PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Oktober 2016

Diusir dari Asrama, Apa Salah Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa?

12.39.00
Bengkulu - Puluhan mahasiswa asal Provinsi Papua yang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Bengkulu terpaksa meninggalkan asrama mahasiswa karena tidak diizinkan menghuni fasilitas tersebut lebih lama atau diusir oleh pihak kampus.
Para mahasiswa penerima beasiswa Kementerian Ristek dan Dikti melalui program Afirmasi itu terpaksa meninggalkan asrama dan menyewa rumah kontrakan sederhana di depan kampus dan tersebar di beberapa rumah kos. Total mahasiswa asal Papua yang kuliah di Universitas Bengkulu berjumlah 24 orang, delapan di antaranya adalah perempuan.
Venus Belau, mahasiswa Fakultas Pertanian jurusan Agribisnis semester V asal Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua, mengaku sempat menghuni asrama selama satu tahun. Tetapi saat memasuki tahun ajaran 2016, mereka diminta keluar asrama dan tidak boleh tinggal lagi di sana.

Bersama-sama mereka mencoba meminta kepada pimpinan Universitas Bengkulu supaya diizinkan tetap tinggal di asrama. Tetapi, pihak kampus tetap berkeras dengan keputusannya.
"Sudah lebih dari lima kali kami menghadap pihak rektorat tetapi jawaban mereka selalu sama, kami tidak boleh lagi tinggal di sana," kata Venus di Bengkulu, Rabu (26/10/2016).
Josh Nawipa, mahasiswa asal Wamena mengaku kecewa dengan kebijakan tidak boleh tinggal di asrama. Sebab, saat mereka diberikan pembekalan oleh pihak pemberi beasiswa, mereka dijanjikan fasilitas tempat tinggal, sama dengan rekan mereka yang menempuh pendidikan melalui program Afirmasi di provinsi lain.
"Kami tidak dikasih bekal untuk menyewa tempat tinggal, terpaksa uang jatah makan yang kami bagi untuk sewa kamar," kata Josh.
Kepala Pusat Pengelola Informasi dan dan Data (PPID) Universitas Negeri Bengkulu, Alimansyah, dikonfirmasi terpisah mengatakan hanya melaksanakan ketentuan yang berlaku di kampus tersebut.
"Memang tidak ada aturan para mahasiswa itu tinggal di asrama terus. Kebijakan ini berlaku sama di semua mess," kata Alimansyah.

Sumber : www.liputan6.com
Read More ...

Selasa, 23 Agustus 2016

AMPTPI Dan BEM Uncen Gelar Konser ‘Nyayian Merdu Negeri Papua’

05.06.00
Poster Konser Nyanyian Merdu Negeri Papua,
yang tidak dihadiri oleh Manico Group dan Kaonak Group – IST
Jayapura, Jubi – Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI)  dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih (BEM Uncen) menyelenggarakan konser musik etnik Papua bertajuk “Nyanyian Merdu Negeri Papua”, di Auditorium Universitas Cenderawasih, Senin malam (22/8/2016).
Ketua DPW AMPTPI, Natan Naftali Tebay, mengatakan konser ini dihadirI oleh wakil masyarakat dan pemuda dari tujuh suku wilayah adat, Mamta, Lapago, Meepago, Ha-Anim, Domberai, Bomberai, dan Saireri. Juga hadir beberapa Antropolog, DPRP dan Akademisi.
Kelompok musik yang tampak hadir memeriahkan konser tersebut adalah  Gaidap Star Voice, Group Musik Eyuser yang meneruskan semangat dan lagui-lagu Mambesak, dan Musik Spesialis DJ Papua.
Menurut Nathan, kegiatan ini digelar untuk membangkitkan generasi muda yang tidur, dan mengembalikan semangat orang muda Papua yang menganggap musik khas Papua tidak perlu lagi.
“Konser ini digelar untuk kembalikan spirit Mambesak, dengan moto ‘Menyanyi Dulu, Kini dan Nanti,” ujarnya.
Sementara itu Ketua BEM Uncen, Dony Gobay, mengatakan musik etnik Papua dipilih karena kemerduannya dapat  membangkitakan diri setiap orang sekaligus menyapa hati dan timbulkan cinta terhadap musik Papua itu sendiri.
Kata dia, tim yang dihadirkan ini memiliki suara yang khas Papua dan sangat asyik dihayati oleh orang Papua pada umumnya.
Terpisah, vokalis Manico Group dan Kaonak Group, Nimbrot Wakerkwa, melalui akun facebook resminya menyatakan bahwa pihak  Manico Group dan Kaonak Group belum memiliki kesepakatan dengan AMPTPI dan BEM Uncen untuk melakukan konser pada tanggal 22 Agustus 2016 tersebut.
Dirinya bahkan mengajak kepada seluruh penggemar dan simpatisan untuk tidak ikut- ikutan dalam acara tersebut. “Sudah dua kali saudara-saudari  ditipu oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan kedua Group ini. Kami tidak akan turun konser dan merasa dirugikan,” ujarnya.
Merespon hal tersebut, Naftali mengatakan bahwa konser ini awalnya memang akan diisi oleh Manico Group, Kaonak Group, dan E-Yuser. “Tetapi Manico Group dan Kaonak Group tidak dapat tampil karena terjadi miss-komunikasi dengan Panitia,” katanya.
Pihaknya sekaligus memohon maaf kepada personel dan penggemar Manico Group atas persoalan komunikasi itu.(*)
Read More ...

Rabu, 06 Juli 2016

Kekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 2)

23.54.00
Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat . (Dok SP)
Oleh: I Ngurah Suryawan
Pada bagian sebelumnya saya telah mencoba untuk meletakkan fondasi dimana sebenarnya letak dari kajian budaya Papua hingga hari ini serta problematikanya. Saya juga mencoba menegaskan bahwa sangat penting untuk menentukan perspektif seperti apa dan landasan kritisisme apa yang dibangun untuk mengembangkan kajian-kajian budaya Papua yang lebih emansipatoris dan sekaligus juga kritis.
Salah satu hal penting yang perlu dimaknai dalam perspektif kajian budaya Papua adalah isu tentang transformasi sosial budaya dan refleksi tentang identitas orang Papua yang terus-menerus bergerak, bernegasi dengan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Isu transformasi dan identitas ini melekat dalam totalitas dinamika keterhubungan orang-orang Papua dengan dunia global.
Pada bagian ini saya mencoba untuk menjelajahi kembali kembali salah satu isu penting dalam kebudayaan Papua hingga hari ini yaitu kolonisasi kebudayaan yang terus-menerus diperbaharui. Kolonisasi kebudayaan yang dimaksudkan adalah jejaring kekuasaan berupa cara berpikir dan praktik-praktik pembangunan yang terus saja menyingkirkan secara halus, namun meyakinkan orang-orang Papua. Seperti dikatakan Tania Li (2012) bahwa the will to improve (kehendak untuk memperbaiki) yang dilakukan dengan berbagai program-program yang disebut dengan “pembangunan” dengan penuh niat (memperbaiki) telah turut membentuk wajah lingkungan, tata penghidupan, bahkan identitas masyarakat, dan sekaligus juga bertanggungjawab memunculkan masalah-masalah baru.
Kolonisasi Baru?
Saya menjadi ingat apa yang dituliskan Frantz Fanon (2000; Aditjondro, 2006):
“Praktik kolonialisme (baru) biasanya didukung oleh teori-teori kebudayaan yang bersifat rasialis. Pada tahap awal penjajah menganggap bangsa jajahannya tidak memiliki kebudayaan, kemudian mengakui bahwa bangsa jajahannya memiliki kebudayaan, namun tetap tidak dihargai karena dianggap statis dan tidak berkembang. Kebudayaan bangsa jajahan kemudian ditempatkan dalam strata “rendah”, sementara kebudayaan penjajah ditempatkan dalam strata “tinggi” dalam suatu hierarki kebudayaan yang sengaja diciptakan untuk melegitimasi dominasi penjajah atas bangsa jajahannya.”
Saya menduga, dalam kesunyian dan ketumpulan ilmu-ilmu humaniora di Tanah Papua dalam memediasi transformasi sosial budaya, telah terjadi reproduksi kolonisasi baru menggunakan ilmu pengetahuan yang mungkin disadari atau malah mungkin tidak disadari oleh para pelaku di dalamnya. Oleh sebab itulah diperlukan terobosan-terobosan perspektif (cara pandang/berpikir) dan kajian-kajian reflektif dan kritis dalam ilmu-ilmu humaniora yang bukan mendehumanisasi, namun mengembalikan hakekat orang-orang Papua yang bersemangat untuk berubah dan terlibat aktif dalam perubahan sosial budaya yang terjadi di tanah kelahirannya.
Akumulasi pengetahuan tentang Papua hingga hari ini melimpah ruah jumlahnya. Hasil-hasil penelitian dan reproduksi pengetahuan yang terlahir dengan menggunakan Papua sebagai “objek” sudah tak terhitung lagi. Tumpukan laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan pemetaan kondisi sosial budaya menjadi harta yang tak ternilai harganya dalam memahami dan menafsirkan Papua. Namun persoalannya adalah bagaimana tumpukan akumulasi pengetahuan tersebut berguna bagi rakyat Papua “mengerti dirinya sendiri” dan terlibat sebagai subyek dalam perubahan sosial yang terjadi di tanahnya sendiri?
Persoalan relasi ilmu pengetahuan dan masyarakat memang menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Ujung dari perdebatan itu adalah terletak dari paradigma ilmu pengetahuan tersebut melihat masyarakat sebagai “sumber pengetahuan”. Menempatkan manusia sebagai subyek dalam proses transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan.
Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.
Menempatkan manusia sebagai subyek dalam proses transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan. Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora —dalam hal ini antropologi—menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.
Sudah puluhan tahun program pembangunan hadir di tengah masyarakat Papua. Perubahan perlahan mulai dirasakan menyangkut lingkungan fisik berupa bangunan-bangunan fasilitas publik, seperti jalan, sekolah, Pustu (Puskesmas Pembantu) di kampung-kampung. Pembangunan fisik yang mencolok terlihat adalah gedung-gedung pusat pemerintahan di tingkat kabupaten maupun distrik yang mulai menerabas hutan dan tanah-tanah ulayat milik masyarakat. Namun, semua itu terjadi karena adanya bantuan triliunan rupiah jumlahnya, baik itu dari pemerintah pusat Indonesia di Jakarta, melalui Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua dan Papua Barat serta program-program bantuan dari lembaga luar negeri.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya berbagai macam bantuan tersebut membuat masyarakat Papua berinisiatif untuk merubah diri dan kehidupannya ke depan? Di sinilah kemudian terletak persoalannya.
Sudah menjadi kelumrahan jika dalam memandang, “mambaca”, mencitrakan, dan menganalisis Papua dengan masyarakat dengan “terkebelakang”, “kurang beradab” dan sejumlah kesan minor lainnya karena sederetan kisah tentang gizi buruk, “perang suku”, dan kekurangmajuan mereka dibandingkan dengan daerah Indonesia di bagian barat. Pembacaan ini dari perspektif yang mempengaruhinya sudah mengalami permasalahan yang sangat akut dan serius.
Permasalahannya adalah menempatkan bahwa yang memandang Papua merasa dirinya lebih “berkuasa” dan beradab dibandingkan masyarakat Papua secara umum. Ini adalah cikal bakal dari pandangan kolonialistik dan penaklukan (baca: penjajahan). Pembacaan ini lebih mengundang permasalahan daripada menemukan soluasi dalam menghadapi kompleksitas persoalan Papua.
Realitas berbagai persoalan yang terdapat di Papua harus dilihat secara holistik, komphresentif dan berperspektifkan empati yang emansipatoris. Ide dari pendekatan ini adalah melihat kompleksitas persoalan Papua dengan menggali latar belakang permasalahan, tidak menyalahkan tapi membangun solusi bersama. Setelah itu menempatkan masyarakat Papua sebagai subyek dan menggerakkan mereka untuk berperan secara aktif dan merubah dirinya sendiri. Caranya adalah menggugah kesadaran mereka tentang kondisi Papua dan tanah kelahirannya kini dan menggantungkan harapan-harapan pembaruan kepadanya.
Dengan menggunakan perspektif emansipatoris dan transformatif, masyarakat Papua akan merasa dirinya menjadi bagian dari perubahan besar yang terjadi di Papua, bukan malah sebagai penonton seperti kecenderungan yang terjadi selama ini. Argumentasi ekonomi politik sebagai basis dari pandangan modernisme (kemajuan) mendasarkan kemajuan diukur dari pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
Dasar pemikiran inilah yang dominan selama ini mempengaruhi cara pandang dan pembacaan terhadap Papua, sehingga fenomena pemekaran digalakkan sedemikian rupa dengan alasan untuk memajukan Papua dari kemiskinan, ketertinggalan, dan sebagai aspirasi politik budaya masyarakat Papua. Kemiskinan dan ketertinggalan adalah basis dari argumentasi ekonomi, sedangkan aspirasi politik etnik/suku di Papua adalah basis untuk menjaga stabilitas politik.
Namun, ada satu hal yang dilupakan, padahal memiliki peran vital menyangkut identitas dan martabat sebuah masyarakat. Memang bukan hal yang kongkrit seperti ekonomi, tetapi ini menyangkut soal kebudayaan. Fenomena pemekaran daerah yang saya amati terutama di wilayah Provinsi Papua Barat belum secara maksimal memperhatikan perkembangan sosial budaya yang kompleks di Tanah Papua. Yang terjadi justru dominannya argumentasi ekonomi politik tanpa memikirkan perspektif kebudayaan dalam rencana pemekaran. Alih-alih yang terjadi justru semakin menguatkan sentiment etnik dalam rencana pemekaran daerah di Papua. Oleh karena itulah masyarakat Papua akan semakin hanya memikirkan diri dan kebudayaannya saja tanpa mempunyai kesempatan untuk interaksi dan akulturasi dengan dunia luar. Hal inilah yang menyebabkan orang Papua kehilangan kesempatan untuk memperbarui identitas-identitasnya.
Pemekaran daerah dan interkoneksi Papua dengan dunia luar sebenarnya adalah peluang yang besar bagi orang Papua untuk membayangkan pembaruan-pembaruan identitasnya. Hal ini bisa dilihat dari akulturasi yang terjadi di dalam masyarakat Papua karena pengaruh pendatang dan kebudayaan-kebudayaannya. Disamping itu hadirnya pemerintahan, pembangunan, dan investasi juga berdampak penting bagi orientasi nilai dan kebudayaan dalam masyarakat Papua. Pembaruan-pembaruan identitas itu bisa terjadi melalui reproduksi kebudayaan dalam relasi-relasi dalam keseharian masyarakatnya. Semua proses kebudayaan berlangsung dalam fragmen-fragmen kehidupan masyarakat yang mereproduksi identitas dan norma-norma yang hidup di tengah masyarakat.
Kondisi keterpecahan (fragmentasi) yang terjadi di tengah masyarakat Papua berimplikasi serius terhadap rapuhnya solidaritas dan integrasi sosial dalam masyarakat. Hasilnya adalah masyarakat yang sangat rapuh karena solidaritas sosial hanyalah di permukaan tanpa menyentuh akar relasi-relasi sosial budaya dalam keseharian masyarakatnya. Praktik-praktik introduksi pembangunan dan berbagai terjangan investasi menghasilkan fragmentasi yang serius di tengah masyarakat. Integrasi dan solidaritas sosial yang terkandung dalam nilai-dan norma berserta pengetahuan masyarakat mendapat gugatan di internal masyarakat sendiri.
Masuknya nilai-nilai baru merubah reproduksi pengetahuan dan kebudayaan yang berlangsung di tengah masyarakat. Integrasi sosial budaya dan masyarakat yang terorganisir yang tercipta dari proses reproduksi kebudayaan sebelumnya kehilangan konteksnya. Nilai-nilai pembangunan, modernitas, dan kapitalisme dalam wajah-wajah investasi global yang menerjang Papua menciptakan budaya masyarakat yang kehilangan kemandirian dan martabatnya.
Membaca Papua melalui pemekaran daerah secara emanispatoris melibatkan rakyat Papua dalam perubahan sosial setidaknya memperhatikan dua hal penting. Hal pertama sebagai basis adalah memberikan perhatian untuk pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan). Hal yang kedua adalah melayani (baca: memfasilitasi) ekspresi-ekspresi budaya yang begitu heterogen di Tanah Papua.
Kondisi yang terjadi hingga kini adalah pemekaran daerah hanya melayani kebutuhan para elit bukannya martabat kebudayaan masyarakatnya. Kehidupan kultural hanya dipolitisasi untuk kepentingan para elit agar pemekaran terjadi dan dengan demikian uang dan kekuasaan pun ada di tangan. Dengan demikian, orang Papua merasa bahwa kebutuhan kulturalnya tra (tidak) terjamin dan diperalat hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Perspektif yang emansipatif dalam melihat Papua paling tidak memperhatikan kedua hal di atas sembari memperbaiki pengetahuan dan cara pandang kita yang menusiawi dan empati dalam melihat kompleksitas persoalan yang terjadi di bumi Cenderawasih ini.
*) Penulis adalah Staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

Referensi

[1] Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.

 Sumber : www.suarapapua.com
Read More ...

Rabu, 22 Juni 2016

Kekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 1)

12.48.00
Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat. (Dok SP)
Oleh: I Ngurah Suryawan
Kekalahan Kajian Budaya Papua?Esai sederhana ini mendalami tema-tema kebudayaan yang menjadi isu strategis dalam pengelolaan kebudayaan Papua. Bagian awal dari esai ini akan menguraikan tentang peta sosiokultural studi-studi kebudayaan Papua dan produksi kuasanya. Di dalamnya berlangsung reproduksi pengetahuan tentang Papua yang “menyingkirkan” perspektif emansipatif dan transformatif terhadap orang-orang Papua itu sendiri. Yang justru terjadi adalah “kekalahan” dari orang-orang Papua sendiri sekaligus matinya denyut nadi ilmu humaniora (baca: kemanusiaan) di Tanah Papua itu sendiri. Bagian berikutnya mencoba untuk menganalisis “matinya” ruh ilmu-ilmu humaniora yang terlibat dalam transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Yang justru terjadi adalah ilmu yang mengkolonisasi (baca: menjajah) orang-orang Papua itu sendiri dengan menstigmatisasi komunitas-komunitas yang ada di Papua. Kesalahan penamaan inilah yang berimplikasi serius dalam produksi kebudayaan, kebijakan, dan kekuasaan yang berlangsung berlarut-larut hingga kini di tanah Papua.
Melalui perspektif yang kritis, Laksono (2010) menyatakan, kekalahan ilmu antropologi justru terjadi di daerah yang sumber daya alamnya sangat kaya. Antropologi hanya menjadi alat kekuasaan modal, negara, dan menggunakan nalar-nalar berpikir kapitalisme global yang pragmatis dan positivistik dalam mempraktikkan ilmu-ilmu humaniora. Sangat jelas ini bertentangan dengan nilai-nilai dan perspektif pengembangan ilmu humaniora yang berusaha meletakkan fondasinya kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran menciptakan manusia yang humanis, empati, dan apresiatif terhadap nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejujurnya, pendidikan antropologi sangat penting artinya dalam menciptakan transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Kekayaan budaya dan pengetahuan-pengetahuan lokal adalah modal dalam membimbing rakyat Papua untuk secara kreatif memperbaharui identitasnya. Realitas juga membuktikan sangat banyak generasi muda Papua yang menaruh minat yang tinggi terhadap ilmu-ilmu humaniora, dalam hal ini khususnya antropologi. Ilmu-ilmu humaniora khususnya antropologi yang berkembang di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terbukti memiliki peminat yang tinggi dan lapangan kerja yang menjanjikan bagi lulusannya. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) telah banyak melahirkan lulusan antropologi yang kini terserap di berbagai lapangan kerja dari mulai aparat birokrasi, lembaga swadaya masyarakat hingga jajaran bagian community development (pemberdayaan masyarakat) perusahaan investasi multinasional. Sementara belum genap lima tahun kelahirannya, Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat sudah menerima hampir 450-an mahasiswa hingga 2015, meski kemudian bisa dipastikan akan menyusut hingga kelulusannya. Meski kuantitas bukan menjadi ukuran kemajuan, potensi yang dimiliki oleh peminat ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu antropologi pantas untuk dikedepankan.
Jumlah mahasiswa yang mendaftar di Jurusan Antropologi di Tanah Papua ini pun menunjukkan antusiasme generasi muda Papua mempelajari tentang kebudayaannya. Seorang lulusan ilmu Antropologi UNCEN berkisah kepada saya bahwa motivasinya yang paling besar dalam mempelajari ilmu antropologi jauh-jauh dari Nabire ke Jayapura adalah ingin mempelajari ilmu tentang kebudayaan yang akan dipergunakan untuk “mencatat” kebudayaan di kampungnya masing-masing. Di Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa), puluhan mahasiswa dari salah satu fakultas eksata pindah ke Jurusan Antropologi dengan berbagai alasan. Salah satu mahasiswa yang mengikuti kelas kuliah organisasi sosial yang saya ampu menuturkan, “Bapa, sa pu tempat di sini sudah. Di jurusan sebelumnya sa pu otak ini seperti mati,” ujarnya.
Dimana Posisi Kajian Budaya?
Kajian-kajian kebudayaan dalam lingkup ilmu-ilmu humaniora memiliki perkembangan yang menjanjikan dan dinamis di Papua. Konteks sosial budaya dan perubahan sosial menjadi laboratorium yang penting dalam pengembangan ilmu antropologi khususnya. Namun, situasi ironis yang terjadi adalah terkesan mandegnya perkembangan ilmu-ilmu humaniora karena penetrasi birokratisasi pendidikan dan kuasa investasi global. Jejaring interkoneksi kuasa kapital global inilah yang mengeksploitasi sumber daya alam yang dahsyat dan mengalahkan masyarakat dan budaya tempatan (Laksono, 2010:10). Lalu, dimana peranan ilmu-ilmu humaniora dalam memediasi transformasi sosial budaya di Tanah Papua? Dan, mengapa rakyat Papua tidak tercerdaskan melalui ilmu-ilmu humaniora?
Dalam ranah praksis, kerja ilmu-ilmu humaniora, khususnya antropologi, mesti dikerjakan secara berkelanjutan dengan mengapresiasi pengalaman-pengalaman dan narasi reflektif identitas yang berbeda-beda. Penting juga diajukan kerja partisipatoris bersama-sama masyarakat tempatan untuk melakukan studi etnografi bersama yang memberikan ruang dan sekaligus mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat tempatan untuk bersiasat di tengah terjangan kekuatan kapital global. Oleh karena itulah menjadi penting untuk menghargai “ruang antar budaya” untuk menumbuhkan kesadaran keberbedaan, melihat identitas diri kita pada masyarakat tempatan lain yang sebelumnya “asing” atau kita anggap “terkebelakang” dibanding identitas budaya kita.
Dalam sebuah esainya, Giay (2000:93-102) mengungkapkan bahwa perlu refleksi di kalangan lembaga pendidikan di Papua untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang emansipatif dan transformatif menuju Papua Baru. Lembaga pendidikan di Papua bukan hanya menempatkan dirinya semata-mata sebagai lembaga pewaris nilai-nilai sosial budaya generasi masa lampau. Yang terjadi justru lembaga pendidikan ini tidak akomodatif kepada perubahan jaman. Diperlukan terobosan dari lembaga pendidikan di Papua untuk menangkap kegelisahan dan pergolakan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Kegelisahan dan pergolakan tersebut terekspresikan melalui berbagai fenomena sosial budaya yang terpentaskan di publik maupun tersimpan rapat dibalik kebungkaman rakyat untuk bersuara.
Ilmu-ilmu humaniora adalah pengetahuan yang bersumber dan terus hidup melalui pengalaman manusia dalam berkomunitas dan mengkonstruksi (membentuk) kebudayaannya. Konstruksi manusia dalam relasinya berkomunitas itulah yang membentuk ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, arkeologi, sejarah, antropologi. Semuanya masuk ke dalam rumpun-rumpun ilmu budaya yang membedakan dirinya dengan ilmu sosial dan politik (sosiologi, komunikasi, kriminologi, administrasi, dll). Karena fokusnya pada pembentukan kebudayaan manusia, ilmu-ilmu humaniora menyasar secara langsung refleksi identitas-identitas manusia dalam rentang sejarah yang terus berubah sesuai dengan konteks, ruang, waktu, dan kepentingan manusia tersebut.
Ilmu humaniora tentu berbeda dengan ilmu pasti dan sangat jauh dari pemikiran tentang pragmatisme pendidikan untuk melayani dunia kerja, pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital (investasi) yang menggerogoti negeri ini dan juga manusia-manusia di dalamnya. Subyek yang dipelajari dalam ilmu-ilmu humaniora terus bergerak dan dinamis, sementara yang mempelajarinya juga mempunyai pengalaman pribadi yang terus berubah sesuai dengan konteks historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.
Pendidikan pada prinsipnya berkaitan dengan revolusi kesadaran historis (sekalgus kritis) manusia akan hakekat hidupnya. Eksistensi manusia terbentang antara masa lampau dan masa depan. Dengan demikian, pendidikan itu arahnya tidak hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga pada usaha pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya. Ada tiga poin penting yang patut direnungkan. Pertama, pengetahuan manusia itu bersifat historis, maka sifat dogmatis bertentangan dengan sikap historis manusia itu. Kedua, perlu tekanan dalam pendidikan pada “proses” bukan hanya dalam “produk”. Ketiga, perlunya menghidupkan kesadaran historis dengan membiasakan peserta didik melihat “akar-akar” sejarah dan masalah-masalah masa kini yang kita hadapi. Pendidikan seperti inilah yang berwawasan kemanusiaan, jadi juga berwawasan antropologi.
Dengan demikian, ketajaman antropologi dalam membahasakan dinamika sosial budaya yang melaju kencang di Tanah Papua menjadi sangat-sangat terbatas. Antropologi menjadi kekurangan bahasa dalam menyuarakan “kaum tak bersuara” yang tersimpan dalam kebungkaman rakyat Papua dalam ingatan memoria passionis-nya. Yang justru terjadi adalah “kolonisasi antropologi” dengan melakukan kesalahan-kesalahan penamaan hanya dengan penyederhanaan kepada “antropologi laci” dan menguncinya pada tujuh unsur kebudayaan. Ini tentu saja salah kaprah. Kebudayaan Papua kini telah terinterkoneksi dengan dunia luar dan memikirkannya kembali ke titik asali atau meromantisisasinya menjadi praktik penjajahan kebudayaan yang terselubung.
Penulis adalah staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Referensi
[1] Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.
Read More ...

Sabtu, 18 Juni 2016

Berantas HIV/AIDS Di Papua, Harus Ada Pendekatan Khusus

13.30.00
Pertemuan Tokoh Masyarakat Merauke bersama
Menkopolhukam RI, Luhut Panjaitan. Jubi/Frans L Kobun
Merauke – Permasalahan tentang penyakit HIV/AIDS di Papua, masih menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Jika semua pihak bergandengan tangan secara bersama-sama memerangi penyakit dimaksud, maka secara perlahan-lahan akan hilang.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI, Sofyan Jalil ketika memberikan arahan saat pertemuan bersama tokoh masyarakat Kabupaten Merauke. “Saya membuat perbandingan dengan Negara Thailand. Dimana, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita HIV/AIDS mengalami penurunan drastis,” ujarnya.
Khusus penanganan HIV/AIDS di Papua, lanjut Sofyan, perlu pendekatan khusus dibangun. Misalnya, pendekatan kultural, agama dan beberapa cara lain. “Itu harus dilakukan, karena berdasarkan laporan yang diterima, jumlah penderita mengalami peningkatan,” katanya.
Menkopolhukam RI, Luhut Panjaitan menambahkan, masalah HIV/AIDS menjadi suatu ancaman. Olehnya, masyarakat Papua harus terus mewaspadai diri dengan baik. Karena angka tertinggi didapatkan adalah dari Papua baru daerah lain di Indonesia.
Ditambahkan, sampai sekarang, belum diketahui ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Olehnya, semua orang perlu membentengi diri dan tak terjerumus dengan seks bebas. Karena resikonya sangat besar. (*)

Sumber : http://tabloidjubi.com/
Read More ...

Selasa, 14 Juni 2016

Orangtua dan Guru Penting untuk Pendidikan Anak

06.30.00
Asisten 1 Bidang Pemerintahan Kota Jayapura, Anok Wambukouwo saat pelepasan dan penyambutan TK Pemberdayaan dan Kesejahteraan (PKK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Wainambey, Senin (13/6/2016) – Jubi/Hengky Yeimo
Jayapura – Orangtua dan guru mempunyai peran penting dalam pendidikan anak-anak, terutama untuk menyiapkan mereka menjadi generasi depan suatu bangsa.
Hal itu dikatakan Asisten 1 Bidang Pemerintahan Kota Jayapura, Anok Wambukouwo saat pelepasan dan penyambutan TK Pemberdayaan dan Kesejahteraan (PKK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Wainambey angkatan VIII tahun ajaran 2015 -2016 di Kota Jayapura, Senin (13/6/2016).
“Saya harap agar orangtua dapat bangun komunikasi jika anak-anaknya mengalami kendala biaya, karena pemerintah siap membantu anak-anak,” katanya.
Ia pun memberi apresiasi kepada guru TK PKK yang telah dengan sabar mendidik anak-anak. Bahwa untuk mempersiapkan generasi Papua tanggung jawab semua pihak.
Tujuh siswa/i berprestasi di sekolah TK PKK sehingga harus didukung agar mereka tetap semangat dalam mempertahankan dan meraih prestasi.
Ketua panitia pelepasan dan penerimaan TK PKK Wainambey Yosepita Monim mengatakan sebanyak 15 anak yang sudah tamat. Oleh karena itu, ia berterima kasih kepada orangtua yang mempercayakan anaknya untuk dididik di lembaga tersebut. (*)


Read More ...

Kasus Yanmas, Polisi sudah Tetapkan Tiga Tersangka

05.30.00
Assisten komisioner ORI Papua – Jubi/ist
Jayapura -Dari hasil klarifikasi yang diungkapkan oleh Kepolisian Polda Papua  kepada Ombudsman, Polisi akan menetapkan tiga tersangka terkait dengan kasus Yanmas.
Assisten komisioner ORI Papua, Ismail Saleh Marzuki mengemukakan hasil pendampingan terhadap pengaduan dari Mahasiswa dan Alumni Kampus Yanmas dari laporan pengaduannya ke pihak Polda Papua.
“Polisi sudah memeriksa 18 saksi dan saksi ahli perguruan tinggi dan dua kali gelar perkara serta merekomendasikan untuk kependidikan serta menetapkan tiga tersangka atas pendiri merangkap ketua umum yayasan/Akper Yanmas dan merangkap direktur yayasan Akper Yanmas, ketua BAAK Akper Yanmas, dan bendahara yayasan/Akper Yanmas,” ujar Ismail kepada wartawan dalam release pers, Senin (13/6/2016)
Ismail juga mengemukakan prasangkaan primair pasal 93 jo pasal 28 ayat (6), jo pasal 42 ayat (4), jo pasal 60 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Subsider pasal 71 jo pasal 62 ayat (1), UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, lebih subsider pasal 70 ayat (1) dan ayat 2 UURI No 16 Tahun 2001 tentang yayasan.
“Pasal yang dipersangkakan yaitu dugaan tindak pidana menyelenggarakan pendidikan tinggi tanpa izin dari Menteri, memberikan ijazah kepada lulusan secara tanpa hak, memberikan vokalis dengan sebutan ahli madya keperawatan dan menyelenggarakan pendidikan tinggi bertentangan dengan prinsip nirlaba,” paparnya.
Assiten Komisioner ORI Perwakilan Papua, Melanie Kiriho menambahkan hendaknya Pemerintah harus tegas menutup yayasan akper Yanmas.
“Saat ini mereka telah memasang baliho, pendaftaran ini harusnya diselesaikan dulu masalahnya dan jangan sampai ada masyarakat Papua yang tertipu lagi,” tambahnya. (*)


Read More ...

Sabtu, 11 Juni 2016

Museum Papua di Jerman Siap Diresmikan

13.15.00
Ilustrasi.google
JAYAPURA — Gubernur Papua, Lukas Enembe memberikan apresiasi atas rencana peresmian Museum Papua di Frankfurt, Jerman pada 11 Oktober 2015.
“Saya belum pastikan akan hadir atau tidak, tetapi peresmian Museum Papua ini sungguh merupakan hal yang baik,” kata Enembe di Jayapura, Senin (21/9/2015) seperti dilansir dari Kompas, Jumat (25/9/2015).
Sementara itu, antropolog dari Jerman, Werner F Weiglein mengatakan, pihaknya sengaja mengunjungi Gubernur Papua selain untuk menyampaikan undangan, juga untuk menginformasikan bahwa peresmian museum ini akan dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan.
“Di Jerman nanti ada Frankfurt Book Fair (FBF) yaitu pameran buku terbesar dan tertua di dunia, sehingga Mendikbud selain menghadiri pameran buku, juga berkesempatan meresmikan Museum Papua,” kata Werner.
Ia menjelaskan, museum Papua ini berisi koleksi benda-benda tradisional adat dan budaya Papua yang dikumpulkan oleh pihaknya selama ini.
“Koleksi benda-benda tradisional Papua yang ada di museum Frankfurt, Jerman ini mencapai 800 jenis,” ujarnya.
Werner juga mengatakan, khusus untuk benda-benda dari Asmat, sudah ditulis dalam buku katalog benda dalam bahasa Jerman oleh penerbit lokal negara ini yang berisi nama benda, penjelasan singkat, ukuran dan kegunaan benda, serta informasi penting lainnya terkait benda tersebut.
“Benda-benda ini telah dipetakan berdasarkan asal benda dan akan dipajang dalam museum yang sedang disiapkan,” kata Werner. (Mikael Kudiai)
Read More ...

Jumat, 10 Juni 2016

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Papua Gelar Pra Meeting Pesta Budaya Papua di Biak

11.18.00
Pra Meeting Pesta Budaya Papua di Biak. (Harun Rumbarar - SP)
Jayapura — Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi  Papua gelar pra meeting dalam rangka mempersiapkan dri untuk Pesta Budaya Papua XIV, Festival Seni Kreasi Papua XVII dan Lomba Seni Anak dan Remaja XIII di Biak, Papua.
Yulianus Kuayo, kepada bidang Kebudayaan dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Papua mengatakan, pra meeting ini dilakukan dalam rangka menyatukan pendapat/pemikiran antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua dengan dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota se Provinsi Papua atau pun dengan dinas-dinas terkait lainnya yang menangani kebudayaan di daerah sebagai peserta yang nantinya akan mengikuti kegiatan Pesta Budaya Papua XIV.
“Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pesta budaya Papua, Festival seni kreasi Papua dan lomba seni anak dan remaja Papua tahun 2016 ditentukan melalui pelaksanaan Pra Meeting ini sehingga saya harapkan para  kepala dinas Pendidikan dan kebudayaan tingkat kabupaten/kota dapat berpartisipasi untuk melakukan kesiapan-kesiapan selanjutnya,” kata Kuayo saat membuka pra meeting itu di Biak, Kamis (9/6/2016).
Sementara itu, Septinus Rumasep, sekertaris Dewan Kesenian provinsi Papua, dalam pembahasan pra meeting mengatakan, kegiatan ini juga turut mendukung dan sosialisasi instruksi gubernur Papua No. 3/2014 tentang Gerakan Melestarikan Budaya Papua dan Pangan Lokal.
 “Kami berharap kepada para kepala dinas Pendidikan dan Kebudayaan tingkat kabupaten/kota, kepala bidang kebudayaan tingkat kebupaten/kota, dewan kesenian serta para seniman di seluruh Papua benar-benar menerapkan intruksi ini,” kata Rumasep.
 Karena, menurutnya, kalau intruksi ini benar-benar diterapkan dampaknya terhadap kebudayaan di Papua dan ekonomi di Papua akan sangat berpengaruh dan membawa dampak yang baik.
Peserta pra meering yang hadir di dalam pertemuan di Biak perwakilan dari 13 kabupaten yang ada di Papua. Antara lain, Kabupaten Keerom, Supiori, Mimika, Biak Numfor, Boven Digoel, Merauke, Kepulauan Yapen, Puncak Papua, Paniai, Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura.
Kegiatan ini dibagi dalam dua kategori yaitu kegiatan pra meeting dan Rapat Koordinasi Kebudayaan se Provinsi Papua. Kegiatan pra meeting dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2016 sementara kegiatan Rapat Koordinasi dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2016 di hotel Mapia-Kabupaten Biak. (Harun Rumbarar)
Read More ...

Kamis, 09 Juni 2016

Dana Habis Untuk Pilkada, Mahasiswa Dogiyai Gagal Kuliah

13.45.00
Beberapa calon mahasiswa berdiri dan
demo di depan kediaman Plt. Bupati Dpgiyai – Jubi/Agus Tebai
Dogiyai – Belasan calon mahasiswa-mahasiswi kesehatan,berdemonstrasi  di depan kediaman Plt.Bupati Dogiyai, Herman Auwe, Rabu (8/6/2016. Mereka menuntut kepastian pengiriman mereka dan kejelasan beasiswa bagi mereka yang sudah dinyatakan lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Dogiyai.
Pantauan media ini, sekitar pukul 08.00 hingga 03.00 WIT calon mahasiswa berdiri di jalan Poros Nabire – Ilaga , tepatnya di depan Kediaman Plt. Bupati sambil menunggu kedatangan Plt. Bupati Dogiyai, Herman Auwe.
Beberapa pamflet yang mereka bawa bertuliskan “Bupati dan DPRD segera tanggungjawabkan nama – nama sudah daftar di Dinas Kesehatan Mengangkut Pendidikan”  Ada juga dtuliskan “Kapan lagi Dogiyai Cetak SDM Di bidang Pendidikan”
Herman Auwe selanjutnya menemui pendemo dan meminta seorang perwakilan untuk masuk ke rumahnya.
Koordinator aksi demo,Yance Yobee mengatakan mereka datang untuk menanyakan kepastian keberangkatan dan kejelasan biaya studi pendidikan bagi peserta yang sebelumnya dinyatakan lulus seleksi.
“Kami datang untuk mau menanyakan biaya pendidikan, karena dari Dinkes sudah pernah sampaikan bahwa sudah ada nama – nama yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi karena Dinkes sudah melakukan Mou dengan salah satu perguruan itu,” kata Yobe.
Pada  kesempatan itu, Plt Bupati Herman Auwe mengatakan tahun ini dana terkuras untuk Pilkada Dogiyai.
”Memang awalnya sudah direncanakan tetapi dana semua habis di Pilkada. Dari pemerintah pusat, dilimpahkan dana pilkada serentak 2017 ditanggung pemerintah daerah sehingga tidak ada danauntuk beasiwa,” katanya.
Herman berjanji pada tahun 2017 akan tersedia dana untuk biaya pendidikan khususnya tenaga Kesehatan.
“Anak – anak datang masih ada waktu untuk tahun 2017. Biaya pendidikan untuk kesehatan pasti ada, yang penting anak – anak jaga kesehatan,” tuturnya.
Usai pertemuan, Yance Yobee mengaku dirinya sangat kecewa dengan jawaban Plt.Bupati.
“Saya secara pribadi dan teman –teman sangat kecewa dengan pernyataan yang dikeluarkan Plt.Bupati. Padahal peningkatan SDM di bidang pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi prioritas pemerintah,”  jelasnya.
Yobee meminta penerimaan pada tahun 2017 diutamakan bagi putra –putri sudah lolos seleksi pada tahun ini.
Sementara itu, Sekertaris Dinas Kesehatan Dogiyai, Kristianus Tebai, mengatakan sudah melakukan MoU dengan Universitas Pandjajaran (UNPAD) Bandung.
“Namun hasil Rapimda antara Plt.Bupati, anggota DPRD dan KPU Dogiyai memutuskan harus menunda program beasiswa hingga tahun depan. Penundaan ini menyangkut dana Pilkada, ” kata Kris.
Dalam MoU dengan Rektor UNPAD Bandung, beberapa fakultas yang akan diambil adalah Fakultas Kedokteran, keperawatan kebidanan, radiologi, keperawatan gigi, dan analisis kesehatam.
“Kami tetap akan mengirimkan mahasiswa ke             Poltekes Kemenkes Semarang, namun biaya pendidikan pada awal semester ditanggung sendiri. Kami hanya membantu menfasilitasi calon mahasiswa tersebut hingga  diterima di Kampus Poltekes Kemenkes Semarang tersebut,” tuturnya. (Agus Tebai)
Read More ...

