumnya, Natalius mengkritik kedatangan Jokowi di Papua sebanyak empat kali selama dua tahun kepemimpinannya.
Menurut dia, kunjungan itu tidak membawa dampak apa pun bagi warga Papua. 
"Semua kunjungan Presiden Jokowi terkesan tidak memberi manfaat dan hasilnya sampai sejauh ini belum pernah ada kebijakan yang dirasakan secara langsung oleh rakyat Papua," ujar Natalius dalam keterangan tertulis, Senin (17/10/2016).
Presiden Jokowi, kata Natalius, justru menjadi sumber masalah di Papua karena dianggap tidak memiliki kompetensi sosial untuk membangun kepercayaan, juga kompetensi manajemen pertahanan dan keamanan di sana.
Jokowi kembali mengunjungi Papua. Dalam kunjungan tersebut, Presiden meresmikan enam proyek listrik Papua dan Papua Barat.
Jokowi berharap dengan infrastruktur listrik yang terus bertambah, semua kebutuhan listrik Provinsi Papua dan Papua Barat bisa selesai pada 2019.
"Saya sampaikan, saya enggak mau 2020, saya minta 2019 seluruh kecamatan sudah terang semua. Masa lama sekali," kata Jokowi yang langsung disambut tepuk tangan warga.
Jokowi juga menyinggung harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua yang selangit. Ia melihat ada ketidakadilan bagi masyarakat Papua. Sebab, di sejumlah daerah terpencil di Papua, harga BBM bisa mencapai Rp 100.000 per liter.
Padahal, di daerah lain, harga BBM jenis premium tidak mencapai Rp 7.000 per liter.
Presiden menginstruksikan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto mencari jalan keluar agar harga BBM di Papua bisa sama dengan daerah lain.
Sumber : www.kompas.com
Read More ...

Jumat, 09 September 2016

E-KTP, Teror dan diskriminasi: Siapa yang Makan Untung?

12.48.00
Ilustrasi E-KTP. (IST)
Oleh: Benny Mawel
Eh kawan soal pembedaan, diskriminasi dan lebihnya soal terror pemerintah sipil terhadap warga. Pemerintah meneror warga yang tidak memiliki e-KTP, katanya tidak bisa mendapatkan layanan publik hingga tidak diakui sebagai penduduk.
Ancaman itu datang dari Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zuldan Arif Fakrulloh. Ia mengatakan warga yang tidak memiliki e-KTP akan menerima sanksi administratif.
“Tanpa E-KTP Terancam Tak Dapat Layanan Publik, Warga Diminta Segera “Input” Data,” tulis situs online kompas.com dan Koran cetak kompas pertegahan Agustus 2016.
Ancaman senada datang dari kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jayapura, Merlan S. Uloli. Ia mngatakan “warga yang tak mempunyai e-KTP bukan penduduk kota ini (Jayapura),” tulis portal berita Papua, tabloidjubi.com.
Acaman atau lebih tepatnya teror. Pemerintah menakut-nakuti rakyat dengan tidak akan menerima layanan publik hingga bahkan tidak mengakui warga sebagai penduduk. Kita harus mengatakan ini terror karena sangat tidak masuk akal. Logikanya teror dan terror toh.
Memang sangat tidak masuk akal karena soalnya begini, dimana kewajiban pemerintah terhadap warga yang berada dalam wilayah Negara? Apakah pemerintah dengan serta merta bisa mengatakan warga yang sudah lama tinggal di wilayah itu bukan penduduk?
Soal lebih ekstrimnya, apakah pemerintah rela mengakui orang asli Papua yang tidak memiliki e-KTP itu bagian dari negara lain? Ataukan pemerintah setuju kalau orang
asli Papua yang tidak meiliki e-KTP itu warga Negara West Papua sebagaimana rakyat Papua inginkan?
Kita lupakan soal itu. Kalau bicara soal kewajiban pemerintah, entah ada e-KTP atau tidak, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan UU hak asasi manusia ini. Ada tiga pilar kewajiban pemerintah, yakni: perlidungan, pemenuhan dan penghargaan. Tiga pilar itu sudah diatur dalam konvenan hak sipil dan politik dan ekonomi, sosial dan budaya, yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia ke dalam UU nasional.
Pemerintah mengadopsi (ratifikasi) semua itu dengan No 12 tahun 2005 dan UU No 11 tahun 2005 dan tentang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999. Atau pemerintah sudah melupakan hukum itu?. Kita lupakan saja membahas aturan yang tidak pernah dilaksanakan itu. Kita kembali focus kepada warga yang tertekan.
Warga yang tertekan itu ramai-ramai mengurus e-KTP untuk mengatasi ketakutannya dan harapannya suatu saat tidak mengalami hambatan untuk mendapatkan layanan publik dan diakui sebagai penduduk. Demi satu pengakuan itu, ada seorang teman dari pedalaman Papua datang ke rumah saya di dusun Pewe, pinggiran Abepura, mengatakan pengalaman mengurus e-KTP. Ia mengatakan warga yang tinggal jauh dari kota, distrik-distrik yang tidak ada jaringan internet dan tidak tersedia alat perekam harus ke Kota Wamena, ibu kota Jayawijaya.
Kata dia, mereka menghabiskan sejumlah uang untuk pergi pulang. Uang yang mereka habiskan tidak sedikit: mulai dari ongkos transpotasi, makan minum selama berada di kota biaya lainnya. Pengeluaran anggaran itu tergantung jarak distrik dan kota. Makin jauh jangkauan makin mahal ongkosnya.
Penggalan kisah itu dari kabupaten Jayawijaya, kabupaten Induk dari beberapa kabupaten di wilayah adat Lapago. Kabupaten yang sudah kita anggap sudah lebih maju dari kabupaten pemekaran. Kita tidak tahu cerita kabupaten Yalimo dan Mamberamo Tengah, misalnya. Kita harap saja, kabupaten pemekaran itu lebih baik dari kabupaten Induk.
Kita mengakui saja bahwa upaya warga mengurus e-KTP itu memang dalam tekanan tetapi itu juga bagian partisipasi warga dalam mensukseskan program pemerintah dan membangun daerah. Tetapi, kalau bicara program, warga yang sedang diteror tidak pernah tahu ujung dari program perekaman e-KTP itu.
Kita tafsirkan saja, e-KTP ini untuk mempermudah dalam mengurus layanan publik. Warga bisa mendapatkan layanan publik lintas wilayah. Warga yang bersakutan tidak bisa lagi memiliki KTP dobel. Amanlah, jadinya, suara rakyat dalam pemilihan umum tidak bisa dimanipulasi.
Kita berusaha menafsirkan tetapi tetap ada soal. Apakah ini dalam rangka mengontrol rakyat? Apakah ini upaya pemerintah mengatur kehidupan warga demi mengamankan kepentingannya sendiri? Apakah ini upaya pemerintah mengawasih ruang gerak rakyat yang bebas?
Perekaman e-KTP itu lebih berdampak kepada program pemerintah. Jumlah penduduk menentukan besaran anggaran? Apakah besaran yang diajukan waktu lalu, kini dan akan datang akan sampai ke warga? Ataukah data itu hanya menguntungkan para birokrat?
Birokrat yang makan untung atau tidak, itu sudah menjadi rahasia publik. Birokrat sudah lama makan untung atas nama rakyat. Rakyat dari dulu hingga kini tidak berubah. Rakyat menjadi objek kepentingan elit politik dan birokrat.
Kaum elit terus berkembang dari satu tahap ke tahap lain. Beli motor hingga mobil. Jumlahnya pun bahkan lebih dari satu. Rumah sederhana hingga rumah mewah dibangun. Mereka tidak pernah mengalami situasi krisis atau tidak. Kehidupan mereka bergerak normal dari warga masyarakat.
Warga masyarakatnya tidak pernah bergerak. Mereka bertahun-tahun lamanya bergerak dalam satu irama. Penjual pinang dengan modal 100 ribu tidak pernah berkembang sebagaimana para pejabat birokrat yang terus berkembang itu. Kalau kenaikan harga, kelangkaan kebutuhan hidup, warga masyarakat yang merasakan. Elit tidak pernah mengalaminya.
Kalau demikian, elit politik, segelintir orang sedang mengendalikan publik. Rakyat menjadi lahan sang elit yang rakus dan barbar. Karena, mereka yang rakuslah yang bisa memanfaatkan masyarakat atau orang lain demi kebutuhannya sendiri atas nama hukum. Preett..
Penulis adalah wartawan di tabloidjubi.com dan Koran Jubi

Sumber : http://suarapapua.com/
Read More ...

Minggu, 31 Juli 2016

Sultan Yogya Tolak Cabut Tudingan Separatisme Papua

06.25.00
Ratusan massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi dalam "Memperingati HUT West Papua ke 51" di Kawasan Nol Kilometer, Yogyakarta, (1/12/2012). Mereka menuntut segera diakuinya kedaulatan Negara Papua Barat oleh Indonesia dan PBB. TEMPO/Suryo Wibowo
Yogyakarta - Pertemuan mahasiswa asal Papua yang berdomisili di Yogyakarta dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X akhirnya digelar di Kepatihan, Yogyakarta, Jumat, 29 Juli2016. Tapi mahasiswa Papua kecewa lantaran keinginan mereka meminta klarifikasi atas pernyataan Sultan tentang tak ada tempat bagi separatis di Yogyakarta menemui jalan buntu.

“Tidak ada klarifikasi Sultan soal separatisme itu. Sultan tidak memberikan jaminan perlindungan kepada kami secara tertulis,” kata Pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Roy Karoba saat dihubungi Tempo, Jumat 29 Juli 2016.

Tudingan separatis oleh Sultan itu merupakan reaksi terhadap rencana mahasiswa asal Papua menggelar unjuk rasa mendukung referendum penentuan nasib Papua pada 15 Juli 2016. Rencana itu digagalkan polisi dan ormas yang mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Roy menceritakan, pertemuan berlangsung di ruang kerja Sultan di Kepatihan bersama sejumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta yang didampingi anggota Komisi I DPR Papua Laurenzus Kadepa. Awalnya, menurut Roy, Sultan mau mencabut pernyataan yang telah dikutip  media massa yang dilontarkan pada 20 Juli 2016. Dengan catatan, mahasiswa Papua di Yogyakarta tidak boleh ikut demonstrasi isu referendum Papua. “Itu sama saja membungkam kebebasan kami dalam berekspresi dan berpendapat di muka umum yang dilindungi undang-undang,” kata Roy.
Keinginan Sultan agar mahasiswa Papua hanya belajar dan melanjutkan studi di Yogyakarta, lanjut Roy, juga tak ditindaklanjutkan dengan memberi jaminan keamanan di Yogyakarta. Alasannya, Sultan khawatir jaminan secara tertulis menjadi dalih mahasiswa Papua untuk menggelar demonstrasi. Sikap Sultan membingungkan Roy. “Kalau ada dari kami yang melanggar hukum, silakan diproses secara hukum. Tapi beri pula kami perlindungan untuk berdemokrasi,” kata Roy.

Dia khawatir, jika tak ada klarifikasi dan pencabutan pernyataan dari Sultan, serta tak ada jaminan perlindungan mahasiswa Papua di Yogyakarta, sikap sejumlah ormas yang memblokir Asrama Papua “Kamasan” pada 15 Juli lalu akan berlanjut. “Ormas tidak memilah, tapi menganggap semua mahasiswa Papua itu sama,” kata Roy. Menurut Roy, akibat respon Sultan itu, mahasiswa Papua akhirnya kembali pada sikap awal untuk meninggalkan Yogyakarta.

Kepala Badan Kesatuan Kebangsaan dan Politik (Kesbangpol) DIY Agung Supriyono pun menegaskan, pernyataan Sultan soal separatisme itu bukan berarti pengusiran terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. “Itu sikap seorang negarawan yang memposisikan diri sebagai bagian dari NKRI,” kata Agung.

Dia menegaskan, mahasiswa Papua di Yogyakarta tetap mendapat jaminan perlindungan keamanan dan kenyamanan. “Tapi untuk melanjutkan sekolah, bukan untuk berpolitik,” kata Agung. (PITO AGUSTIN RUDIANA)


Sumber : www.tempo.co
Read More ...

Selasa, 12 Juli 2016

Maklumat Demo, Strategi Bungkam Ruang Demokrasi Di Papua

13.06.00
Massa KNPB Sentani dibawa ke Polres Jayapura
dari Pos 7, Rabu, 15/6/2016 (JUBI/ZA)
Jayapura – Rencana Kepolisian Daerah (Polda) Papua mengeluarkan maklumat demo kembali mendapat tanggapan. Kali ini dari pihak Dewan Adat Papua (DAP).
Sekretaris II DAP, John Gobay menduga rencana kepolisian setempat mengeluarkan maklumat demo tak lain merupakan strategi untuk membungkam ruang demokrasi di Papua.
“Maklumat demo dibuat sebagai tanggapan atas demo Komite Nasional Papua Barat (KNPB) selama ini. Kalau saya, sebaiknya buka ruang dan berikan kesempatan kepada kelompok manapun untuk menyampaikan aspirasi di muka umum,” kata John Gobay via pesan singkatnya kepada Jubi akhir pekan lalu.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia perlu membuka ruang demokrasi di Papua agar tak terus mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk dunia internasional dan disebut membatasi orang Papua untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat di muka umum.
“Maklumat tidak dikenal dalam tatanan urutan hukum Indonesia. Saya berharap Kapolda Papua, Inspektur Jenderal (Pol) Paulus Waterpauw tidak melanjutkan keinginannya membuat atau mengeluarkan maklumat demo,” ucapnya.
Katanya, demo atau menyampaikan pendapat di muka umum sama dengan berbicara. Bukan merusak atau menjarah. Setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya dan dijamin undang-undang yang berlaku.
“Jadi bijaksananya adalah membuka ruang demokrasi di Papua. Maklumat demo bertentangan dengan perundang undangan yang berlaku di Indonesia. Beri ruang kebebasan berekspresi di Papua,” katanya.
Terpisah legislator Papua, Laurenzus Kadepa mengatakan, pihaknya juga tak setuju jika Polda Papua mengeluarkan maklumat demo. Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara tanpa memandang siapa atau kelompok dari mana mereka.
“Itu bertentangan dengan keinginan kami DPR Papua. Kami justru ingin ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya kepada siapapun yang ingin menyampaikan pendapatnya dimuka umum,” kata Kadepa. (*)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Read More ...

Rabu, 06 Juli 2016

Siap-siap, Pameran Pariwisata Papua Terbesar Akan Digelar di Jakarta

23.38.00
Ilustrasi (Afif/detikTravel)
Jakarta - Papua Expo 2016, inilah pameran pertama dan terbesar tentang Papua di Jakarta. Ada pariwisata, budaya serta kehidupan sosial dari Bumi Cendrawasih yang akan ditampilkan pada Oktober nanti.

"Ini merupakan pameran pertama tentang Papua sekaligus terbesar. Lewat pameran ini, akan kita tampilkan seluruh potensi Papua yang ada," ujar Ketua Panitia Papua Expo 2016, Maximus Tipagau kepada detikTravel di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/7/2016) malam.

Papua Expo 2016 rencananya akan berlangsung dari tanggal 26 sampai 28 Oktober. Lokasinya bertempat di Jiexpo Kemayoran, Jakarta dengan total peserta mencapai ratusan lebih.

Dalam pameran ini, Maximus menjelaskan akan menampilkan segala hal tentang Papua. Baik dari segi pariwisata, budaya, ekonomi dan kehidupan sosial Papua sebab selama ini belum diketahui banyak orang.

"Orang-orang kalau bicara Papua pasti bilangnya perang dan lain-lain yang negatif-negatif. Lewat pameran ini kita mau memperkenalkan bagaimana Papua yang sebenarnya. Kita mau tunjukan, bahwa masyarakat Papua juga anak bangsa yang tak boleh terlupakan," papar putra asli Papua tersebut.

Selama 3 hari penyelenggaraan, bakal ditampilkan berbagai atraksi adat dan perhelatan budaya khas Papua. Ada tari-tarian sampai upacara adat seperti bakar batu. Tak ketinggalan, para operator tur siap menjual berbagai paket wisata ke berbagai destinasi di Papua, dari bawah laut Raja Ampat yang indah hingga Puncak Carstensz yang bersalju.

"Acara ini didukung oleh Lenis Kogoya, salah satu staf khusus presiden serta beberapa kementerian terkait. Seluruh Pemda di Papua pun akan ambil bagian," pungkas Maximus.

(aff/shf)

Read More ...

Rabu, 22 Juni 2016

Aktivis dan Tokoh Gereja Minta Kapolda Papua Tinjau Wacana Maklumat Demo

12.44.00
Pater John Djonga saat memberikan keterangan pers di Wamena. (Foto: Elisa Sekenyap - SP)
Wamena — Pater John Djonga menilai, rencana Polda Papua mengeluarkan maklumat mengenai dasar dan aturan menyampaikan pendapat di muka umum di Papua adalah sebuah tindakan berlebihan, karena Negara Indonesia adalah Negara demokrasi sehingga tidak boleh dibatasi dengan maklumat itu.
“Contoh, salah satu staf di dinas untuk menyelesaikan suatu masalah, kepala dinasnya tidak menghiraukan. Salah satu unsur demokrasinya adalah demo-demo. Biarkan mereka bicara atau demo dengan cara mereka sendiri, asal tidak anarkis dan mengganggu orang lain,” kata Pater Jonhn Djonga di Wamena, Rabu (22/6/2016) siang tadi.
Dia lalu mengatakan, di seluruh dunia untuk siapa saja yang hendak melakukan demonnstrasi diberi ruang seluas-luasnya, sehingga di Papua atau Indonesia hal itu juga yang harus dilakukan.
Katanya, di Jenewa, didepan Kantor PBB, terkait soal PBB siapa saja yang mau melakukan demo diberi ruang untuk melakukan demonstrasi.
“Kita semua akui kebebasan berekspresi ini, tinggal polisi bagaimana memberi keamanan dan kenyamanan, bukan melarang mereka. Karena justru kalau melarang kelompok anak-anak kita ini bisa buat sesuatu yang lain lagi dan itu polisi akan semakin sibuk lagi,” pungkasnya.
Sehingga Pater John meminta, maklumat yang direncanakan akan dikeluarkan Polda Papua segera ditinjau kembali.
“Kalau hanya sekedar melarang orang demo, maklumat itu ditinjau kembali. Undang-undang kebebasan menyampaikan pendapatkan sudah ada, asal memang melakukan demo tidak anarkis, menggangu orang lain dan tidak juga merugikan orang lain,” tandasnya.
Arkilaus Baho,  aktivis Papua memberi catatan khusus  terhadap wacana tersebut. Menurutnya, maklumat Polda Papua itu malah menghidupkan pola lama dan itu bakal bikin wajah Indonesia makin suram lantaran paranoid separatisme.
“Keutuhan NKRI tidak bisa dijaga dengan cara mengkriminalkan para pejuang Papua, sebab pendekatan sudah gagal total. Sejak Papua di NKRI, ratusan orang Papua dipenjarakan, apakah metode tersebut membuat perjuangan Papua lepas dari NKRI surut? Tidak. Justru makin meluas,” kata Baho.
Baho juga mengatakan, polisi adalah produk reformasi 1998, maka semestinya Polda Papua tidak mengebiri reformasi sebagai alat perubahan.
Sebelumnya, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpau dalam rombongan kunjungan Menko Polhukam di Wamena mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengeluarkan maklumat Kapolda yang mengatur tentang dasar-dasar atau aturan hukum tentang penyampaian pendapat  di muka umum.
“Bahwa siapa saja berhak menyampaikan secara normative, tetapi ada penekanan bagi KNPB, PRD dan afiliasinya yang kita anggap muaranya separatis. Melawan Negara dan melawan pemerintah yang sah,” pungkas Kapolda di Wamena.(Elisa sekenyap)
Read More ...

Luhut ke Wamena, John Jonga: Untuk Selesaikan Kasus HAM di Papua Harus Libatkan Keluarga Korban

12.40.00
Pater John Djonga saat memberikan keterangan pers di Wamena. (Foto: Elisa Sekenyap - SP)
Wamena — Pater John Jonga, Pr, tokoh gereja di Papua mempertanyakan, kunjungan Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, baru-baru ini yang dalam lawatannya memaparkan sejumlah program pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan. 
Menurut Pater John, apa yang dilakukan Menko Polhukam sebenarnya baik, tetapi terkesan mengambil alih tugas dari menteri yang memang bertugas di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
“Ini saya mempertanyakan, ini orang rakus atau memang karena mau memperbaiki Indonesia. Karena hampir semua aspek ada menterinya, beliau ambil alih semua. Saya senang juga dia (Menko Polhukam) sebenarnya ada usaha untuk menyelesaikan, hanya saja ambil alih tugas menteri lain,” kata Pater John di Wamena, Rabu (22/6/2016) siang tadi.
Disisi lain kata Pater John, untuk dugaan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Menko Polhukam berkeinginan menyelesaikannya, namun para aktivis HAM yang ia undang mungkin hanya tahu data tanpa mengetahui persoalan sesungguhnya.
“Sebenarnya, beliau atau negara mau serius, ya undang para korban-korban pelanggaran HAM itu, terlebih keluarga-keluarga korban. Kalau itu benar-benar mau selesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua,” ujar peraih Yap Thiam Hien Award 2009 ini.
Pater John juga menilai, penyelesaian dugaan kasus HAM di Papua ini tidak boleh dilakukan oleh pihak militer.
“Sebaiknya suruh orang yang netral yang mungkin tidak terlibat tanganya darah. Ada banyak komentar dari masyarakat Papua bahwa, beliau itu kan jenderal tentara, sudah jelas dimana-mana di Tanah Papua sampai sekarang sudah jelas pelakunya mereka itulah yang pegang senjata. Itu militer dan polisi,” bebernya.
Sehingga, sekali lagi kata Pater John, investigasi hingga penyelesaiannya yang melibatkan militer dan juga para aktivis mestinya tidak bisa.
“Undang para korban pelanggaran HAM itu, dan undang mereka yang bunuh tentara dan masyarakat sipil di hutan. Panggil mereka untuk dialog. Yang sekarang diundang kan para aktivis,” tuturnya.
Ia malah mempertanyakan, independensi tim investigas bentukan Jakarta yang disampaikan Menko Polhukam baru-baru ini di Wamena. Menurutnya, dari segi mana untuk menilai tim itu independen atau tidak.
“Yang menjadi komandan dalam tim ini kan pak Luhut, beliau adalah birokrat mewakili pemerintah Indonesia. Jika tim ini independen, mesti diluar pemerintah atau diluar menteri ataupun pejabat negara. Dia kan pejabat negara. Kalau tim ini mau betul-betul independen sebaiknya menurut saya harus dari masyarakat sipil,” jelas Pater John.
Ketika ditanya mengenai permintaan masyarakat Papua supaya tim investigasi internasional ke Papua untuk melakukan investigasi, kata Pater John, itu juga terlihat berlebihan, karena mengingat keamanan, geografis wilayah di Papua yang tidak bisa diakses hingga ke  kampung-kampung.
“Tetapi, jika tim investigasi internasional nekat ya bisa, tetapi juga masih banyak yang punya hati memperbaiki situasi di Papua. Jadi lebih baik dari dalam sendiri, tetapi yang independen yang bukan pajabat menteri. Yang ini sudah tidak independen lagi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi HAM Pegunungan Tengah Papua usai tatap muka dengan Menko Polhukam mengatakan, komitmen  dari Menko Polhukam untuk menyelesaikan kasus Hukum dan HAM itu baik, tetapi perlu keterlibatan semua pihak, terutama korban pelanggaran HAM.
“Kami harap semua orang terlibat. Dalam hal ini, KNPB, Dewan Adat dan bila perlu hadirkan OPM (Organisasi Papua Merdeka), supaya mereka juga bisa sampaikan pendapat, supaya penyelesaian ini bisa benar-benar. Termasuk keluarga korban sipil, tetapi hanya beberapa komponen seperti penyelesaiannya akan buntut,” kata Theo.(Elisa Sekenyap)
Read More ...

Sabtu, 18 Juni 2016

Indonesia Keberatan ULMWP Hadir Dalam Pertemuan MSG

10.33.00
Delegasi anggota MSG berfoto bersama usai pertemuan
para menteri di Laoutoka, Fiji (Jumat/16/6/2016).
Tampak dalam foto, delegasi Indonesia, Desra Percaya (paling kiri)
 dan delegasi ULMWP, Rex Rumakiek (paling kanan) – Sekretariat MSG
Jayapura – Untuk pertama kalinya, delegasi bangsa Papua yang diwakili oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berada dalam satu meja yang sama dengan delegasi Indonesia di forum resmi Melanesia Spearhead Groups (MSG).
ULMWP saat ini berstatus anggota pengamat dan Indonesia sebagai anggota asosiasi. Keduanya saat ini mendaftar sebagai anggota penuh di kelompok negara-negara regional Melanesia ini. Keputusan untuk baik ULMWP maupun Indonesia ini akan diputuskan dalam pertemuan para Kepala Negara MSG bulan Juli mendatang di Honiara.
Milner Tozaka, Menteri Luar Negeri Kepulauan Solomon memuji peran MSG dalam menghadirkan dua pihak yang berkonflik ini. Ia mengakui, awalnya Indonesia menolak kehadiran ULMWP dalam pertemuan para menteri dan pejabat senior yang diselenggarakan di Lautoka, Fiji pekan ini.
“Indonesia keberatan menerima perwakilan orang Papua dalam pertemuan pejabat senior, sebelum pertemuan para menteri luar negarei. Namun saya menegaskan pentingnya dua belah pihak, balk Indonesia maupun ULMWP untuk berpartisipasi dalam setiap pertemuan,” kata Tozaka, Jumat (17/6/2016).
Keberatan Indonesia ini, menurutnya karena Indonesia beranggapan Papua telah diwakili oleh delegasi Indonesia dalam pertemuan di Lautoka ini.
Melalui saran pers Kementerian Luar Negeri, Jumat (17/6/2016) Indonesia menjelaskan penolakan atas klaim ULMWP yang disebut sebagai gerakan separatis.
“ULMWP adalah gerakan separatis di negara yang berdaulat. Gerakan ini tidak memiliki legitimasi dan tidak mewakili rakyat Papua Barat,” kata Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya dalam pertemuan Tingkat Menteri Melanesian Spearhead Group (MSG).
Indonesia telah melobi intens beberapa negara anggota penuh MSG di wilayah ini untuk melawan upaya ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Namun dukungan akar rumput di negara-negara Melanesia untuk penentuan nasib sendiri Papua Barat dan kegiatan diplomasi internasional atas masalah Papua ini semakin kuat.
Utusan khusus Kepulauan Solomon untuk Papua Barat, Rex Horoi, menggambarkan proses ini sebagai awal dari proses lama yang telah didorong oleh MSG.
Dia mengatakan MSG ingin menyediakan platform untuk Indonesia dan ULMWP agar melakukan dialog terbuka dan transparan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung dan masalah yang dihadapi orang Melanesia di Papua, Indonesia.
Amatus Douw, anggota delegasi ULMWP mengakui proses menjadi anggota penuh cukup rumit.
“Tapi saya percaya Sekretariat MSG telah bekerja keras untuk membuat kriteria keanggotaan dari pengamat ke anggota penuh,” katanya. (*)
Read More ...

Jumat, 17 Juni 2016

Tak Ada Ruang Untuk Korban Dalam Tim Terpadu Menko Polhukam

15.15.00
Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan bersama Kepala Bappenas,
 Kapolda Papua dan Bupati Jayawijaya ketika tiba
 di Kantor Bupati Jayawijaya – Jubi/Islami
Wamena – Upaya menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh pemerintah melalui tim terpadu yang dibentuk oleh Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) harus melibatkan seluruh unsur yang berkepentingan.
Theo Hesegem, aktivis HAM Papua yang masuk dalam tim investigasi pelanggaran HAM perwakilan dari Pegunungan Tengah Papua mengakui seluruh pelanggaran HAM di Papua harus diselesaikan tetapi perlu melibatkan seluruh unsur komponen, dalam hal ini baik KNPB, dewan adat, bila perlu OPM juga dihadirkan untuk menyampaikan pendapatnya.
“Korban-korban itu harus menyampaikan begitu juga dengan keluarga korban yang ada di sini. Mereka punya hak untuk menyampaikan beberapa hal kepada Menko Polhukam, tetapi ruang itu tidak ada,” kata Theo.
“Jadi, harusnya muncul dari korban-korban yang menyampaikan bagaimana menyelesaikan pelanggaran HAM ini. Jadi pertemuan tadi itu sebenarnya bisa memberikan waktu atau ruang yang agak lebar kepada setiap komponen-komponen itu. Kalau KNPB, dewan adat dan bahkan OPM sekalipun mempunyai kesempatan untuk bicara, kalau kita tidak melibatkan mereka semua itu nanti akan buntu,” kata Theo Hesegem menanggapi pertemuan antara Menko Polhukam dengan tokoh masyarakat Jayawijaya di Kantor Bupati, Jumat (17/6/2016).
Dalam pertemuan ini, Menko polhukam Luhut Binsar Panjaitan memang mengakui ada penolakan terhadap tim investigasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dibentuknya. Namun itu hanya segelintir orang. Menurut Luhut tim yang dibentuknya terdiri dari Ketua Komnas HAM RI dan Papua dan beberapa komisioner Komnas HAM.
“Saya katakan bahwa semua orang boleh lihat dokumen yang ada, bahkan wartawan juga boleh ikut di dalamnya, supaya bisa selesaikan dengan baik, asal datang dengan data-data jangan dengan rumor. Yang kita tidak mau adalah, jangan orang lain membuat tim independen untuk investigasi kita lagi,” katanya di Wamena, Jayawijaya,
Diakuinya, sejauh ini proses sekarang masih mengumpulkan data, karena dari hasil tatap muka di Jayawijaya ini bahwa banyak anggota TNI dan Polri jadi korban, sehingga dirinya beranggapan tidak adil juga jika hanya masyarakat sipil saja yang dituntaskan.
Dalam kesempatan yang sama, Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpau menjelaskan, kasus pelanggaran HAM berat yang sedang menjadi fokus adalah kasus Wamena berdarah, Wasior dan Paniai tahun 2014. Semuanya telah ditangani oleh Komnas HAM pusat dan kejaksaan agung, sehingga itu ditarik seluruhnya oleh mereka dan ditangani oleh mereka.
“Kemarin juga dari tim pemerhati HAM yang kita bawa ke Jakarta, kurang lebih 12 orang langsung datang ke Kejaksaan Agung dan Komnas HAM pusat untuk mendorong itu langsung kepada ketuanya masing-masing. Mudah-mudahan, dengan keseriusan dan dorongan dari pemerintah kita di Papua ini, pemerhati HAM bisa menambah percepatan penyelesaian-penyelesaian kasus HAM di Papua, di mana target tahun ini ketiga kasus itu selesai diungkap,” jelas Waterpauw.
Sebelum kedatangan Menko Polhukam, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Yunus Wonda telah meragukan Tim Menko Polhukam ini bisa menyelesaikan masalah HAM di Papua. Sebab, menurutnya tim ini tidak independen.
“Meskipun tim ini bentukan pemerintah Indonesia kemudian punya data, namun saya yakin tak ada negara manapun yang akan mempercayai data tersebut,” kata Wonda.
Ia berharap penyelesaian masalah HAM ini dilakukan oleh lembaga yang seharusnya bekerja untuk hal tersebut, yakni Komisi Nasional HAM.
Pada pertemuan awal pembentukan tim terpadu ini, Gubernur Papua, Lukas Enembe juga telah mengungkapkan kekecewaanya terhadap upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah melalui Menko Polhukam karena memperdebatkan kriteria dan definisi pelanggaran HAM.
“Kalau masih diperdebatkan lagi soal kriteria dan definisi, dikembalikan ke Papua biar diselesaikan secara adat,” kata Gubernur Enembe yang hadir dalam pertemuan tertutup bulan April lalu di Kantor Menko Polhukam bersama Ketua DPRP dan Ketua Majelis Rakyat Papua. (*)

Sumber : www.tabloidjubi.com
Read More ...

Polda Papua Akan Keluarkan Maklumat Tentang Demo

15.06.00
Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan bersama Kepala Bappenas,
Kapolda Papua dan Bupati Jayawijaya ketika tiba
di Kantor Bupati Jayawijaya – Jubi/Islami
Wamena – Dalam waktu dekat Kepolisian Daerah Papua mengeluarkan maklumat tentang dasar dan aturan menyampaikan pendapat di muka umum.
Menurut Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw siapa pun punya hak menyampaikan pendapat di muka umum. Namun ditekankan untuk kelompok KNPB, PRD dan afiliasinya yang bermuara kepada separatisme ada dasar hukumnya.
“Kita akan berikan catatan penting bahwa mereka yang nanti melawan pemerintah yang sah, aparat negara yang sah, maka ada aturan hukum positif yang berlaku dan KUHP mengatur itu,” katanya di Wamena, Jayawijaya, Jumat (17/6/2016).
Disebutnya, mereka yang menggelar demo pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dikenakan makar dan menjadi catatan kriminal kepolisian jika ada yang dipidana.
Kapolda menjelaskan, apabila seseorang tercatat dikenakan pidana, maka mereka akan ikut dalam catatan kriminal kepolisian. Mereka yang sebagai pelajar dan akan melanjutkan studinya, catatan itu akan ikut. Begitu juga mereka yang mahasiswa lulus ingin kerja catatan itu akan ikut sehingga menyulitkan mereka ke depan.
Ia juga akan meminta para bupati di Papua agar mendata pelajar dan mahasiswa yang didanai atau dibantu oleh keuangan negara.
“Jangan mereka ikut-ikutan akhirnya mereka terjebak dalam situasi itu yang pada akhirnya akan merugikan mereka sendiri,” katanya.
Tahanan politik (tapol) Papua Philep Karma mengatakan dengan adanya maklumat itu justru menjadikan banyak tapol di Papua. Sebab banyak aktivis dan OAP, terutama KNPB yang melakukan demo untuk menuntut kebenaran sejarah Papua sehingga harus dilakukan penentuan nasib sendiri.
“Makin banyak tahanan politik, isu Papua makin mendunia. Berarti Jokowi tambah pusing, to?” katanya.
Beberapa hari terakhir demo marak dilakukan di Papua, baik Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura, 3 Mei 2016 dan 15 Juni 2016, Barisan Merah Putih (BMP) di Wamena bulan lalu dan Kamis (16/6/2016), maupun Barisan Rakyat (BARA) Pembela NKRI awal Juni lalu.
Demo beberapa pihak, seakan-akan menjadi tandingan untuk melawan kelompok lainnya. BMP dan Bara NKRI, misalnya, meminta agar KNPB dibubarkan karena berseberangan dengan NKRI.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menilai demo merupakan hak konstitusi setiap orang dan tidak ada masalah sepanjang itu sesuai aturan dan tidak anarkhistis.
“Tetapi kalau demo melanggar peraturan yang sudah ada, tentu sudah melanggar konsekuensi hukumnya juga dan harus diperhatikan,” katanya kepada wartawan usai tatap muka dengan sejumlah tokoh Jayawijaya, di Wamena, Jumat (17/6/2016).
Ia pun meminta kepada Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw agar selanjutnya melihat izin demo yang diberikan, sebab semua peraturan ada konsekuensinya.
“Gubernur juga harus membuat peraturan mengenai setiap aksi demonstrasi, contoh seperti di Jakarta demo boleh dilakukan dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Kedua, demo dilakukan di tempat-tempat tertentu dan demo tidak boleh melanggar hak orang lain, itu juga berlaku secara umum karena melanggar hak asasi orang lain,” katanya. (*)

Sumber : www.tabloidjubi.com
Read More ...

Jumat, 10 Juni 2016

Australia Tuding Indonesia Langgar HAM di Papua, Ini Jawaban JK

11.25.00
Wakil Presiden Jusuf Kalla
Jakarta - Pemerintah Australia menyebut Pemerintah Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM di tanah Papua. Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta Australia membuktikan tudingannya.
"Sejak dulu Australia selalu menganggap begitu. Yang paling penting mana datanya?," ucapnya di Kantor Wapres, Jumat (10/6).
Menurutnya, apa yang disebut Negeri Kangguru sebagai pelanggaran HAM sebenarnya adalah penegakan hukum. JK mencontohkan, jika ada warga yang menyerang kantor polisi atau menyulut konflik, maka aparat wajib melakukan tindakan dan memproses hukum pihak-pihak yang bersangkutan.
"Otomatis itu bukan pelanggaran HAM, itulah penegakan hukum," katanya.
Wapres sendiri mengaku tak mau ambil pusing dengan tudingan negara lain. Sebab, ia meyakini pemerintah sudah melakukan tindakan yang benar.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan saat ini sedang berada di Australia. Luhut akan mengklarifikasi pada pemerintah Australia mengenai dugaan pelanggaran HAM di Papua. 
Read More ...

Kamis, 09 Juni 2016

Yonas Nussy : KNPB Ingin Keluar dari NKRI, Pemuda Papua, Jangan Ditoleransi!

12.43.00
Demo KNPB (Foto: Edy Siswanto/Okezone)
Jayapura - Tokoh Pemuda Papua sekaligus Sekretaris Barisan Merah Putih (BMP) Provinsi Papua, Yonas Nussy, meminta kepada aparat terkait untuk menindak tegas kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dianggap telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Saya sudah sampaikan kepada Kesbangpol Provinsi Papua dan Polda Papua, untuk memanggil mereka (pimpinan KNPB), beri mereka pemahaman, agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melawan ideologi Pancasila dan UUD 1945, kalau mereka masih melakukan, maka tangkap dan dipenjarakan saja," tegasnya di Jayapura, Kamis (9/6/2016).
Menurutnya, jika hal ini tidak dilakukan dan terkesan dibiarkan, maka akan muncul gerakan spontanitas warga yang cinta Tanah Air dan bangsa Indonesia yang akan memberontak. Mereka akan melalukan perlawanan dan penentangan organisasi ini.
"Seperti yang demo lalu, warga menolak keberadaan KNPB, warga sudah gerah dengan tingkah mereka, karena keberadaan mereka jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI," katanya.
Dirinya mengimbau kepada masyarakat Papua untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu yang dilontarkan kelompok tersebut.
"Tidak usah lagi dengar isu mereka masalah Papua akan merdeka, lebih baik sudahi saja, dan Papua masuk ke MSG, itu negara -negara yang tergabung dalam MSG ada hubungan diplomatik dengan Indonesia. Yang mana jika ada hubungan diplomatik, maka salah satu syaratnya mereka mengakui kedaulatan suatu bangsa, termasuk Indonesia, makanya, saya katakan itu tidak mungkin, dan lebih baik sudahi saja, dan masyarakat jangan terprovokasi," katanya.
Terkait rencana aksi demo KNPB pada 15 Juni, dikatakannya, lebih baik niat itu diurungkan. Pasalnya, aksi yang akan dilakukan bertepatan dengan bulan puasa umat Islam.
"Saya harap mereka (KNPB) menghargai umat muslim yang sedang menjalani ibadah puasa, janganlah membuat gerakan- gerakan yang menganggu stabilitas keamanan dan kekhusyukan mereka umat muslim berpuasa," ucapnya.
Rencananya, pada 15 juni, KNPB akan melakukan aksi demostrasi mendorong masuknya Papua ke dalam MSG dan ULMWP (United Liberal Movement of West Papua). Dalam aksinya, KNPB juga menggandeng organisasi-organisasi lain.(kha)
Read More ...