Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat. (Dok SP) |
Oleh: I Ngurah Suryawan
Di tengah fragmentasi (keterpecahan)
yang hadir di tengah masyarakat Papua karena penetrasi
birokrasi/pembangunan, pemekaran daerah, dan investasi global,
menafsirkan kelompok-kelompok masyarakat di akar rumput menjadi sangat
problematik. Sangat problematik karena di tengah masyarakatpun terdapat
lapisan-lapisan (layers) masyarakat yang mengaku dirinya
“tertindas”. Menafsirkan (bukan mendefinisikan) rakyat inilah yang
mengandung politik (penafsiran) tanpa henti yang sangat tergantung dari
sudut mana atau perspektif seperti apa “rakyat” tersebut dimaknai.
Rakyat dalam bahasa Laksono (2008 via
Budi Susanto, 2005) adalah “orang-orang yang berdaya”, mempunyai
kekuatan untuk melakukan perubahan sosial terhadap diri dan
lingkungannya. Oleh karenanya rakyat hampir selalu diantara dua sisi
yaitu melakukan resistensi (perlawanan) sekaligus obyek penundukan dan
eksploitasi. Dalam hal inilah rakyat berbeda dengan “massa” yang sangat
mudah untuk dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Dalam konteks
historis, negara dan kekuasaannya sangat alergi dengan kata “rakyat”
karena sejarah panjangnya dalam melakukan gerakan kritis kepada
kekuasaan. Dalam bingkai itulah rakyat satu kata yang sangat berpengaruh
dalam proses transformasi sosial.
Dalam konteks Papua, rakyat juga menjadi
subyek (yang berdaya) sekaligus dijadikan sebagai “alat” oleh kekuasaan
untuk semakin menancapkan kekuasaannya. Dalam konteks inilah diperlukan
sebuah perspektif yang bisa melakukan penafsiran sekaligus pembongkaran
(dekonstruktif) terhadap gerakan kerakyatan untuk inisiatif perubahan
sosial di Tanah Papua. Esai ini akan mencoba mendalami tentang gerakan
akademik bernama subaltern studies group yang lahir dan
berkembang di India, dan menjadi inspirasi gerakan-gerakan sosial baru
hampir di seluruh dunia dengan berbasiskan penulisan dan penafsiran
ulang sejarah orang-orang biasa (rakyat-rakyat kecil).
Gerakan subaltern studies group menjadi sangat penting dalam konteks Papua paling tidak karena dua alasan. Pertama,
sebagai gerakan kelas menengah di urban, perspektif ini akan memberikan
perubahan pada cara berpikir dan bersikap kalangan akademik dan aktivis
untuk lebih bergairah dan bersemangat melakukan gerakan-gerakan
pelibatan sosial (engagement) di tengah masyarakat. Perspektif
ini akan berimplikasi serius terhadap pembaruan pelibatan akademik dan
aktivisme ke dunia nyata kehidupan masyarakat. Kedua, relasi
kelompok-kelompok “rakyat” dengan faktor-faktor pembaharu yang akan
sangat mempengaruhi cara kelompok rakyat ini memikirkan perubahan pada
identitas dan masa depannya.
Siapa Subaltern itu?
Dirintis dan ditampilkan ke publik oleh Gayatri Chakravorthy Spivak, terutama dalam tulisannya berjudul Can the Subaltern Speak? “Apakah Kaum ’Subaltern’ bisa Bicara”? (dalam Williams dan Chrisman, ed, Colonial Discourse and Postcolonial Theory,
1993). Makna “subaltern” yang dimaksud oleh Spivak adalah mereka yang
bukan elite dan kaum yang tidak bisa bicara karena tidak diberinya
bahkan konstruksi “subyek” dalam wacana kolonialisme. Kaum subaltern
adalah mereka yang selalu dalam posisi direpresentasikan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, seperti politisi, birokrat, ilmuwan
sosial, dan aktivis kemasyarakatan. Mereka tidak pernah bisa
merepresentasikan dirinya karena kurang memiliki akses bicara di arena
publik. Kaum subaltern adalah kelompok yang selama ini selalu dalam posisi tidak berdaya (disempowered), tidak pernah bisa berbicara di media publik (disenfranchised), dan bersifat marjinal. Golongan ini dapat meliputi kelompok pekerja, petani, perempuan, difabel, rakyat, wong cilik.
Dalam konteks Papua menjadi sangat
penting untuk menafsirkan peran/posisi “subaltern ” dalam penulisan
sejarahnya sendiri, khususnya dalam soal kemerdekaan bicara dan ingatan
kekerasan dan penderitaan. Satu hal lain yang sangat penting adalah
gerakan historiografi, penulisan (ulang) sejarah yang menyubyekkan
mereka sebagai penulis, pembuat sejarahnya sendiri, bukan sejarah
kolonial yang sarat dengan ideologi yang membenarkan penaklukan dan
kepentingan elite kolonial penguasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana agaimana kekuasaan dan kaum subaltern
merepresentasikan dirinya? Karena tidak bisa merepresentasikan diri,
pemerintah dan apparatus kekuasaannya serta kuasa investasi global
sering menjadi pihak yang merepresentasikan kaum subaltern.
Para akademisi dan aktivis sosial juga sering merepresentasikan kondisi
dan aspirasi rakyat miskin dengan cara membela kepentingan mereka. Bagi
kaum miskin, yang kini dirasakan adalah hidup kian susah. Meski
politisi, ilmuwan sosial dan aktivis selalu menyatakan, demokrasi perlu
ditegakkan sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan bangsa
(termasuk kemiskinan), hidup tetap susah, pendidikan kian mahal,
pelayanan kesehatan tidak terjangkau, dan lainnya. Sementara pihak-pihak
yang merepresentasikan rakyat terus berbicara di ruang publik,
kesejahteraan rakyat tak ada perubahan berarti. Maka, logis jika rakyat
miskin menjadi distrust terhadap demokratisasi dan melakukan
pembangkangan politik (Heru Nugroho, 2005; Mudji Sutrisno, 2007).
Salah satu intelektual yang menjadi pelatak dasar dari subaltern studies,
yang juga menjadi referensi dari Gayatri Spivak adalah Antonio Gramsci
(2000). Gramsci lebih detail mengungkapkan, untuk memahami kelas subaltern perlu dipelajari tujuan formasi kelompok-kelompok sosial subaltern,
dengan perkembangan dan transformasi yang terjadi dalam wilayah
produksi ekonomi, difusi kuantitafif dan asal-usul mereka dalam kelompok
sosial pra-ada, yang mempunyai mentalitas, ideologi dan tujuan yang
mereka kekalkan untuk suatu waktu. Kemudian perlu dipahami tentang
afiliasi aktif atau pasif mereka untuk formasi politik yang dominan,
upaya-upaya mereka untuk mempengaruhi program-program formasi ini dalam
rangka menekan klaim-klaim mereka sendiri, dan konsekuensi-konsekuensi
dari upaya untuk menentukan proses dekomposisi, renovasi atau
neoformasi. Selain itu, penting juga untuk mempelajari kelahiran
partai-partai baru dari kelompok-kelompok dominan, yang dimaksudkan
untuk melestarikan pembenaran kelompok-kelompok subaltern dan untuk menjaga kontrol terhadap mereka. Namun, justru formasi-formasi yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok subaltern
itu sendiri dalam rangka untuk menekan klaim-klaim dari karakter yang
terbatas dan parsial. Formasi-formasi baru itu menuntut otonomi kelompok
subaltern itu, tetapi dalam rangka kerja kuno, juga formasi-formasi integral.
Dasar Gramsci mengajukan term tentang subaltern
sebenarnya adalah untuk menamai dan menunjukkan bagaimana
kelompok-kelompok yang kalah dan terpinggirkan dalam kekuasaan. Dalam
bahasa Gramsci, mereka adalah “kelompok inferior”, yaitu
kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni
kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok yang
lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik”. Kelas dan
kelompok inilah yang kemudian akhirnya biasa disebut kelas-kelas subaltern.
Dalam catatan Gramsci tentang sejarah Italia yang terbit tahun 1934,
“Notes on Italian History”, Gramsci menyatakan bahwa sejarah seharusnya
juga menulis tentang sejarah kelas-kelas subaltern. Menurutnya, sejarah kelas-kelas subaltern
tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang
terakhir ini lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”. Ini bisa terjadi
karena kelas-kelas subaltern tak punya akses kepada sejarah,
kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi
sosial dan kultural (Kisi-kisi Subaltern Studies, IRB Sanata Dharma, 2005).
Dalam perkembangannya kemudian, lahir gerakan pembaharuan dalam sejarah yang seiring dengan semangat gerakan subaltern, yaitu oral history atau sejarah lisan. Metode ini lahir dari kritik terhadap metode sejarah positivistik, no document no history,
yang hingga kini masih kuat pengaruhnya di Indonesia. Dengan sejarah
lisan, hadir penuturan-penuturan dari “arus bawah”, yaitu masyarakat
biasa yang menjadi pemenang dan korban pertarungan sejarah dan
kekuasaan. Sejarah lisan mencoba mengungkap cerita-cerita melalui metode
mewawancari orang-orang yang dibungkam dan didiamkan oleh struktur
kekuasaan. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak
1960-an, terutama sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari
komunitas yang dipinggirkan, ditindas, dan menjadi korban. Gagasan
dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih dari sekadar cerita
tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga
harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan
mereka (Roosa dkk, 2004)
Studi tentang subaltern lebih
kepada bagaimana si intelektual atau peneliti bisa menguraikan bagaimana
operasi kekerasan dan kekuasaan politik, sosial, dan budaya itu
bekerja. Karena itulah Spivak menawarkan dalam melihat serta mempelajari
kelas-kelas dan kelompok subaltern sangat baik untuk
melakukannya dengan gaya bertutur, berbicara secara informal lewat
bahasa asli mereka, dan tidak menerapkan cara belajar atau pendidikan
yang kaku dalam mendalami subaltern.
Dalam konteks gerakan perubahan sosial di Tanah Papua, perspektif subaltern sangat penting sekali jika dipadukan dengan inisiatif-inisiatif gerakan sosial lokal. Perspektif subaltern
ini “hanya” akan memperkuat basis pemikiran dan argumentasi dalam
melakukan refleksi-refleksi pengalaman empirik yang terjadi di Tanah
Papua. Refleksi teoritik ini juga akan membuka pemahaman dan menemukan
hal-hal baru sesuai dengan pengalaman dan konteks yang berbasiskan apa
yang terjadi di Tanah Papua sendiri.
Penulis adalah staf pendidik
di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri
Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menulis buku Jiwa yang Patah
(2012)
Sumber : http://suarapapua.com
Tidak ada komentar :
Berikan Tanggapan Andan Disini: