Ilustrasi Ribuan Massa KNPB saat demo di kantor DPR Papua, 21/5/2015. Jubi |
Jayapura – Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja di Papua
bersuara menyikapi berbagai dinamika yang terjadi di Papua belakangan
ini serta rencana aksi demo damai Komite Nasional Papua Barat (KNPB),
Rabu (15/6/2016).
Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Benny Giay dalam
keterangan persnya mengatakan, pihaknya melihat aksi-aksi damai KNPB
sebagai cara Tuhan “menampar wajah” gereja-gereja yang dalam tugasnya
sejak generasi lalu (mungkin sampai hari ini) tak menjalankan “peran
profetisnya”.
“Melalui dinamika ini Tuhan berfirman kepada kami, “ada yang salah
dengan sistem ini”. Mungkin lantaran gereja-gereja kami dalam
tahun-tahun lalu telah menjadi korban politik stigma, sehingga terpaksa
mendukung sistem yang menyengsarakan hak dan martabat kami. Kami mohon
maaf,” kata Pdt. Benny Giay di Kantor Sindo Kingmi, Kota Jayapura,
Selasa (14/6/2016).
Katanya, gereja memposisikan diri demikian lantaran paham ide Papua
Baru atau Papua Merdeka yang diperjuangkan generasi kini dinilai lahir
dalam konteks interaksi Papua dan Jakarta. Seperti halnya ide Indonesia
Merdeka yang lahir dalam benak Soekarno dan Mohammad Hatta yang membakar
semangat mereka melawan Belanda yang menyengsarakan rakyatnya. Begitu
juga generasi muda Papua kini yang tampil untuk membebaskan diri dari
sistem dan pihak yang menjaga sistem itu.
“Ide Papua Merdeka tidak masuk dalam benak generasi muda lewa mimpi
secara tiba-tiba. Gejolak penolakan terhadap sistem yang menyengsarakan
ini lahir dan ditumbuh kembangkan dalam suasana berhadapan denan
bahasa-bahasa yang merendahkan martabat, kebijakan yang bias dan
lain-lain. Penyelesaiannya harus menyeluruh, bertahap dan melibatkan
banyak pihak,” ucapnya.
Sementara Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikmbo mengatakan, KNPB
adalah generasi Papua yang lahir sejak 1990 dan memikul beban sejarah
pelanggaran HAM yang terus terjadi di tanah ini sejak 1960an. Belakangan
ini pihak di Jakarta berupaya menyelesaikannya. Namun semangat untuk
menyelesaikan beban itu berbeda dengan kenyataan. Aparat negara terus
melalukan kekerasan berupa penangkapan aktivis KNPB, penangkapan dan
pembunuhan warga dan berbagai hal lainnya yang terus terjadi di Tanah
Papua.
“KNPB dan simpatisannya terus turun jalan dalam beberapa tahun
terakhir. Kami melihatnya sebagai siasat generasi Papua yang lahir
1980an hingga 1990an menprotes sistem bicara lain main lain. Protes
mereka terhadap sistem ini kami lihat bukan hanya protes terhadap
petinggi negara tahun-tahun lalu yang mengurus sistem itu, namun juga
semua elemen masyarakat sipil di tanah ini yang selama ini membiarkan
sistem ini berjalan bertahun-tahun,” kata Pdt. Dorman.
Hal yang sama dikatakan Pdt. Herman Awom, pendeta yang pernah
menjabat Wakil Ketua Sinode GKI di Tanah Papua. Ia mengajak semua pihak
dalam melakukan aksinya tak emosional, tak mengeluarkan bahasa provokasi
dan menyebar kebencian di masyarakat.
“Upaya membakar spanduk kelompok tertentu atau melarang dan mengusir
berbagai unsur adalah kerja pihak yang tak ingin menjaga Papua tanah
damai. Pemerintah segera mengambil langkah mencegah secara dini semua
pihak yang ada. Baik dari unsur Papua atau lainnya yang bisa memperkeruh
situasi dan kerukanan karena mengarah ke konflik horizontal dan antar
etnis,” kata Pdt. Herman Awom.
Menurutnya, perlu kepala dingin menyiasati semua dinamika yang ada.
KNPB, jika menggelar aksi damai, lakukan dengan semangat perjuangan
damai. Tak emosional. Jauhi tindakan anarkis, menyebar bahasa kebencian,
tak membakar bendera apapun.
“Himbauan yang sama kami sampaikan kepada semua jemaat dan masyarakat
Papua. Kepada Kapolda dan Pangdam, agar mengawal aksi KNPB membawa
beban masa lalu ini secara bijak seperti yang dilakukan kepada pendemo
BARA NKRI beberapa waktu lalu. Kita masih di Papua. Papua masih di
sini,” imbuhnya. (*)
Sumber : http://tabloidjubi.com/
Sumber : http://tabloidjubi.com/
Tidak ada komentar :
Berikan Tanggapan Andan Disini: