Dr. I Ngurah Suryawan, staf pengajar di UNIPA Manokwari, Papua Barat . (Dok SP) |
Oleh: I Ngurah Suryawan
Pada
bagian sebelumnya saya telah mencoba untuk meletakkan fondasi dimana
sebenarnya letak dari kajian budaya Papua hingga hari ini serta
problematikanya. Saya juga mencoba menegaskan bahwa sangat penting untuk
menentukan perspektif seperti apa dan landasan kritisisme apa yang
dibangun untuk mengembangkan kajian-kajian budaya Papua yang lebih
emansipatoris dan sekaligus juga kritis.
Salah
satu hal penting yang perlu dimaknai dalam perspektif kajian budaya
Papua adalah isu tentang transformasi sosial budaya dan refleksi tentang
identitas orang Papua yang terus-menerus bergerak, bernegasi dengan
berbagai kepentingan dan kekuasaan. Isu transformasi dan identitas ini
melekat dalam totalitas dinamika keterhubungan orang-orang Papua dengan
dunia global.
Pada bagian ini saya
mencoba untuk menjelajahi kembali kembali salah satu isu penting dalam
kebudayaan Papua hingga hari ini yaitu kolonisasi kebudayaan yang
terus-menerus diperbaharui. Kolonisasi kebudayaan yang dimaksudkan
adalah jejaring kekuasaan berupa cara berpikir dan praktik-praktik
pembangunan yang terus saja menyingkirkan secara halus, namun meyakinkan
orang-orang Papua. Seperti dikatakan Tania Li (2012) bahwa the will to improve
(kehendak untuk memperbaiki) yang dilakukan dengan berbagai
program-program yang disebut dengan “pembangunan” dengan penuh niat
(memperbaiki) telah turut membentuk wajah lingkungan, tata penghidupan,
bahkan identitas masyarakat, dan sekaligus juga bertanggungjawab
memunculkan masalah-masalah baru.
Kolonisasi Baru?
Saya menjadi ingat apa yang dituliskan Frantz Fanon (2000; Aditjondro, 2006):
“Praktik
kolonialisme (baru) biasanya didukung oleh teori-teori kebudayaan yang
bersifat rasialis. Pada tahap awal penjajah menganggap bangsa jajahannya
tidak memiliki kebudayaan, kemudian mengakui bahwa bangsa jajahannya
memiliki kebudayaan, namun tetap tidak dihargai karena dianggap statis
dan tidak berkembang. Kebudayaan bangsa jajahan kemudian ditempatkan
dalam strata “rendah”, sementara kebudayaan penjajah ditempatkan dalam
strata “tinggi” dalam suatu hierarki kebudayaan yang sengaja diciptakan
untuk melegitimasi dominasi penjajah atas bangsa jajahannya.”
Saya
menduga, dalam kesunyian dan ketumpulan ilmu-ilmu humaniora di Tanah
Papua dalam memediasi transformasi sosial budaya, telah terjadi
reproduksi kolonisasi baru menggunakan ilmu pengetahuan yang mungkin
disadari atau malah mungkin tidak disadari oleh para pelaku di dalamnya.
Oleh sebab itulah diperlukan terobosan-terobosan perspektif (cara
pandang/berpikir) dan kajian-kajian reflektif dan kritis dalam ilmu-ilmu
humaniora yang bukan mendehumanisasi, namun mengembalikan hakekat
orang-orang Papua yang bersemangat untuk berubah dan terlibat aktif
dalam perubahan sosial budaya yang terjadi di tanah kelahirannya.
Akumulasi
pengetahuan tentang Papua hingga hari ini melimpah ruah jumlahnya.
Hasil-hasil penelitian dan reproduksi pengetahuan yang terlahir dengan
menggunakan Papua sebagai “objek” sudah tak terhitung lagi. Tumpukan
laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan pemetaan kondisi
sosial budaya menjadi harta yang tak ternilai harganya dalam memahami
dan menafsirkan Papua. Namun persoalannya adalah bagaimana tumpukan
akumulasi pengetahuan tersebut berguna bagi rakyat Papua “mengerti
dirinya sendiri” dan terlibat sebagai subyek dalam perubahan sosial yang
terjadi di tanahnya sendiri?
Persoalan
relasi ilmu pengetahuan dan masyarakat memang menjadi perdebatan yang
tidak ada habisnya. Ujung dari perdebatan itu adalah terletak dari
paradigma ilmu pengetahuan tersebut melihat masyarakat sebagai “sumber
pengetahuan”. Menempatkan manusia sebagai subyek dalam proses
transformasi sosial budaya yang berlangsung di Papua khususnya adalah
salah perspektif berpikir dalam studi kebudayaan.
Perspektif
emansipatoris yang transformatif mengacu kepada bagaimana ilmu-ilmu
humaniora menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi
menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam
perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi
dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.
