PAPUAtimes
PAPUAtimes

Breaking News:

   .
Tampilkan postingan dengan label OAP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OAP. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 September 2016

Andreas Gobay: Potensi Alam Mesti Dikelola dengan Baik Untuk Perekonomian Rakyat

12.52.00
Sosialisasi UKM RT, Kecil dan Menengah di Dogiyai. (Agustinus Dogomo - SP)
Dogiyai — Andreas Gobay Kepala Dinas Perindakop Kabupaten Dogiyai, mengatakan, banyak potensi alam yang Tuhan berikan kepada orang Dogiyai yang perlu dikelola dan dikembangkan dengan baik untuk menunjang ekonomi rakyat di Dogiyai, Papua.
Hal itu disampaikan Gobay di aula Balai Pemkab Dogiyai pada Rabu (7/9/2016) saat menggelar kegiatan Pembinaan UKM Rumah Tangga, UKM Kecil dan UKM Menengah untuk menunjang ekonomi masyarakat di kabupaten Dogiyai.
Kata Andy, banyak komoditas yang bisa dijadikan produk unggulan di Kabupaten Dogiyai. Bukan hanya kopi tetapi Buah Merah, Umbi-umbian, Sayur-sayuran, Bawang Merah dan putih, kacang, Jahe dan noken anggrek.
“Semu itu potensi alam  yang luar biasa. Semua sudah disediakan Tuhan lewat alam di surga mini (Dogiyai, Papua) )ini. Itu menjadi keunggulan kita di daerah ini,” jelas Gobay.
Lanjutnya,  Sepuluh distrik yang ada di Kabupaten Dogiyai masing-masing mempunyai keunggulan potensi Alam.  Kata dia, dirinya saat ini memprioritaskan kopi.
“Kami prioritaskan kopi. Sehingga saat mengundang menteri pendagangan Indonesia dan perwakilan  Bank Mandiri  melihat lebih dekat, produksi kopi, kami launcing  di sini. Tetapi tindak lanjutnya 2017,” ujarnya.
Lanjut Gobay, “Saya sudah langsung menghadap direktur bank Mandiri, dan sudah lumayan. Ada dua petani dari Mapia dan Kamu sudah dilatih menjadi petani Model. Mereka berdua akan menjadi petani model di Kabupaten Dogiyai,” pungkasnya.
Sementara, Renonge Wai perwakilan dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Papua cabang Kabupaten Dogiyai, mengatakan bicara mengenai UKM ada  kaitan dengan bank.
Rononge Wai mengatakan, tidak semua yang punya UKM ada dana, jika kita punya bahan baku tetapi tidak ada dana pasti ada kesulitan. Di sini peranan bank untuk memajukan UKM sangat besar.
“Bank Papua cabang Kabupaten Dogiyai sediakan kredit, tetapi banyak UKM di Kabupaten Dogiyai tidak berani mengambil kredit. Sebenaranya, beberapa program kredit bisa dipakai. Jangan takut dengan besarnya bunga,” katanya.
Dikatakan, Bank Papua Dogiyai sementara belum bisa memberikan kredit untuk penanaman kopi. Kalau urusan kopi harus ke Kantor Pusat. Karena kita sementara masih cabang dan diberikan beberapa program yang bisa dijalankan.
Kata Wai, Ini bukan mempersulit tetapi ini prosedur. Usaha-usaha mikro, boleh kredit tanpa jaminan, kredit perkelompok tetapi pencairannya pertahap. Bank melihat bapak ibu punya usaha berjalan, asuran tahap pertama bagus dan, maka bank akan melakukan pencairan tahap kedua dan selanjutnya.
“Kami berharap agar Bank sediakan kredit. Beberapa program sehingga bapak, ibu yang mempunyai usaha menghubungi bank. Kami siapa membantu bila sesuai dengan program kredit yang ada,” katanya. (Agustinus Dogomo)
Read More ...

Senin, 22 Agustus 2016

Legislator: Ratusan Orang Yang Disebut OPM Di HUT Ke-71 RI Adalah Pengungsi

03.32.00
Anggota DPR Papua, Deerd Tabuni – Jubi/Arjuna
Jayapura – Legislator Papua, Deerd Tabuni menyatakan, kurang lebih 300 orang yang diklaim anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Puncak Jaya, pimpinan Goliat Tabuni kembali ke pangkuan NKRI pada peringatan HUT RI ke-71, 17 Agustus 2016 bukan OPM.
Ia mengatakan, kurang lebih 300 orang itu bukanlah anggota OPM pimpinan Goliat Tabuni. Tapi masyarakat dari Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, yang mengungsi pasca penyerangan Polsek Sinak lalu.
“300 orang yang disebut OPM turun gunung, itu pengungsi dari Sinak. Itu masyarakat biasa. Harus diingat, pada 2011 Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo menyatakan akan menurunkan 100 orang anggota OPM, tapi tidak jadi. 2013 tidak jadi. Jadi jangn disamaratakan. Jangan bermain dengan cara ini,” kata Deerd, Minggu (21/8/2016).
Sebagai anak dari wilayah pegunungan tengah, Deerd tak sudi masyarakatnya dijual untuk kepentingan pribadi.
“Ini proyek. Bawa nama-nama itu ke Jakarta untuk kepentingan pribadi. Panglima OPM di Puncak Jaya, Goliat Tabuni adalah bapa ade (paman) saya. Sebagai bagian dari kekuarga, saya harus menyampaikan agar tak ada salah paham. Mari bicara baik secara konperhensif untuk masalah Papua,” ucapnya.
Ia juga membantah beredarnya informasi beberapa waktu lalu yang menyebut panglima tertinggi OPM, Goliat Tabuni telah turun gunung. Deerd justru mempertanyakan itu Goliat Tabuni yang mana.
“Hingga kini Goliat Tabuni masih eksis. Belum pernah menyerah. Dia menyatakan akan tetap memperjuangkan ideologinya. Begitu juga Lekaga Telenggen di Yambi dan Militer Murib di Ilaga, belum pernah turun gunung. Mereka tetap bicara pada ideologi. Kalau ada yang bilang Goliat Tabuni menyerah, itu pembohongan publik,” katanya.
Katanya, ia tak menyalahkan atau mendukung pihak manapun, namun cara-cara seperti itu tak benar. Ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan demi berbagai kepentingan dengan cara tak benar.
“Hingga kini Goliat Tabuni dan anggotanya masih tetap eksis. Mereka bertahan dengan ideologinya karena itu harga diri. Mereka ingin penyelesaian masalah Papua secara konperhensif,” imbuhnya.
Diberitakan berbagai media beberapa hari lalu, ratusan anggota OPM wilayah Puncak Jaya kembali ke pangkuan NKRI tepat pada peringatan HUT ke-71 RI. Ratusan orang yang disebut OPM itu bahkan membacakan ikrar kesetian usai upacara peringatan HUT RI ke-71 yang dipimpin Bupati Puncak Jaya, Hencok Ibo di ibukota Kabupaten Puncak Jaya, Mulia.
“Pemda siap membantu mantan OPM sesuai kemampuan mereka. Kini ada beberapa mantan OPM yang jadi pengusaha kayu dengan bantuan peralatan dari pemda,” kata Hecok Ibo kala itu seperti dikutip dari berbagai media. (*)
Read More ...

Legislator: Stop Jual Rakyat Dengan Stigma OPM Untuk Jabatan

03.28.00
Anggota DPR Papua, Deerd Tabuni – Jubi/Arjuna
Jayapura – Legislator Papua, Deerd Tabuni mengingatkan para pihak yang ada di wilayah pegunungan tengah Papua, khususnya Puncak Jaya tak melakukan berbagai manuver untuk kepentingan jabatan, termasuk mengklaim berhasil membuat para anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di wilayah itu turun gunung.
Ia mengatakan, jangan menjual rakyat demi kepentingan jabatan dan materi. Aparat kemanan juga perlu jeli melihat kondisi itu. Jangan langsung percaya jika ada pejabat yang mengklaim berhasil membujuk anggota OPM turun gunung. Harus dilihat apakah mereka itu benar-benar anggota OPM atau bukan.
“Kepada pimpinan aparat keamanan jeli melihat mana sebenarnya OPM yang harus turun gunung, mana yang bukan. Jangan menyamaratakan semua. Misalnya saja beberapa waktu lalu diberbagai media ramai diberitakan sembilan anggota OPM turun gunung dan menyerahkan senjat mereka. Mereka kemudian dibawa ke Jayapura dan Jakarta. Namun ternyata, tak ada senjata yang mereka serahkan,” kata Deerd Tabuni, Minggu (21/8/2016).
Menurutnya, rangkaian dari itu, 6 Agustus lalu, dua orang yakni Tidiman Enumbi, gembala jemaat salah satu jemaat di Tinggi Neri dan Terinus Enumbi salah satu dari sembilan orang yang dinyatakan turun gunung lalu dipaksa menyerahkan senjata.
Kata Deerd yang menyatakan masih ponakan dari pimpinan OPM, Goliat Tabuni, Tidiman dan Terinus diancam jika tak menyerahkan senjata akan ditangkap. Padahal semua senjata ada di markas Goliat Tabuni.
“Data akurat yang kami dapat ada 127 pucuk senjata berbagai jenis di markas Goliat. Akibat dipaksa menyerahkan senjata, dua pihak keluarga nyaris bentrok. Menghindari bentrok, Goliat Tabuni menyerahkan pistol yang dirampas Terinus Enumbi dari aparat kemanan beberapa waktu lalu untuk dikembalikan,” ucapnya.
Ia menduga ini ada permainan yang dimainkan pejabat di daerah untuk kepentingan jabatan. Politisi Golkar meminta Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo tak berlebihan. Jangan menjual rakyat di wilayah pegunungan.
“Saya harap bupati Henock Ibo tak menjual rakyat untuk kepentingannya. Isu lalu, Rambo Wenda dan Purom Wenda menyatakan mendorong dia jadi bupati. Tapi setelah jadi bupati, justru dia Rambo dan Purom. Itu kesaksian Rambo dan Purom. Jangan merebut jabatan dengan cara-cara tak benar. Ini saya lihat sudah jual masyarakat untuk jabatan,” katanya.
Dikatakan, pihaknya tak membatasi siapapun anggota OPM yang ingin turun gunung. Itu hal baik jika mereka ingin kembali ke masyarakat. Namun jangan menyamaratakan semua masyarakat.
“Jangan hanya orang gunung yang dicap OPM. Jangan mencari makan dan jabatan dengan cara-cara tak benar. Ini proyek. Ini untuk kepentingan pribadi dan jabatan. Sebagai anak dari wilayah pegunungan tengah Papua, saya harus menyikapi ini,” imbuhnya.
Legislator Papua lainnya, Laurenzus Kadepa menyatakan, hampir setiap tahun selalu ada informasi yang menyebut puluhan, belasan hingga ratusan anggota OPM turun gunung. Kembali ke pangkuan NKRI. Namun toh hingga kini OPM tetap eksis.
“Tak ada habis-habisnya. Saya tidak tahu siapa tipu siapa. Siapa yang dapat untung. Ini masih cara-cara lama,” kata Kadepa kala itu. (*)
Read More ...

Senin, 27 Juni 2016

Germanus Goo: Jangan Jual Tanah Adat di Dogiyai!

05.03.00
Germanus Goo, ketua Dewan Adat Mee KAMAPI (Foto: Agustinus Dogomo/SP)
Dogiyai — Germanus Goo, ketua Dewan Adat Mee Kamuu, Mapia, Piyaiye (DAM KAMAPI) menegaskan, kepada semua masyarakat setempat untuk tidak suka jual tanah adat yang ada di wilayah Kabupaten Dogiyai.
“Himbauan kami bahwa jangan jual tanah adat. Kalau jual tanah adat itu sama saja kamu jual diri kamu. Harus diingat bahwa tanah dan kekayaan ini Tuhan berikan untuk kita kelola dan hidup di atas tanah ini,” tegasnya di Ekemanida, Moanemani, Kamis (24/6/2016).
Diakui, jual beli tanah adat di Dogiyai marak terjadi sejak tiga tahun terakhir. Ironisnya, tanah dijual murah kepada orang pendatang. Motor bekas pun bahkan bisa diterima oknum pemilik tanah.
“Yang mempunyai tanah dan kekayaan adalah kami dan diakui sebagai pemilik ahli waris negeri ini,” ujar Germanus.
“Kami ingin menyelamatkan diri kami dari pemusnahan secara sistematis yang dilakukan orang tak bertanggungjawab melalui berbagai cara dengan tujuan merebut tanah dan kekayaan kami di tempat surga ini,” tuturnya.
Germanus juga berkomitmen, organisasi yang dipimpinnya akan berjuang untuk mempertahankan tanah adat sebagai modal hidup, karena tanah adalah mama, Tuhan ciptakan dan sudah lengkapi dengan barang-barang yang dapat dilihat dan tak dilihat.
“Kami ingin mengembalikan tanah surga kecil yang sudah mulai hilang di Dogiyai, dari Dogiyai dengan cara menggali, melestarikan dan menjaga semua yang Tuhan sudah kasih dan titip melalui leluhur kami.”
Ia menyarankan agar ada kesadaran dari warga sebagai pemilik dusun, pemilik tanah, pemilik kekayaan alam, kekayaan adat dan budaya luhur pemberian Tuhan. “Ini perlu, dan kami ingin atur, kelola oleh kami sendiri dalam rangka menata hidup dan kehidupan kami yang lebih baik,” kata Germanus.
Kepada masyarakat Kamuu, Mapia dan Piyaiye, dihimbau agar tidak jual tanah sembarang. Cukup yang sudah terlanjur dijual, selanjutnya jangan terulang lagi. “Nanti dari lembaga ini akan mengontrol di wilayah adat ini agar tidak ada lagi aktivitas jual beli tanah,” tegasnya.(Agustinus Dogomo)
Read More ...

Sabtu, 18 Juni 2016

MIFEE dan Ancaman Eksistensial Masyakarat Papua

10.14.00
Everd Scor Rider Daniel (Foto: Dok pribadi)
Oleh: Everd Scor Rider Daniel
Belakangan ini, permasalahan hak atas tanah menjadi diskursus sosial yang cukup kompleks. Persoalan lahan kerap menimpa komunitas masyarakat di tingkat akar rumput (grassroots).
Ketika berbicara soal hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat, paradigma yang digunakan perlu didasarkan pada cara pandang moral. Sebab, selama ini konteks kepemilikan lahan masyarakat dipandang sebelah mata. Sehingga kemudian menimbulkan kealpaan negara membela hak sosial masyarakat.
Titik sentral pembahasan tidak hanya berkutat soal bagaimana fungsi dan kegunaannya, namun lebih dari itu, bagaimana cara mempertahankan hak lahan sebagai warisan identitas masyarakat.
Menurut Van Vollenhoven, dalam bukunya De Indonesier en zijn Grond (orang Indonessia dan tanahnya), hak milik adalah suatu hak eigendom timur (Ooster eigendomsrecht), suatu hak kebendaan (zakelijk rech) yang mempunyai wewenang untuk; (a) Mempergunakan atau menikmati benda itu dengan batas dan sepenuh-penuhnya, (b) Menguasai benda itu seluas-luasnya. (Van Vollenhoven, 1926: 92).
Apabila dikaitkan dengan tesis Van Vollenhoven, kenyataan yang terjadi saat ini justru bertolak belakang dengan penghormatan terhadap kebendaan (tanah) masyarakat.
Kembali pada pokok permasalahan, dinamika kekerasan dan perampasan lahan lazim terjadi. Gambaran konkretnya dapat dilihat ketika hak masyarakat secara serampangan dilanggar. Tanah yang sebelumnya memiliki fungsi sosial telah berubah menjadi benda ekslusif (objek kepentingan). Siapa punya modal akan menguasainya.
Pada dasarnya, Konstitusi menjamin hak tanah dan hutan sebagai media kolektif. Namun pada realitanya, terjadi pengkaplingan dan dikotomi dalam konteks penguasaan oleh kelompok berlabel kapitalis. Secara singkat, hegemoni kelas menjadi alat (tools) dan media sistematis menjarah tanah masyarakat.
MIFEE: Ancaman bagi Pola Konsumsi Orang Papua
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu program pangan dan energi yang diusung pada era kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008. Namun, sempat mengalami penundaan dan baru resmi bergulir pada tahun 2010. MIFEE merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional.
Program ini sejalan dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, dimana Papua dipandang sebagai kawasan strategis dan memiliki sumberdaya alam potensial dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Namun demikian, proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1,2 juta hektar ini, dipandang sebagai salah satu terobosan keliru. Alasan pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan justru bertolak belakang dengan kebiasan hidup masyarakat Papua.
Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa pada dasarnya, konsumsi masyarakat Papua di Merauke adalah sagu (makanan pokok masyarakat Papua). Kehadiran MIFEE, dengan format transformasi lahan, berpotensi mengancam keberadaan hutan yang selama ini berfungsi sebagai habitat tanaman sagu. Singkatnya, degradasi kawasan hutan akan mengubah pola konsumsi masyarakat Papua.
Studi konkret yang terjadi di Papua adalah pengaruh ancaman MIFEE terhadap eksistensi Suku Malind (masyarakat asli Merauke, Papua) yang kini tengah mengalami dilema akibat kehilangan habitat meramu sagu. Bagi suku Malind, sagu bukan sekedar bahan konsumsi, namun sebagai warisan budaya lintas generasi.
Ekspansi MIFEE yang secara drastis mengubah lahan hutan dapat membentuk siklus kelangkaan pangan dan krisis identitas masyarakat Papua. Pola transformasi, dari wilayah hutan menjadi lahan pangan, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pergeseran nilai dan pola konsumsi masyarakat Papua.
Pola eksploitatif yang ditimbulkan MIFEE, membawa ancaman dan konsekuensi perubahan struktur komoditas pangan. Konsekuensi dari kejadian ini secara perlahan mengikis relasi “ke-intim-an” masyarakat Papua dengan budayanya.
Dari beberapa uraian konkret, kehadiran MIFEE merupakan sebuah potret kekerasan budaya karena secara eksplisit mendegradasi “lahan hidup” masyarakat Papua. Disebut “lahan hidup”, karena lahan sagu dimodifikasi secara paksa oleh pemerintah. Sementara, pada kenyataannya, komoditas sagu tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan hidup masyarakat Papua. Ada ikatan historis yang begitu kuat sehingga sagu sebagai warisan dan ciri khas konsumsi Orang Asli Papua. Ketika, keberadaannya tidak dapat dinikmati atau diakses oleh masyarakat, maka berpotensi melahirkan gejala pergeseran budaya. Kondisi ini sekaligus menjadi media sistematis merusak kolektivitas budaya Papua.
MIFEE: Kekerasan Gaya Baru
Selain ancaman sosial dan budaya, proyek MIFEE yang diproyeksikan sebagai lumbung pangan di kawasan Papua juga dikhawatirkan dapat menciptakan pola kekerasan baru bagi masyarakat Papua serta berkembangnya bahaya kapitalisme melalui jaring korporasi.
Poin kritis dari bentuk kekerasan adalah lahirnya implikasi transformasi lahan secara paksa. Artinya, masyarakat tidak bersedia ketika hutan mereka diubah. Fenomena ini kemudian melahirkan gangguan (disparitas) dalam struktur sosial.
Masyarakat tidak dapat bertindak ketika melihat hutan mereka digusur. Kerena, ketika ada perlawanan, maka perjalalanan MIFEE semakin diwarnai kekerasan dan intimidasi. MIFEE akan memperlebar konflik dan menebar teror bagi lahirnya kekerasan dalam habitus sosial masyarakat.
Selama ini, masyarakat sebagai kelas minoritas hanya menerima resiko ancaman dan hak-haknya dikerdilkan secara tidak manusiawi. Pembiaran oleh negara semakin telah membuka ruang kekerasan baru dalam lapisan sosial (social layers).
Pada dasarnya, pendekatan kebijakan dan prinsip humanis mesti sejalan agar menghindari tindakan kekerasan. Sebab, pada semua tingkat pemahaman, kekerasan merupakan musuh bersama (common enemy). Kehadirannya tidak dibenarkan karena sebagai stigma pelanggaran HAM.
Penulis adalah alumni Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh Studi Magister Social Welfare di Universitas Padjadjaran, Bandung
Read More ...

Senin, 13 Juni 2016

Sagu, Kunci Kesejahteraan Masyarakat Papua

08.28.00
Sagu, salah satu bahan pangan lokal.
Jakarta - Dengan luas hutan sagu hampir 85% dari total luasan area sagu di Indonesia yang juga merupakan hutan sagu terluas di dunia, para pakar berharap sagu dapat menjadi kunci kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia bagian timur, khususnya Papua dan Papua Barat.
“Indonesia memiliki 90% lebih luasan sagu di dunia, dengan 85%-nya terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan fakta tersebut, pemerintah seharusnya dapat melihat ini sebagai kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen sagu terbesar di dunia dan juga komponen utama untuk menyejahterakan rakyat di Indonesia bagian timur,” ujar peneliti utama di Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bambang Hariyanto di Jakarta, Senin (13/6).
Pohon sagu atau sago palm (metroxylon sagu) adalah tanaman asli Indonesia yang menjadi sumber karbohidrat utama. Bahkan, sagu juga dapat digunakan sebagai makanan sehat (rendah kadar glikemik), selain dapat dipakai untuk bioetanol, gula untuk industri makanan dan minuman, pakan ternak, industri kertas, farmasi dan lainnya.
Di Indonesia, selain dikenal hidup dan berkembang di Papua, pohon sagu terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai. Namun demikian, mayoritas pohon sagu terdapat di Papua dengan luasan lahan 1,2 juta hektare (ha).
Dalam peta sebaran sagu menurut situs resmi Kementerian Pertanian disebutkan, pohon sagu yang hidup di hutan alam mencapai 1,25 juta ha, dengan rincian 1,2 juta di Papua dan Papua Barat dan 50 ribu ha di Maluku. Sedangkan pohon sagu yang merupakan hasil semi budidaya (sengaja ditanam/semi cultivation) mencapai 158 ribu ha, dengan rincian 34 ribu ha di Papua dan Papua Barat, di Maluku 10 ribu ha, di Sulawesi 30 ribu ha, di Kalimantan 20 ribu ha, di Sumatera 30 ribu ha, di Kepulauan Riau 20 ribu ha, dan di Kepulauan Mentawai 10 ribu ha.
Berdasarkan data Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), luas lahan sagu dunia mencapai 6,5 juta ha pada 2014. Dari luas lahan tersebut, Indonesia memililiki pohon sagu seluas 5,5 juta ha, di mana sebanyak 5,2 juta ha berada di Papua dan Papua Barat
Namun, dia menuturkan, potensi sagu di Indonesia wilayah timur belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan, lahan sagu secara perlahan mulai terkikis oleh pembangunan jalan, rumah toko, dan pembangunan lainnya. Padahal tanaman sagu banyak manfaatnya bagi kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia bagian Timur.
"Tidak hanya dapat menjadi bahan pangan utama, daun sagu juga bisa dijadikan sebagai atap rumah tradisional," kata dia.
Menurut Bambang, salah satu masalah utama sulitnya pengembangan sagu di Indonesia adalah infrastruktur. Di Papua, warga kesulitan memasok sagu rakyat ke pabrik sagu besar dan pabrik sagu besar sulit untuk menyalurkan hasil produksinya keluar. Sebagai akibatnya, biaya logistik bisa mencapai 30% dari biaya produksi. Selain itu, masalah ketersediaan listrik di Indonesia bagian Timur menjadi kendala bagi pengembangan sagu di Bumi Nusantara.
“Ada juga pemasalahan sosial ekonomi, di mana pengolahan sagu di Papua terkena hak hutan ulayat. Artinya, masyarakat perlu mendapat kompensasi dalam setiap pengelolaannya. Untuk hal ini, para pakar berharap pemerintah dapat turut campur tangan melalui kebijakan agar dapat mempermudah pengembangan sagu di Papua,” ucap Bambang.
Read More ...

Sabtu, 11 Juni 2016

Tim HAM Versi Jakarta Sarat Kepentingan Politik

10.42.00
Caption: Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM,
dari kiri ke kanan: Frederika Korain, Pdt. Anike Mirino,
Bernadetha Mahuse, Mientje Uduas, Zandra Mambrasar,
Iche Murib, Fransiska Pinimet – Jubi/Yuliana Lantipo
Jayapura –  Tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua yang dibentuk pemerintah pusat belum lama ini dan melibatkan tiga orang asli Papua di dalamnya dinilai tidak mewakili suara dan harapan masyarakat Papua. Terbentuknya tim itu pun dipandang telah melenceng dari mekanisme yang semestinya dan sarat kepentingan politik.
Pandangan tersebut dikemukakan oleh Zandra Mambrasar dari Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham) Papua pada konferensi pers dikantornya bersama anggota solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM, Jumat (10/6/2016).
Zandra mengatakan negara ini sudah memiliki Komisi Nasional HAM yang bertugas untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, sehingga penyelesaian semua masalah HAM harus melalui lembaga tersebut.
“Kalau memang mau selesaikan masalah itu sesuai mekanisme maka itu adalah tugas komnas HAM, bukan bentukan baru yang dibuat oleh Menkopolhukam. Ini sangat politis sekali. Seharusnya, prosesnya melalui Komnas HAM, penyidikan di kejaksaan, kemudian pengadilan HAM. Itulah mekanisme yang seharusnya,” kata Zandra.
Pada April lalu, pemerintah pusat melalui Menkopolhukam dan jajarannya berjanji untuk menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua. Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus itu melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM. Menurut Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw, seperti dikutip dari BBC Indonesia, mengatakan, keempat kasus yang akan dipercayakan kepadanya untuk diselesaikan adalah kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), tewasnya aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni (3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober 2011).
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), Kasus Paniai (Desember 2014), dan satu yang masih bersifat usulan yakni kasus Biak berdarah (Juli 1998).
Tim penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM Papua itu diberi waktu bekerja oleh pemerintah sampai Oktober 2016.
Pro-kontra Tiga Orang Papua
Tim kerja yang masih memiliki empat bulan untuk menuntaskan masalah dugaan pelanggaran HAM di Papua itu menuai protes dari pegiat HAM lainnya di tanah Papua. Selain mekanisme penyelesaian yang dipersoalkan, kehadiran tiga orang Papua di dalam tim tersebut cukup mendapat sorotan.
“Matius Murib, Marinus Yaung, dan Lien Maloali adalah bukan representasi rakyat Papua,” bunyi salah satu kutipan pernyataan pers Solidaritas perempuan pembela HAM itu.
Frederika Korain, salah satu aktivis HAM Perempuan Papua yang juga seorang pengacara, dalam pertemuan itu menyatakan tim yang dipimpin Menkopolhukam dengan melibatkan tiga orang Papua itu hanya untuk rekayasa belaka dan tidak mencerminkan niat baik untuk menyelesaikan semua persoalan di tanah Papua.
“Seolah-olah, pesan yang dikirim adalah ini ada orang Papua yang mendapat tempat yang terhormat di negara ini, tetapi sebetulnya ini hanya rekayasa yang dibangun oleh pemerintah dalam rangka menutupi persoalan yang sebenarnya terjadi di tanah Papua. Apalagi beberapa orang itu mengaku diri sebagai aktifis. Kita harus tegas untuk itu, orang-orang yang dibawa ini sama sekali tidak punya kapasitas, tidak kompeten tetapi tidak juga dalam rangka menyelesaikan masalah,” tegas Frederika.
Frederika juga menyatakan pesimis masalah-masalah diselesaika oleh tim tersebut. “Bagaimana mungkin negara ini yang melakukan pelanggaran yang mau selesaikan pelanggaran yang dibuatnya sendiri? Negara saja tidak mungkin.”
Bernadetha Mahuse, aktivis HAM Perempuan yang juga berprofesi sebagai guru, menuturkan sudah tidak ada lagi rasa percaya pada pemerintah untuk menegakkan keadilan atas kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM Papua. Termasuk pada tim baru tersebut.
Ia mengatakan, demi menyelamatkan generasi penerus orang asli Papua, ia bersama aktivis HAM perempuan Papua tersebut mendesak tim pencari fakta dari Pasifik Island Forum (PIF) dengan rekomendasi pemerintah Indonesia untuk segera ke tanah Papua.
“Kami mendesak tim pencari fakta dari PIF segera datang melakukan tugasnya di Papua untuk penegakkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.
“Kami ini perempuan yang melahirkan kehidupan dan tugas kami merawat kehidupan. Menjaga dengan baik supaya sustain, kehidupan anak-anak kami itu terus menerus di atas tanah ini,” lagi ucapnya.
Menurut Bernadetha yang sudah lebih 15 tahun menjadi pegiat HAM itu menuturkan, “rahim kami bumi Papua ini sudah rusak, sudah terkoyak akibat kepentingan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak dan juga investasi yang terjadi di atas tanah ini. Banyak investor masuk untuk kepentingan perusahaan, tetapi tidak berpihak pada rakyat. Dan, itu berlansung sudah bertahun-tahun, tanpa ada penyelesaian.
“Tingkat ketidakpercayaan kami tiap hari kian menajam,” tutupnya. (*)
Read More ...

Kamis, 09 Juni 2016

Investasi Harus Berikan Kontribusi Bagi Masyarakat

14.30.00
Bupati Merauke, Frederikus Gebze. Jubi/Frans L Kobun
Merauke – Bupati Merauke, Frederikus Gebze mengingatkan kepada para investor agar memberikan kontribusi kepada masyarakat di saat kegiatan investasi telah dijalankan atau dilaksanakan, sehingga kegiatan investasi berjalan baik.
Hal itu diungkapkan Bupati Freddy kepada sejumlah wartawan Rabu (8/6/2016). “Saya juga minta kepada investor agar melakukan penyesuaian terhadap tanah milik masyarakat yang adalah pemilik hak ulayat,” pintanya.
Setiap perusahaan, demikian Bupati Freddy, melalui Program CSR, wajib memberdayakan masyarakat untuk pertumbuhan ekonomi. Sehingga ada kontribusi timbal balik yang diberikan. Itu adalah komitmen yang harus dijalankan setiap investor. Karena telah memanfaatkan lahan masyarakat  guna kegiatan investasi.
Kepala Badan Penanaman Modal Kabupaten Merauke, Tjahyo Purnomo beberapa hari lalu mengatakan, kurang lebih 10 investor yang izin usahanya telah berakhir. Dan, selama ini tak ada kegiatan investasi dilakukan. Sehingga sedang diusulkan kepada Bupati Merauke, Frederikus Gebze agar izinnya dicabut.
“Saya sudah usulkan kepada Pak Bupati Merauke dan tinggal  menunggu keputusan terakhir. Apakah, izinnya tetap diperpanjang terus atau dicabut dan diberikan kepada investor lain untuk masuk,” tuturnya. (*)
Read More ...

Kamis, 17 Desember 2015

Komarudin : Jokowi Jangan Lupa Rakyat Papua Masih Jadi Korban

06.06.00
RMOL. Kasus pelanggaran etik Setya Novanto yang berkaitan dengan pembahasan kontrak karya Freeport Indonesia, semestinya jadi momen terbaik pemerintah untuk memperbaiki kehidupan rakyat Papua.

"Saya harap semua tidak berhenti di hasil sidang MKD saja. Ada bola salju yang harus dibongkar sampai akar-akarnya," kata anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Daerah Pemilihan Papua, Komarudin Watubun, kepada wartawan, Kamis (17/12).

Setelah pengunduran diri Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR, ia mengingatkan bahwa rakyat Papua menuntut pembelaan dari Presiden Joko Widodo. 

Selama ini kehadiran PT Freeport di tanah Papua hanya jadi arena tarik-menarik kepentingan pemerintah pusat.

"Yang jadi korban rakyat Papua. Tembak menembak terus terjadi di sana. Kini rakyat Papua menuntut langkah tegas Presiden Jokowi untuk lebih disejahterakan," ucap Ketua DPP PDIP bidang Kehormatan ini.

Sebagai kader PDI Perjuangan, dirinya merasa bertanggung jawab terhadap kebijakan Presiden Jokowi di Papua. Menurut Komar, dirinya yang pertama kali mengundang Jokowi menginjakkan kaki di tanah Papua pada akhir kampanye Pemilihan Legislatif 2014.

"Kami berkampanye di Lapangan Papua Trade Centre (PTC) Entrop, Abepura, Jayapura, Papua, Sabtu 5 Mei 2014 lalu. Sebelum Jokowi tampil di acara kampanye itu, sebagai Ketua DPD PDIP Papua dan Wakil Ketua DPRD Papua, saya sempat berpesan," ungkapnya.

Komarudin menitipkan kepada Jokowi agar Papua "diurus dengan hati", bukan hanya "diurus dengan pikiran". Dengan begitu, rakyat Papua bisa terhindar dari berbagai konflik kepentingan terkait keberadaan Freeport.

"Karena kalau mengurus Papua hanya dengan pikiran, tapi mengabaikan hati, hal itu sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya," ucap Komarudin. [ald]

Read More ...

Rabu, 16 Desember 2015

Rakyat Papua Desak Pemerintah Tutup PT Freeport

08.58.00
Demo mahasiswa Papua. ©2015 merdeka.com/imam buhori
Merdeka.com - Kasus PT Freeport terkuat ketika ketua DPR RI Setya Novanto dituding telah melakukan pencatutan nama Presiden Joko Widodo mengenai pembagian saham. Hal ini telah dilaporkan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Atas hal tersebut masyarakat Papua meminta PT Freeport ditutup karena telah melukai hati Papua.

"Saya minta Freeport ditutup, sekali lagi ditutup. Karena Freeport ini telah melukai masyarakat terutama kami warga Papua," ujar Pemantau Penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia (LP3-NKRI) Ruben Maray saat konpres 'Proses politik dan Pemeriksaan Etik Skandal Renegosiasi Freeport di MKD' di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Rabu (16/12).

Mau apapun alasannya, kata Ruben, Freeport harus disegerakan tutup. Pemerintah, lanjutnya, telah melakukan pembohongan terhadap masyarakat Papua.

"Pemerintah bilang kami akan dibagi beberapa persen, namun hasilnya 'Nol'. Kita merasa sengsara di tanah kelahiran kita sendri," katanya.

Atas hal tersebut, Ruben menyarankan agar pemerintah melakukan negosiasi ulang atas hal tersebut.

"Kita minta negosiasi ulang dari awal. Berapa persen tentang pembagiannya. Bila tidak secara terbuka (pembagian) kami minta ditutup Freeport tersebut," pungkasnya.

Sumber : http://www.merdeka.com
Read More ...

Penyebab Kematian Puluhan Balita di Papua Terungkap

08.56.00

Hasil uji laboratorium menunjukkan ada dua jenis bakteri yang menjadi penyebab kematian puluhan balita di Kabupaten Nduga, Papua.

Kematian puluhan balita di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga Papua, akhirnya diketahui penyebabnya. Setelah tim Kementrian Kesehatan mengambil sampel warga dan diuji laboratorium, menunjukkan ada dua macam kuman yang menjangkit di daerah tersebut. Pengiriman tim kesehatan ke Kabupaten Nduga tersebut menyusul laporan 41 anak meninggal dunia akibat penyakit misterius dalam tiga pekan terakhir di bulan November.
Hasil uji laboratorium menunjukkan ada kuman Pneumococcus dan Japanese encephalitis. Dua macam kuman penyakit itu umum di Indonesia dan paling berisiko bagi anak-anak.