Rabu, 08 Juni 2016

Memikirkan Gerakan Subaltern Papua

13.01.00
Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat. (Dok SP)
Oleh: I Ngurah Suryawan
Di tengah fragmentasi (keterpecahan) yang hadir di tengah masyarakat Papua karena penetrasi birokrasi/pembangunan, pemekaran daerah, dan investasi global, menafsirkan kelompok-kelompok masyarakat di akar rumput menjadi sangat problematik. Sangat problematik karena di tengah masyarakatpun terdapat lapisan-lapisan (layers) masyarakat yang mengaku dirinya “tertindas”. Menafsirkan (bukan mendefinisikan) rakyat inilah yang mengandung politik (penafsiran) tanpa henti yang sangat tergantung dari sudut mana atau perspektif seperti apa “rakyat” tersebut dimaknai.
Rakyat dalam bahasa Laksono (2008 via Budi Susanto, 2005) adalah “orang-orang yang berdaya”, mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial terhadap diri dan lingkungannya. Oleh karenanya rakyat hampir selalu diantara dua sisi yaitu melakukan resistensi (perlawanan) sekaligus obyek penundukan dan eksploitasi. Dalam hal inilah rakyat berbeda dengan “massa” yang sangat mudah untuk dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Dalam konteks historis, negara dan kekuasaannya sangat alergi dengan kata “rakyat” karena sejarah panjangnya dalam melakukan gerakan kritis kepada kekuasaan. Dalam bingkai itulah rakyat satu kata yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi sosial.
Dalam konteks Papua, rakyat juga menjadi subyek (yang berdaya) sekaligus dijadikan sebagai “alat” oleh kekuasaan untuk semakin menancapkan kekuasaannya. Dalam konteks inilah diperlukan sebuah perspektif yang bisa melakukan penafsiran sekaligus pembongkaran (dekonstruktif) terhadap gerakan kerakyatan untuk inisiatif perubahan sosial di Tanah Papua. Esai ini akan mencoba mendalami tentang gerakan akademik bernama subaltern studies group yang lahir dan berkembang di India, dan menjadi inspirasi gerakan-gerakan sosial baru hampir di seluruh dunia dengan berbasiskan penulisan dan penafsiran ulang sejarah orang-orang biasa (rakyat-rakyat kecil).
Gerakan subaltern studies group menjadi sangat penting dalam konteks Papua paling tidak karena dua alasan. Pertama, sebagai gerakan kelas menengah di urban, perspektif ini akan memberikan perubahan pada cara berpikir dan bersikap kalangan akademik dan aktivis untuk lebih bergairah dan bersemangat melakukan gerakan-gerakan pelibatan sosial (engagement) di tengah masyarakat. Perspektif ini akan berimplikasi serius terhadap pembaruan pelibatan akademik dan aktivisme ke dunia nyata kehidupan masyarakat. Kedua, relasi kelompok-kelompok “rakyat” dengan faktor-faktor pembaharu yang akan sangat mempengaruhi cara kelompok rakyat ini memikirkan perubahan pada identitas dan masa depannya.

Siapa Subaltern itu?
Dirintis dan ditampilkan ke publik oleh Gayatri Chakravorthy Spivak, terutama dalam tulisannya berjudul Can the Subaltern Speak? “Apakah Kaum ’Subaltern’ bisa Bicara”? (dalam Williams dan Chrisman, ed, Colonial Discourse and Postcolonial Theory, 1993). Makna “subaltern” yang dimaksud oleh Spivak adalah mereka yang bukan elite dan kaum yang tidak bisa bicara karena tidak diberinya bahkan konstruksi “subyek” dalam wacana kolonialisme. Kaum subaltern adalah mereka yang selalu dalam posisi direpresentasikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti politisi, birokrat, ilmuwan sosial, dan aktivis kemasyarakatan. Mereka tidak pernah bisa merepresentasikan dirinya karena kurang memiliki akses bicara di arena publik. Kaum subaltern adalah kelompok yang selama ini selalu dalam posisi tidak berdaya (disempowered), tidak pernah bisa berbicara di media publik (disenfranchised), dan bersifat marjinal. Golongan ini dapat meliputi kelompok pekerja, petani, perempuan, difabel, rakyat, wong cilik.
Dalam konteks Papua menjadi sangat penting untuk menafsirkan peran/posisi “subaltern ” dalam penulisan sejarahnya sendiri, khususnya dalam soal kemerdekaan bicara dan ingatan kekerasan dan penderitaan. Satu hal lain yang sangat penting adalah gerakan historiografi, penulisan (ulang) sejarah yang menyubyekkan mereka sebagai penulis, pembuat sejarahnya sendiri, bukan sejarah kolonial yang sarat dengan ideologi yang membenarkan penaklukan dan kepentingan elite kolonial penguasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana agaimana kekuasaan dan kaum subaltern merepresentasikan dirinya? Karena tidak bisa merepresentasikan diri, pemerintah dan apparatus kekuasaannya serta kuasa investasi global sering menjadi pihak yang merepresentasikan kaum subaltern. Para akademisi dan aktivis sosial juga sering merepresentasikan kondisi dan aspirasi rakyat miskin dengan cara membela kepentingan mereka. Bagi kaum miskin, yang kini dirasakan adalah hidup kian susah. Meski politisi, ilmuwan sosial dan aktivis selalu menyatakan, demokrasi perlu ditegakkan sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan bangsa (termasuk kemiskinan), hidup tetap susah, pendidikan kian mahal, pelayanan kesehatan tidak terjangkau, dan lainnya. Sementara pihak-pihak yang merepresentasikan rakyat terus berbicara di ruang publik, kesejahteraan rakyat tak ada perubahan berarti. Maka, logis jika rakyat miskin menjadi distrust terhadap demokratisasi dan melakukan pembangkangan politik (Heru Nugroho, 2005; Mudji Sutrisno, 2007).
Salah satu intelektual yang menjadi pelatak dasar dari subaltern studies, yang juga menjadi referensi dari Gayatri Spivak adalah Antonio Gramsci (2000). Gramsci lebih detail mengungkapkan, untuk memahami kelas subaltern perlu dipelajari tujuan formasi kelompok-kelompok sosial subaltern, dengan perkembangan dan transformasi yang terjadi dalam wilayah produksi ekonomi, difusi kuantitafif dan asal-usul mereka dalam kelompok sosial pra-ada, yang mempunyai mentalitas, ideologi dan tujuan yang mereka kekalkan  untuk suatu waktu. Kemudian perlu dipahami tentang  afiliasi aktif atau pasif  mereka untuk formasi politik yang dominan, upaya-upaya mereka untuk mempengaruhi program-program formasi ini dalam rangka menekan klaim-klaim mereka sendiri, dan konsekuensi-konsekuensi dari upaya untuk menentukan proses dekomposisi, renovasi atau neoformasi. Selain itu, penting juga untuk mempelajari kelahiran partai-partai baru dari kelompok-kelompok dominan, yang dimaksudkan untuk melestarikan pembenaran kelompok-kelompok subaltern dan untuk menjaga kontrol terhadap mereka. Namun, justru formasi-formasi yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok subaltern itu sendiri dalam rangka untuk menekan klaim-klaim dari karakter yang terbatas dan parsial. Formasi-formasi baru itu menuntut otonomi kelompok subaltern itu, tetapi dalam rangka kerja kuno, juga formasi-formasi integral.
Dasar Gramsci mengajukan term tentang subaltern sebenarnya adalah untuk menamai dan menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok yang kalah dan terpinggirkan dalam kekuasaan. Dalam bahasa Gramsci, mereka adalah “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik”. Kelas dan kelompok inilah yang kemudian akhirnya biasa disebut kelas-kelas subaltern. Dalam catatan Gramsci tentang sejarah Italia yang terbit tahun 1934, “Notes on Italian History”, Gramsci menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang sejarah kelas-kelas subaltern. Menurutnya, sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”. Ini bisa terjadi karena kelas-kelas subaltern tak punya akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural (Kisi-kisi Subaltern Studies, IRB Sanata Dharma, 2005).
Dalam perkembangannya kemudian, lahir gerakan pembaharuan dalam sejarah yang seiring dengan semangat gerakan subaltern, yaitu oral history atau sejarah lisan. Metode ini lahir dari kritik terhadap metode sejarah positivistik, no document no history, yang hingga kini masih kuat pengaruhnya di Indonesia. Dengan sejarah lisan, hadir penuturan-penuturan dari “arus bawah”, yaitu masyarakat biasa yang menjadi pemenang dan korban pertarungan sejarah dan kekuasaan. Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur kekuasaan. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka (Roosa dkk, 2004)
Studi tentang subaltern lebih kepada bagaimana si intelektual atau peneliti bisa menguraikan bagaimana operasi kekerasan dan kekuasaan politik, sosial, dan budaya itu bekerja. Karena itulah Spivak menawarkan dalam melihat serta mempelajari kelas-kelas dan kelompok subaltern sangat baik untuk melakukannya dengan gaya bertutur, berbicara secara informal lewat bahasa asli mereka, dan tidak menerapkan cara belajar atau pendidikan yang kaku dalam mendalami subaltern.
Dalam konteks gerakan perubahan sosial di Tanah Papua, perspektif subaltern sangat penting sekali jika dipadukan dengan inisiatif-inisiatif gerakan sosial lokal. Perspektif subaltern ini “hanya” akan memperkuat basis pemikiran dan argumentasi dalam melakukan refleksi-refleksi pengalaman empirik yang terjadi di Tanah Papua. Refleksi teoritik ini juga akan membuka pemahaman dan menemukan hal-hal baru sesuai dengan pengalaman dan konteks yang berbasiskan apa yang terjadi di Tanah Papua sendiri.
Penulis adalah staf pendidik di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menulis buku Jiwa yang Patah (2012)

Read More ...

Jumat, 13 November 2015

Wagub Papua: Banyak Guru di Pedalaman tak Mengajar, Tapi Gaji Tetap Diambil

10.00.00
Jayapura -- Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal mengimbau kepada para guru yang mengajar di pedalaman atau kampung-kampung di daerah itu bisa betah dalam melaksanakan tugas. Ia berharap para guru sentisa bersemangat mengajar dan mendidik anak-anak usia sekolah.
"Kadang-kadang juga, tolong guru-guru itu sesuai dengan SK ditempatkan di mana saja, betahlah bertugas," katanya di Kota Jayapura, Jumat (13/11).
Permintaan dan imbauan ini disampaikan Wagub Klemen Tinal setelah mendapatkan sejumlah masukan dan persoalan bahwa banyak guru di Papua yang tidak berada di tempat tugasnya. Seharusnya, kata Wagub Klemen Tinal, jika seorang guru tidak melaksanakan tugas atau kewajiban untuk mengajar dan mendidik anak-anak sekolah, maka sudah sepantasnya juga tidak menerima atau mengambil haknya berupa gaji dan insentif. 
"Tapi ini yang terjadi tidak pergi mengajar tapi uangnya (gaji dan insentif) diterima," katanya.
Untuk itu, Klemen Tinal yang juga ketua DPD Partai Golkar Provinsi Papua mengatakan harusnya oknum guru seperti itu tahu budaya malu, karena tidak melaksanakan tugas atau kewajibannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik.
"Coba ada budaya malu sedikit, sudah tidak mau mengajar tapi tetap mau terima, ini sudah tidak ada malu sekali. Kami (pemerintah provinsi) tidak bisa menegur, kabupaten kan otonom, tapi bupati dan kadis pendidikan yang harus menegur," katanya.
Pemerintah provinsi, kata dia, tidak punya wewenang untuk menegur secara langsung, tapi hanya bisa mengimbau dan mengajak ataupun memberikan masukan agar persoalan seperti itu bisa segera ditangani secara serius oleh pemerintah daerah.
"Kalau punya wewenang, saya sudah pergi tegur-tegur itu, apa lagi sudah dapat intensif luar biasa. Oleh karena itu, kami imbau, ajak agar guru-guru bisa melaksanakan tugasnya," katanya.


Read More ...