Menempatkan
manusia sebagai subyek dalam proses transformasi sosial budaya yang
berlangsung di Papua khususnya adalah salah perspektif berpikir dalam
studi kebudayaan. Perspektif emansipatoris yang transformatif mengacu
kepada bagaimana ilmu-ilmu humaniora —dalam hal ini
antropologi—menggunakan ilmunya secara “berpihak” menjadi mediasi
menyadarkan serta menyakinkan masyarakat untuk mengambil peran dalam
perubahan sosial. Kata kuncinya adalah kesadaran untuk berpartisipasi
dan mengambil peran aktif dalam proses perubahan sosial budaya.
Sudah
puluhan tahun program pembangunan hadir di tengah masyarakat Papua.
Perubahan perlahan mulai dirasakan menyangkut lingkungan fisik berupa
bangunan-bangunan fasilitas publik, seperti jalan, sekolah, Pustu
(Puskesmas Pembantu) di kampung-kampung. Pembangunan fisik yang mencolok
terlihat adalah gedung-gedung pusat pemerintahan di tingkat kabupaten
maupun distrik yang mulai menerabas hutan dan tanah-tanah ulayat milik
masyarakat. Namun, semua itu terjadi karena adanya bantuan triliunan
rupiah jumlahnya, baik itu dari pemerintah pusat Indonesia di Jakarta,
melalui Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua dan Papua Barat serta
program-program bantuan dari lembaga luar negeri.
Pertanyaan
selanjutnya adalah apakah dengan adanya berbagai macam bantuan tersebut
membuat masyarakat Papua berinisiatif untuk merubah diri dan
kehidupannya ke depan? Di sinilah kemudian terletak persoalannya.
Sudah
menjadi kelumrahan jika dalam memandang, “mambaca”, mencitrakan, dan
menganalisis Papua dengan masyarakat dengan “terkebelakang”, “kurang
beradab” dan sejumlah kesan minor lainnya karena sederetan kisah tentang
gizi buruk, “perang suku”, dan kekurangmajuan mereka dibandingkan
dengan daerah Indonesia di bagian barat. Pembacaan ini dari perspektif
yang mempengaruhinya sudah mengalami permasalahan yang sangat akut dan
serius.
Permasalahannya adalah
menempatkan bahwa yang memandang Papua merasa dirinya lebih “berkuasa”
dan beradab dibandingkan masyarakat Papua secara umum. Ini adalah cikal
bakal dari pandangan kolonialistik dan penaklukan (baca: penjajahan).
Pembacaan ini lebih mengundang permasalahan daripada menemukan soluasi
dalam menghadapi kompleksitas persoalan Papua.
Realitas
berbagai persoalan yang terdapat di Papua harus dilihat secara
holistik, komphresentif dan berperspektifkan empati yang emansipatoris.
Ide dari pendekatan ini adalah melihat kompleksitas persoalan Papua
dengan menggali latar belakang permasalahan, tidak menyalahkan tapi
membangun solusi bersama. Setelah itu menempatkan masyarakat Papua
sebagai subyek dan menggerakkan mereka untuk berperan secara aktif dan
merubah dirinya sendiri. Caranya adalah menggugah kesadaran mereka
tentang kondisi Papua dan tanah kelahirannya kini dan menggantungkan
harapan-harapan pembaruan kepadanya.
Dengan
menggunakan perspektif emansipatoris dan transformatif, masyarakat
Papua akan merasa dirinya menjadi bagian dari perubahan besar yang
terjadi di Papua, bukan malah sebagai penonton seperti kecenderungan
yang terjadi selama ini. Argumentasi ekonomi politik sebagai basis dari
pandangan modernisme (kemajuan) mendasarkan kemajuan diukur dari
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
Dasar
pemikiran inilah yang dominan selama ini mempengaruhi cara pandang dan
pembacaan terhadap Papua, sehingga fenomena pemekaran digalakkan
sedemikian rupa dengan alasan untuk memajukan Papua dari kemiskinan,
ketertinggalan, dan sebagai aspirasi politik budaya masyarakat Papua.
Kemiskinan dan ketertinggalan adalah basis dari argumentasi ekonomi,
sedangkan aspirasi politik etnik/suku di Papua adalah basis untuk
menjaga stabilitas politik.
Namun,
ada satu hal yang dilupakan, padahal memiliki peran vital menyangkut
identitas dan martabat sebuah masyarakat. Memang bukan hal yang kongkrit
seperti ekonomi, tetapi ini menyangkut soal kebudayaan. Fenomena
pemekaran daerah yang saya amati terutama di wilayah Provinsi Papua
Barat belum secara maksimal memperhatikan perkembangan sosial budaya
yang kompleks di Tanah Papua. Yang terjadi justru dominannya argumentasi
ekonomi politik tanpa memikirkan perspektif kebudayaan dalam rencana
pemekaran. Alih-alih yang terjadi justru semakin menguatkan sentiment
etnik dalam rencana pemekaran daerah di Papua. Oleh karena itulah
masyarakat Papua akan semakin hanya memikirkan diri dan kebudayaannya
saja tanpa mempunyai kesempatan untuk interaksi dan akulturasi dengan
dunia luar. Hal inilah yang menyebabkan orang Papua kehilangan
kesempatan untuk memperbarui identitas-identitasnya.
Pemekaran
daerah dan interkoneksi Papua dengan dunia luar sebenarnya adalah
peluang yang besar bagi orang Papua untuk membayangkan
pembaruan-pembaruan identitasnya. Hal ini bisa dilihat dari akulturasi
yang terjadi di dalam masyarakat Papua karena pengaruh pendatang dan
kebudayaan-kebudayaannya. Disamping itu hadirnya pemerintahan,
pembangunan, dan investasi juga berdampak penting bagi orientasi nilai
dan kebudayaan dalam masyarakat Papua. Pembaruan-pembaruan identitas itu
bisa terjadi melalui reproduksi kebudayaan dalam relasi-relasi dalam
keseharian masyarakatnya. Semua proses kebudayaan berlangsung dalam
fragmen-fragmen kehidupan masyarakat yang mereproduksi identitas dan
norma-norma yang hidup di tengah masyarakat.
Kondisi
keterpecahan (fragmentasi) yang terjadi di tengah masyarakat Papua
berimplikasi serius terhadap rapuhnya solidaritas dan integrasi sosial
dalam masyarakat. Hasilnya adalah masyarakat yang sangat rapuh karena
solidaritas sosial hanyalah di permukaan tanpa menyentuh akar
relasi-relasi sosial budaya dalam keseharian masyarakatnya.
Praktik-praktik introduksi pembangunan dan berbagai terjangan investasi
menghasilkan fragmentasi yang serius di tengah masyarakat. Integrasi dan
solidaritas sosial yang terkandung dalam nilai-dan norma berserta
pengetahuan masyarakat mendapat gugatan di internal masyarakat sendiri.
Masuknya
nilai-nilai baru merubah reproduksi pengetahuan dan kebudayaan yang
berlangsung di tengah masyarakat. Integrasi sosial budaya dan masyarakat
yang terorganisir yang tercipta dari proses reproduksi kebudayaan
sebelumnya kehilangan konteksnya. Nilai-nilai pembangunan, modernitas,
dan kapitalisme dalam wajah-wajah investasi global yang menerjang Papua
menciptakan budaya masyarakat yang kehilangan kemandirian dan
martabatnya.
Membaca Papua melalui
pemekaran daerah secara emanispatoris melibatkan rakyat Papua dalam
perubahan sosial setidaknya memperhatikan dua hal penting. Hal pertama sebagai basis adalah memberikan perhatian untuk pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan). Hal yang kedua adalah melayani (baca: memfasilitasi) ekspresi-ekspresi budaya yang begitu heterogen di Tanah Papua.
Kondisi
yang terjadi hingga kini adalah pemekaran daerah hanya melayani
kebutuhan para elit bukannya martabat kebudayaan masyarakatnya.
Kehidupan kultural hanya dipolitisasi untuk kepentingan para elit agar
pemekaran terjadi dan dengan demikian uang dan kekuasaan pun ada di
tangan. Dengan demikian, orang Papua merasa bahwa kebutuhan kulturalnya tra (tidak) terjamin dan diperalat hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Perspektif
yang emansipatif dalam melihat Papua paling tidak memperhatikan kedua
hal di atas sembari memperbaiki pengetahuan dan cara pandang kita yang
menusiawi dan empati dalam melihat kompleksitas persoalan yang terjadi
di bumi Cenderawasih ini.
*)
Penulis adalah Staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas
Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Referensi
[1]
Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada
Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian
Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.
Sumber : www.suarapapua.com
ASSALAMU'ALAIKUM.WR.WB.
BalasHapusALHAMDULILLAH..!!
saya bersyukur kpd Allah SWT.
atas keberhasilan PENARIKAN UANG
GHAIB.setelah melalui proses panjang &
sangat sangat beresiko,dgn izin Allah
alhamdulillah uang ghaib akhirnya berhsil
kami keluarkan dgn jumlah yg luar biasa.
UANG GHAIB INI PENAWARAN TERBARU DARI KAMI.
setelah uang balik (UB) sudah terbukti keberhasilanya,
dan sehubungan banyaknya orang yang menginginkan hal ini
( UANG GHAIB ), kami sanggup memproses penarikan UANG GHAIB,
dengan catatan:
1.masalah utang piutang (JUMLAH BESAR)
2.tidak untuk memperkaya diri
3.sanggup menyiapkan satu ekor sapi jantan,(sebagai pengganti tumbal).
-PELET PUTIH/PENGASIHAN JARAK JAUH
-MENAKLUKKAN LAWAN JENIS
-PENGLARISAN/JIMAT GOIB BISNIS DLL
APAKAH ANDA TERMASUK KATEGORI DI BAWAH INI.???
4.BUTUH MODAL DALAM BUKA USAHA
5.SELALU KALAH DALAM BERMAIN TOGEL
6.DILILIT HUTANG
7.BARANG BERHARGA ANDA SUDAH HABIS
8.DILILIT HUTANG
--------------------------------------------------
bagi anda yang BENAR-BENAR SERIUS dalam hal ini.....
silahkan menghubungi AKY SUNDOKO di NO TPL 0823-9350-0556
ATAU KLIK DI
UNTUK INFO LEBIH JELAS KLIK DISINI
TERIMAKASIH
WASSALAMUALAIKUM.WR.WB...???