”Pneumococcus itu kependekan dari Streptococcus pneumonia dan tergolong bakteri,” ucap Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio seperti dikutip dari Harian Kompas (5/12/15). 

Bakteri itu khas di saluran pernapasan, termasuk pada saluran napas orang sehat namun biasanya tidak memicu penyakit. Orang yang rentan terinfeksi adalah anak-anak dan orang lanjut usia karena daya tahan tubuh mereka lebih lemah.

Mayoritas penyakit akibat Streptococcus pneumonia terjadi pada anak-anak. Penyakit bisa berupa pneumonia atau radang paru-paru serta gangguan pendengaran. Infeksi juga bisa terjadi di bagian saluran pernapasan lain seperti sinus (rongga kecil di belakang tulang pipi dan dahi).

Gejala anak yang tertular bakteri itu antara lain sakit tenggorokan, muntah, demam, dan kejang-kejang. Jika menyerang paru-paru, bisa menyebabkan kematian. Meski sudah ada vaksin Streptococcus pneumonia, itu belum jadi bagian program imunisasi yang dijalankan pemerintah karena harganya mahal dan masih dikaji efektivitasnya.

Sementara virus Japanese encephalitis bisa menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Biasanya, virus ini ditemukan pada babi dan unggas liar, dan ditularkan ke manusia lewat gigitan nyamuk. Jika virus menyerang jaringan saraf, angka kematiannya 60 persen. Mayoritas pasien sembuh. Gejala yang biasa ditemukan ialah demam.

Kelompok rentan terserang Japanese encephalitis adalah anak-anak hingga remaja karena sistem kekebalan tubuh lemah. 

Cara pencegahannya antara lain menjaga kebersihan lingkungan, terutama mencegah nyamuk berkembang biak. Jika memelihara babi, jaga kebersihan kandang. ”Pengobatan untuk mengatasi demam,” ucap Amin.

(Sumber: Harian Kompas

Sumber : http://nationalgeographic.co.id

 

Read More ...

Jumat, 13 November 2015

Komnas HAM Minta Freeport dan Pemerintah Perhatikan Hak Warga Papua

09.53.00
Kiri-kanan: Kepala Bapenas Sofyan Djalil, Menteri ESDM Sudirman Said, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Senior Vice President Geo Services PT Freeport Indonesia Wahyu Sunyoto saat meninjau tambang terbuka Grasberg di area PT Freeport Indonesia, Timika, Papua, 19 September 2015. ANTARA/Muhammad Adimaja

Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nurcholis meminta pemerintah dan PT Freeport Indonesia memperhatikan hak warga Papua terkait dengan pembahasan renegoisasi kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.


Menurut Nurcholis, perlindungan terhadap hak warga Papua merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Itu sudah menjadi komitmen internasional.


"Yang harus dijadikan tolok ukur, bagaimana praktek kegiatan pertambangan PT Freeport selama ini terhadap hak-hak warga setempat,” kata Nurcholis dalam acara diskusi buku Menggugat Freeport di kantor Komnas HAM di Jakarta, Jumat, 13 November 2015.



Nurcholis menjelaskan, Dewan HAM Internasional pada 2011 telah mengeluarkan prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi panduan bisnis dan hak asasi manusia. Antara lain disebutkan negara wajib melindungi masyarakat dari dampak pelanggaran HAM, termasuk oleh pihak perusahaan.



Nurcholis menegaskan, korporasi apa pun harus menghormati hak-hak asasi warga di tempatnya beroperasi. Apalagi PT Freeport merupakan perusahaan multinasional. "Tidak ada pilihan bagi setiap perusahaan, termasuk Freeport, harus menghormati hak asasi manusia warga setempat jika ingin kegiatan usahanya berkelanjutan,” ujarnya.


Nurcholis mengatakan, kenyataan selama ini, masyarakat hanya ditengok oleh korporasi bila dibutuhkan. Salah satu contohnya, bila ada protes dari dunia internasional, barulah masyarakat diperhatikan. "Selama ini apa mereka dipedulikan?"




Dia mengingatkan, jangan sampai keberadaan korporasi justru menimbulkan konflik bagi masyarakat sekitar, yang sewaktu-waktu bisa muncul. "Pada saat konflik terjadi, nyawa taruhannya,” ucapnya.


Komnas HAM berharap apa pun kebijakan yang diambil tidak hanya menempatkan kepentingan negara dalam tingkat elite, tapi juga melihat bagaimana korporasi bisa bekerja sama dengan masyarakat setempat dan adakah dampak positifnya bagi masyarakat. "Itu yang harus jadi itemevaluasi," tuturnya.


Bila kontrak karya PT Freeport diperpanjang tapi pemerintah tidak mengevaluasi apa yang terjadi selama ini, yang terjadi adalah penambahan masalah yang justru akan menyulitkan pemerintah Indonesia.
AHMAD FAIZ IBNU SANI
Read More ...